Kisah Ramayana dibalik, kali ini laki-laki yang diculik perempuan. Adakah ini menyiratkan mulai bergesernya superioritas laki-laki ?
Maryati adalah seorang ratu yang lalim. Ia tidak segan berbuat semena-mena untuk memenuhi kesenangan pribadinya. Bahkan, ia tega mengambil pasangan orang lain hanya karena ia memiliki kuasa. Maryati sendiri sebenarnya telah memiliki banyak suami, tetapi ia merasa belum puas karena belum berhasil memiliki Jarot, pria dari kerajaan tetangga yang telah ia cintai sejak lama.
Meskipun hanya seorang rakyat jelata, ketampanan dan kepribadian Jarot yang teguh amat memikat Maryati. Ia merasa tertantang sebab selama ini selalu diacuhkan oleh Jarot. Jarot sendiri pun telah memiliki Istri, Naimah, yang amat dicintainya. Hal itulah yang membuat Maryati selalu cemburu dan semakin ingin memiliki Jarot. Ia berniat mengambil Jarot dari sisi istrinya.
Beberapa penasehat dan orang terdekat telah membujuk Maryati agar mengurungkan niatnya. Tetapi tekad Maryati telah bulat dan kuasanya tidak bisa dibendung. Maka terenggutlah Jarot dari sisi Naimah. Menyisakan pedih dan dendam bagi istri dan kawan-kawan senegerinya.
Demikian sepenggal kisah dari pementasan Collaborationof Art (COA) berjudul “Opera Keras Tanpa S”, yang digelar di gedung auditorium Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Selasa malam (3/4) lalu. Kolaborasi yang merupakan gabungan penampilan tiga unit kegiatan mahasiswa (UKM) berbasis seni di UNS – paduan suara mahasiswa Voca Erudita, Marching Band Sebelas Maret, dan Badan Koordinasi Kesenian Tradisional (BKKT) – ini digelar dalam rangka dies natalis UNS ke-36 dan telah menjadi agenda tahunan dari ketiga UKM ini sejak tahun 2008.
Meski masih mengedepankan unsur drama dan musik yang kental, tetapi “Opera Keras Tanpa S” menyuguhkan konsep panggung yang berbeda dari pergelaran tahun sebelumnya, yakni dengan menghadirkan live music dari ketiga UKM. Live music dikemas dengan menyatukan gamelan, marching band, dan paduan suara dalam satu panggung untuk mengiringi jalannya pertunjukkan. “Konsep ini sengaja kami hadirkan mengingat gelaran-gelaran sebelumnya belum pernah menggunakan live music secara penuh sebagai pengiring drama. Kali ini kami ingin menampilkan sesuatu yang agak berbeda,” tutur Dwi Suryanto, sutradara pentas kali ini.
Inovasi ini cukup berhasil memikat hati penonton. Anindita, salah satu penonton mengaku terkesan dengan konsep musik malam itu. “Panggungnya jadi terlihat lebih semarak dan dinamis, apalagi formasinya dibentuk seperti piramida, pemain dramanya di panggung paling bawah, marching band di sebelah kiri atas, BKKT di sebelah kanan atas, lalu di bagian paling atas ada paduan suara. Pas waktu bagian semua tampil bareng jadi terlihat keren,” kata mahasiswi FISIP ini. Hal tersebut juga dirasakan Adli yang juga mahasiswa FISIP. Menurutnya kemasan panggung COA kali ini lebih menarik dari tahun-tahun sebelumnya. “Saya juga senang dengan lagu-lagu daerah yang dinyanyikan karena tidak melulu dari Jawa seperti tahun lalu, “ sambungnya.
Malam itu memang dihadirkan tiga lagu daerah yakni “Sinsin Si Batu Manikam” dari Tapanuli, “Karaban Sape” dari Madura, dan “Tokitifa” dari Maluku. Masih menurut Adli, ketiga lagu tersebut termasuk jarang ditampilkan pada pergelaran-pergelaran yang disaksikannya, sehingga ia bisa meraskan ‘sesuatu’ yang lain dari acara ini. “Tetapi saya agak sedikit bingung dengan jalan ceritanya. Kurang dapet kalau dilihat dari segi judul yang mengedepankan kata ‘kera’, padahal penampilan kera tidak begitu banyak dibanding manusia di drama ini. Saya juga merasa rancu dengan endingnya yang menurut saya terlalu cepat,” katanya.
Seperti halnya Ramayana dimana Rama bersusah payah mencari Shinta, Naimah pun berusaha keras mencari Jarot. Meski akhirnya dipertemukan kembali, Jarot dan Naimah ternyata tidak bisa serta-merta bersatu. Kesucian Naimah telah dinodai oleh lelaki lain. Sampai di situ kisah pun berakhir. Ada tanda tanya besar tersisa dalam benak penonton, mengapa kejutan yang dimaksudkan sebagai puncak sekaligus penutup kisah ditampilkan begitu singkat, seolah kisah ini akan dilanjutkan oleh kisah selanjutnya. Terlepas dari pendapat tersebut, Dwi Suryanto memang hanya ingin menampilkan hal berbeda dalam pentas COA kali ini. “Tidak ada maksud tertentu dengan adanya pembalikan dari kisah Ramayana, kami hanya fokus untuk mementaskan sebuah pertunjukan,” tegasnya. (Dira)