Tertawalah Sebelum Tertawa itu Dilarang

Kenalilah suatu bangsa dari lelucon dan cara melucunya.

Tenyataannya, hidup tidaklah semulus apa yang kita inginkan. Terkadang terdapat beberapa cobaan yang datang menghampiri kita, sebagai tahapan agar kita menjadi orang yang lebih baik dari hari kemarin. Akan tetapi, janganlah semua cobaan dianggap sebagai beban. Hadapilah semua cobaan dengan tabah, atau sesekali dengan lelucon yang menimbulkan tawa, seperti yang termuat dalam buku “Urip Mung Mampir Ngguyu”.

Dalam buku ini diceritakan keadaan warga Yogyakarta yang menganggap cobaan bukanlah suatu hal yang membebani. Bahkan mereka sanggup untuk tetap tersenyum dalam situasi sepahit dan segetir apapun peristiwa yang mendera. Misalnya, saat gempa 6,2 skala richter pada 27 Mei 2006 yang meluluhlantakkan Yogyakarta, masih saja bermunculan aneka cerita lucu dari puing-puing kepedihan yang ada.

Maka, wajarlah kiranya muncul beribu kelu-cuan bahasa maupun kisah yang berkembang secara turun temurun dari generasi ke ge-nerasi. Tidak salah apabila kemudian orang  menyebutnya sebagai folklore atau cerita rakyat. Folklore menjadi sebuah warisan sastra lisan yang di dalamnya terdapat plesetan, humor, guyonan, pasemon yang berisi kritik keras dan tajam.

Kejayaan dan keunikan tawa itu antara lain tercermin dari begitu banyaknya sebutan untuk nama Yogyakarta. Beberapa diantaranya, djogdja, djokdja, jokya, bahkan kawula muda tak kalah kreatifnya memberi sebutan lain untuk kota ini. Ada yang menyebutnya sebagai Yog-Yes, Jogjanesia, hingga New-York (arto). Para pelawak sendiri sering menyebutnya dengan sebutan Jogjatawa. Berbagai istilah yang lucu dalam buku ini termasuk dalam folklore lisan, khususnya yang menggunakan bahasa rakyat. Bahasa rakyat yang dimaksud adalah dialek (logat), yang meliputi dialek Jawa Banyumasan, Cirebonan, Jawa Timuran, yang semuanya mewarnai khazanah bahasa harian warga Yogyakarta. Pada akhir-nya, penggunaan dialek dari berbagai daerah dalam keseharian mereka mampu menghadirkan joke-joke sebagai suatu hiburan sekaligus kritik sosial melalui permainan kata.

Buku ini memusatkan kajiannya terhadap folklore yang berkembang di kalangan masyarakat Yogyakarta dengan berbagai ciri utama, antara lain: bersifat tradisional, anonim, pralogis, polos lugu, berpola, hadir dalam berbagai versi, dan sebagainya. Folklore dapat dibi-lang sebagai salah satu bilik peradaban yang berkembang luas di kalangan masyarakat   Yogyakarta. Meskipun berisi ratusan folklore, buku ini ringan untuk dibaca karena disajikan dengan bahasa yang cukup menarik.
Sebuah catatan yang dapat diambil dari buku ini adalah apabila kita baru pertama kali menginjakkan kaki ke suatu tempat yang belum pernah kita datangi, sebaiknya gunakanlah bahasa Indonesia. Jangan menggunakan bahasa adat yang kita pakai sebelumnya, semisal bahasa Sunda, Melayu, Makasar, Bugis, Batak dan lain-lain, karena hal tersebut dapat membuat orang kurang berkenan dengan perkataan yang kita ucapkan. Sebagai contoh, kata gedang dalam bahasa Jawa berarti pisang, sedangkan dalam bahasa Sunda berarti pepaya.

Sebagai rekomendasi, buku yang berbahasa Indonesia ini sangat cocok untuk dibaca oleh mahasiswa dan pelajar yang mendalami kajian sosiologi, bahasa dan komunikasi antar bubaya. Meskipun demikian, buku ini juga bisa dinikmati oleh semua kalangan. Penulis menyadarkan kita, bahwa di balik kesusahan itu pasti terdapat kemudahan. Tergantung bagaimana kita menjalani kesusahan yang menimpa pada diri kita.

Hadapilah segala sesuatu dengan senyum, dan tertawalah sebelum tertawa itu dilarang. Karena urip iku sejatine mung mampir  ngguyu.[] ( Muhammad Rodhi)