“Rumah” bagi Agama Minoritas

Hari-hari belakangan ini saya lalui dengan “setia” membaca tulisan kakak-kakak tingkat di website Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan seputar aksi pemerintahan mahasiswa dengan Posko Relawan Penjemputan Bapak Jokowinya. Bahasan yang tersaji dalam tulisan-tulisan yang berdasarkan pengakuan dari salah satu mahasiswa jurusan Fisika tergolong “berani banget”. Ditengah kemelutan aksi pemerintahan mahasiswa yang suka tak masuk akal itu, saya tidak lagi berniat membahasnya. Toh semua yang ada di benak saya sudah terwakili dengan tulisan-tulisan seputar bahasan yang diposting di lpmkentingan.com.

Terlepas dari bagaimanapun pendapat publik, khususnya seluruh elemen civitas akademika Universitas Sebelas Maret (UNS) mengenai gerakan-gerakan yang coba digeliatkan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa. Banggakah pihak rektorat ketika 1000 mahasiswanya hijrah ke Jakarta untuk membawa pulang bapak presiden yang terhormat? Atau justru meyayangkan aksi para mahasiswanya?

Tulisan ini didedikasikan untuk mereka yang menyayangkan aksi menjemput pulang presiden sekalipun dengan dalih “ingin berdiskusi secara lebih nyaman di kota asal Jokowi”. Mari sejenak hengkang dari kekarutan dunia pemerintahan kampus. Memahami lebih dalam, barangkali banyak sisi-sisi dari kampus kita yang masih suci. Belum terkontaminasi oleh egosentrisme sekelompok orang. Kan sangat mungkin aktivis mahasiswa yang memiliki dualisme latar belakang antara keagamaan dan keterlibatannya di kabinet pemerintahan kampus, khilaf menentang apa yang dinamakan keberagaman.

Dihadapkan pada rumah-rumah ibadah berbeda “pemilik” yang terletak amat berdekatan di sebuah institusi pendidikan tinggi menimbulkan suatu bercak tersendiri dalam hati sekaligus pikiran. Ibarat membaca. Terkesima mendapati penggalan-penggalan beda makna, ayu, berpadu dalam sebuah rangkaian prosa. Kemegahan masjid berjajar dengan keelokan vihara, pura, serta gereja adalah penggalan-penggalan, dan keberagamannya sengaja dirajut menjadi prosa bernama Indonesia.

Penggalan-penggalan prosa itu tak lain adalah agama, ras, suku bangsa, serta bahasa. Ialah Indonesia yang merupakan salah satu negara multikultural terbesar di dunia (Ainul Yaqin, 2009). Dalam bukunya yang berjudul Multikulturalisme Tantangan-tantangan Global Masa Depan Dalam Transformasi Pendidikan Nasional (2004: xxvii), H. A. R. Tilaar mengatakan bahwa multikulturalisme adalah proses pembudayaan. Oleh karena itu proses pendidikan haruslah menjadi proses pembudayaan, sebab masyarakat multikultural hanya dapat diciptakan melalui proses pendidikan.

Institusi pendidikan tinggi, bila boleh saya meminjam kalimat rektor UII, Harsojo yang dalam Seminar Kritis Konflik Palestina dan Tragedi Gaza mengatakan, “sejatinya perguruan tinggi bukan berada di menara gading yang terlepas dari berbagai persoalan kemanusiaan” (republika.co.id, 14/8/14). Institusi pendidikan tinggi dengan tri dharma perguruan tingginya memiliki kewajiban menyumbang peluh, menjadi garda depan memberangus berbagai persoalan kemanusiaan yang kian hari kian tak terelakkan lagi. Sejarah mencatat, banyak perang yang terjadi di dunia, khususnya Indonesia yang dilatarbelakangi oleh perbedaan agama dan kepercayaan. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam, konflik Maluku, peristiwa bom bunuh diri di Bali dan sejumlah kawasan lain di Indonesia oleh kelompok yang menamakan aksinya jihad fi sabilillah. Hingga abad XXI ini, isu agama dan kepercayaan masih menjadi salah satu sebab yang paling sering memicu persoalan kemanusiaan di negara ber-bhinneka tunggal ika ini. Konflik terjadi di sana-sini. Api permusuhan membara di mana-mana ketika sikap penghargaan atas perbedaan hanya jadi biri-biri.

Menghadapi permasalahan yang merupakan tradisi dari masa ke masa, dibutuhkan adanya kerjasama antar elemen. Pemerintah dan masyarakat tak bisa berjalan dengan egosentrismenya masing-masing. Institusi pendidikan tinggi adalah salah satu perwujudan dari sistem pendidikan nasional yang sengaja diciptakan pemerintah. Salah satu fungsi besarnya diharapkan mampu menjadi garda terdepan bagi kehidupan masyarakat, termasuk memberangus tanpa ampun konflik kemanusiaan yang disebabkan oleh isu keagamaan serta kepercayaan yang seolah tak mau lepas dari tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Peran institusi pendidikan tinggi yang notabennya tempat bersarang para intelektual bangsa, hendaknya memperdalam lagi kajian mengenai penyediaan fasilitas serta sistem penyelenggaraan pendidikannya. Menimbulkan kegetiran tersendiri ketika dihadapkan pada fakta banyaknya institusi pendidikan tinggi di Indonesia yang tidak menyediakan fasilitas rumah ibadah bagi kelompok-kelompok mahasiswa minoritas. Sedangkan bagi kelompok mayoritas (red: islam) disediakan rumah ibadah bak istana di atas tanah yang luasnya tak tanggung-tanggung.

Disadari atau tidak hal tersebut merupakan suatu kesalahkaprahan. Ketidaktersediaan fasilitas rumah ibadah bagi mahasiswa-mahasiswa minoritas menunjukkan belum tercapainya apa yang dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Perguruan Tinggi: bahwa pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan.

Rizka Nur L. M

Mahasiswi Pendidikan Administrasi Perkantoran Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta