Foto: Carelya Griselda/LPM Kentingan

BELUM ADANYA KEJELASAN KASUS GE

Selasa (16/11), telah diselenggarakan diskusi umum tentang “Kasus Gilang Sampai Mana?” secara daring melalui Zoom Meeting. Diskusi ini bertujuan membahas belum adanya kejelasan dari pihak mana pun termasuk dari Menwa terkait kasus kematian Gilang.

Salah seorang mahasiswa Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Lingga, mengemukakan pendapatnya terkait kasus GE. “GE pergi dengan keadaan baik lalu meninggal setelah Diklatsar dengan keadaan indikasi kekerasan. Pihak kampus belum menjawab tuntutan kita, apalagi pihak kampus yang lebih memihak Menwa. Alasannya karena sampai saat ini pihak kampus tidak memberikan bantuan psikologis, bantuan hukum, dan bahkan menanggulangi penanganan terhadap tersangka yang telah ditetapkan. Kita juga belum dikirimkan transparansi data oleh pihak kampus, padahal itu adalah hal yang paling ditunggu,” jelasnya.

Oleh karena itu, Lingga mengajak kita untuk mengawal kasus ini sampai pelaku dapat diadili. “Sampai saat ini tuntutan kita belum dipenuhi, perjuangan kita belum selesai, dan pelaku belum diadili. Kasus ini harus kita kawal terus hingga tuntas,” ujarnya.

Tanggapan diberikan oleh Alqis Bahnan. “Mengingat sepengetahuan saya bersama tim kajian terkait belum adanya transparansi kasus ini. Pihak kepolisian pada (15/11) mengadakan reka ulang adegan dengan 37 saksi, sedangkan yang kita ketahui itu adalah jumlah Menwa yang ada di UNS. Namun ternyata yang dimintai keterangan hanya 21, mungkin saja terdapat 2 tersangka atau bisa jadi lebih” terangnya.

Kemudian Alqis memberikan tambahan penjelasan terkait kejanggalan kasus GE. “Perlu kita ketahui bahwa kampus menutup erat kasus ini dan seolah bukan kesalahan suatu lembaga, tetapi kesalahan individu. Hal yang lebih menariknya lagi, pimpinan kampus menyerahkan seluruhnya kepada tim evaluasi,” imbuh Alqis.

Banyak pihak yang sangat menginginkan pembubaran Menwa. Alqis juga menanggapi keinginan tersebut bahwa sebenarnya kita bisa mengajukan pembubaran Menwa, bahkan tim evaluasi menantang untuk uji kelayakan nilai. “Hal tersebut bisa kita tempuh karena kita memiliki data korban dari 2008-2021, yang mana ini bisa menjadi bahan uji kelayakan nilai. Kita nilai apakah nilai-nilai Pancasila sudah sesuai implementasinya. Padahal yang kita ketahui banyak korban di sana, akan tetapi banyak pembungkaman,” tandas Alqis.

Reyhandhi Alfian menambahkan pernyataan Alqis bahwa ia telah menghubungi Putri, alumnus UNS yang menjadi korban kekerasan Diksar Menwa 2013, untuk turut memberikan kesaksian atas kasus ini. Pengacara Putri datang ke UNS minggu lalu untuk membenarkan data-data yang diberikan. Reyhandhi juga angkat bicara mengenai kemungkinan membawa kasus ini ke pengadilan.

“Bisa, bahkan pengacaranya mbak Putri menawarkan untuk membantu pembubaran Menwa jika itu harus dilakukan di pengadilan. Akan tetapi, ketika kita mau menerima tawaran dari pengacara dampak terhadap kampus akan lebih besar lagi. Kenapa? Hal itu dikarenakan secara tidak langsung data-data Menwa dan langkah UNS dipaparkan kepada publik (pengadilan bersifat publik). Apa perlu kita publikasikan lewat pengadilan karena UNS tidak kunjung bergerak? Masa kita harus bergerak sejauh itu untuk pembubaran UKM yang mana itu adalah sebuah kewenangan kemahasiswaan?” papar Reyhandhi.

Kelomoh menanggapi bahwa untuk mengusut kasus ini perlu menilik ulang pasal 1-3 dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri mengenai Pemberdayaan dan Pembinaan Resimen Mahasiswa. Surat Keputusan tersebut berisi tentang tujuan Menwa sebagai komponen pertahanan negara dan perlindungan masyarakat. Di mana itu sekaligus menjadi tanggung jawab pihak Universitas, Menteri Pertahanan, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah. Apabila selama ini penyelenggaraan Menwa UNS tidak ada relevansinya dengan tujuan di atas maka Menwa UNS patut untuk dibubarkan.

Aji, mahasiswa Fakultas Teknik UNS, juga turut menyampaikan hasil diskusinya dengan anggota Menwa dari kampus lain. “Di tahun 2012, pernah ada kasus Menwa se-Indonesia kumpul di Magelang, tetapi karena ada yang dilanggar maka Menwa UNS akhirnya dapat sanksi dari Persatuan Menwa. Itu awal mula masalah dimulai bahkan untuk kegiatan diklat dan lain-lain UNS lebih janggal daripada yang lain. Di tahun 2013 juga ada kasus sampai ada yang meninggal. Nah, dari situ kampus mengevaluasi agar kejadian itu tidak terulang lagi sehingga nama Menwa diubah menjadi KMS,” ungkap Aji.

Aji juga menampilkan bukti percakapannya dengan akun Twitter @usebioalca via share screen. “UNS sempat jadi bahan bahasan internal Menwa karena ada beberapa tindakan yang bisa dikatakan mempertahankan hal yang sudah kuno” tulis @usebioalca kepada Aji.

Lebih lanjut lagi, Alqis Bahnan menyebutkan bahwa belum ada wadah speak up bagi anggota Menwa yang menjadi saksi dalam diklat ini. Anggota Menwa diduga takut diancam oleh seniornya. Bahkan ada doktrin tertulis bahwa anggota Menwa yang mengikuti diklat dan mengalami kejadian apa pun dilarang melaporkannya kepada siapa pun.

Sementara itu, Afif menegaskan bahwa rektorat bergerak terlalu lambat dalam penyelesaian kasus ini. Mahasiswa ingin berdiskusi dan menuntut transparansi baik dari pihak kampus, tim evaluasi, maupun Menwa. “Kita mencoba untuk melakukan penekanan langsung terhadap kampus. Mungkin kita bisa lebih menekan kampus kalau sekiranya diskusi internal tidak digubris dengan memberikan ancaman untuk membawa ke PTUN,” pungkas Afif sekaligus menutup diskusi.

Penulis: Jasmine Putri Lintang Sagara Dewi dan Lia Kurniawati
Editor: Aulia Anjani