Judul Buku : Bekisar Merah
Pengarang : Ahmad Tohari
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2005
Ukuran : 11 x 18 cm
Tebal buku : 312 halaman
Sastra Angkatan : 1980-1990an
Kisah novel ini menceritakan tentang pahitnya kehidupan seorang wanita yang bernama Lasi. Lasi merupakan wanita yang sangat cantik dan mukanya mirip seperti wanita jepang. Akhirnya dia disebut bekisar merah yang berarti hiasan yang sangat indah. Novel ini juga berceritakan cinta yang terpendam.
Di Desa Karangsoga, Darsa memiliki pekerjaan sebagai penyadap nira kelapa. Dia memiliki seorang istri yang sangat cantik sekali bernama Lasiyah, anaknya Mbok Wisyaji. Pak Wisyaji sendiri merupakan paman Darsa. Setiap hari Lasi membantu suaminya mencari kayu bakar dan terus mengolah nira menjadi gula. Kehidupan penduduk Karangsoga yang mayoritas penyadap air nira sangatlah miskin. Sebab harga satu kilo gula selalu saja lebih rendah daripada sekilo beras. Kebanyakan penyadap air nira itu selalu menjual gula mereka kepada Bapak Tir, seorang tengkulak gula yang kaya raya di desa Karangsoga.
Suatu hari Darsa terjatuh dari pohon kelapa, kemudian dia dibawa ke rumah sakit. Diagnosis di rumah sakit menunjukkan bahwa saraf Darsa terganggu. Karena tak ada yang mampu membiayai perawatan Darsa, akhirnya dia dirawat di rumah. Ternyata Darsa terkena gangguan syaraf kantung kemih sehingga Darsa ngompol terus dan memiliki penyakit impotent. Darsa dirawat oleh Bunek, seorang dukun bayi sekaligus ahli pijat. Beberapa bulan dirawat oleh Bunek, dia mengalami kemajuan bahkan bisa sembuh dan normal seperti biasanya. Akan tetapi, ternyata Darsa dijebak oleh Bunek dengan menyuruhnya membuktikan kejantanannya kepada anak bungsu Bunek yaitu Sipah. Sipah ialah anak bungsu Bunek yang mengalami pincang, Bunek sang dukun bayi tersebut tak ingin anak bungsunya itu menjadi perawan tua, sedangkan Darsa sendiri merasa rikuh atau tidak enak jika menolak permintaan Bunek yang telah menyembuhkannya.
Peristiwa ini merupakan awal kehancuran rumah tangga Darsa dan Lasi. Akhirnya Lasi minggat ke Jakarta dengan memaksa Pardi, supir truk Pak Tir yang biasanya mengantarkan gula ke Jakarta. Di Jakarta, Lasi dititipkan di warung Bu Koneng. Ternyata, Bu Koneng menjual Lasi kepada Bu Lanting secara halus. Di rumah Bu Lanting, Lasi dimanjakan seperti keluarga sendiri. Pemikiran Bu Lanting yaitu ingin menjual Lasi kepada Handarbeni, seorang oveste purnawirawan yang sedang mencari “bekisar” untuk dijadikan gundik. Istilah bekisar dinobatkan kepada Lasi yang ternyata seorang turunan Jepang. Memang kenyataannya ayah Lisa adalah seorang tentara Jepang yang tertarik dengan Mbok Wiryaji muda. Tetapi tentara Jepang itu pergi semasa Lasi belum lahir dan dikabarkan telah meninggal.
Waktu kecil Lasi memang sering sekali diejek sama teman-temanya dengan sebutan yang kurang pantas yaitu Lasi-pang atau Lasi anak Jepang, kecuali Kanjat anaknya Pak Tir. Walaupun umur Kanjat lebih muda dari Lasi, tetapi dia selalu ingin melindungi Lasi dimana pun Lasi berada. Ketika diperlihatkan foto Lasi yang berpakaian kimono (pakaian Jepang), Handarbeni sangat tertarik. Katanya Lasi mirip sekali dengan artis Jepang yaitu Haruko Wanibuchi yang sangat digemari orang banyak pada saat itu.
Lasi tidak bisa menolak tawaran Bu Lanting untuk menjadikan dirinya sebagai pendamping Handarbeni karena Lasi merasakan “kepontang budi”. Dengan terpaksa, Lasi merasa seperti bermain kawin-kawinan seperti masa kecil dulu.
Lasi baru menyadari bahwa ia sangat mencintai Kanjat setelah sekian lama berpisah dan bertemu ketika Kanjat ingin menjemput Lasi pulang ke kampung. Saat itu pula Kanjat sedang menunggu tamunya Bu Lanting yang tak lain adalah Handarbeni. Setelah itu, Lasi menikah dengan Handarbeni selama 2 tahun. Saat itu pula, seorang teman Bu Lanting bernama Pak Bambung ternyata juga menyukai Lasi. Namun dengan tegas Lasi menolak keinginan Pak Bambung untuk menyunting dirinya, karena Lasi merasa harus pulang ke kampung. Di Karangsoga, akhirnya Lasi menikah dengan Kajat dengan disaksikan kerabat dekat orang tua dan Eyang Mus. (Aldi Haryansyah)