Ilustrasi: Adhy Nugroho

Para Pembenci Kata

Para Pembenci Kata

 

Udara selalu diam

Tak bersalah, seperti takdir yang tak mau disalahkan

Sedangkan darah di kepalanya kehausan

Dan selembar kertas hanya ganjalan

Kala itu, ia terbungkam

Menari bersama alunan musik, kalut pada keserakahan

Kala itu, ia tak tahu

Diam, menatap sang raja dinding yang berpikir tajam

 

Kata hanyalah kiasan

Kias realita jahat yang siap menerjang

Taring tajam di sudutnya mengoyak tulang

Hingga kita, makhluk tempat dosa menginap

Kehilangan diri, tercelup air sumur tak berujung

yang mendengungkan luka lama

Cukup membasahkan, tapi tak cukup kuat membunuh akal

Haruskan kita merayakannya?

 

Suara hanyalah pikiran yang ingin didengar

Hanya obat bagi mereka yang kehilangan

Orang bodoh, selalu tersenyum sama bodohnya

Dengan mata yang mengancam membentuk sabit

Menganggukkan tempurung andalan mereka,

pada hakim yang menjilati telinganya

Satu yang perlu,

Membunuh anggapan yang tak sejalan

Satu yang berlaku,

Dunia hanya milik mereka yang bersuara lantang

 

Pita di tenggorakannya mengeluh

Kenapa ia tak punya kuasa

Seperti mereka, para peretorika ulung yang memelihara tikus di saku celana

Mati, tapi tak tercium

Tetap saja

Udara tak bersalah

Karena bau kematian hanya merambat pada air di selokan

 

Kebenaran menguji, kertas abu-abu tergeletak mati

Gelap selalu menyimpan misteri

Terang selalu menyimpan jeruji

 

Suara tak terdengar oleh mereka

Bukan karena ia tak berteriak

Karena sekali lagi,

Udara selalu tak bersalah

 

(Surakarta, 13/12/2018)

 

 

Di Kala Layu

 

Seperti tinta mengalir

Gelak irama menjari melalui celah jemari

Diri yang buntu menggayuh, mencoba meresap

Namun langkah itu semakin jauh,

kabut ungu semakin menggelap

Dan mata itu semakin mengelak

Tertawa menatap kaca yang retak

Lalu merajuk, layaknya korban di seberang jalan

 

Tali merah merenggut pernapasan

Batu-batuan di bawah kaki menjadi kapas kering keemasan

Mengais, mencari jalan keluar, diri ini ingin keluar

Delapan mata, ribuan telinga

Tak ingin melihat, tak ingin merasa

 

Keluarkan diri ini

Dari lengkungan manis bibirmu

Dari suara lirihmu

Darimu, teman

 

(Surakarta, 18/05/2019)

 

 

Rantas

 

Hari ini, kotak putih terlihat berserakan

Seperti hari-hari lalu,

Hari-hari dulu,

Akan seperti itu, kemudian, lenyap tak berbekas

 

Seonggok daging itu akan membusuk

Nanti, tanpa pratanda

Menukik menjelma asap bulat bersahaja

 

Dan kotak putih tetap terlihat berserakan

Seperti hari-hari lalu,

Hari-hari dulu

Berdebu bersama waktu, lalu lenyap

Kemudian datang tapak kaki ringkih

Yang baru dan berulang

 

Surakarta (19/05/2019)

 

[su_divider top=”no”]

 

[su_box title=”Hesty Safitri”]Mahasiswa Teknik Kimia UNS angkatan 2018. Surel: hestysafitri56@gmail.com[/su_box]