Para Pembenci Kata
Udara selalu diam
Tak bersalah, seperti takdir yang tak mau disalahkan
Sedangkan darah di kepalanya kehausan
Dan selembar kertas hanya ganjalan
Kala itu, ia terbungkam
Menari bersama alunan musik, kalut pada keserakahan
Kala itu, ia tak tahu
Diam, menatap sang raja dinding yang berpikir tajam
Kata hanyalah kiasan
Kias realita jahat yang siap menerjang
Taring tajam di sudutnya mengoyak tulang
Hingga kita, makhluk tempat dosa menginap
Kehilangan diri, tercelup air sumur tak berujung
yang mendengungkan luka lama
Cukup membasahkan, tapi tak cukup kuat membunuh akal
Haruskan kita merayakannya?
Suara hanyalah pikiran yang ingin didengar
Hanya obat bagi mereka yang kehilangan
Orang bodoh, selalu tersenyum sama bodohnya
Dengan mata yang mengancam membentuk sabit
Menganggukkan tempurung andalan mereka,
pada hakim yang menjilati telinganya
Satu yang perlu,
Membunuh anggapan yang tak sejalan
Satu yang berlaku,
Dunia hanya milik mereka yang bersuara lantang
Pita di tenggorakannya mengeluh
Kenapa ia tak punya kuasa
Seperti mereka, para peretorika ulung yang memelihara tikus di saku celana
Mati, tapi tak tercium
Tetap saja
Udara tak bersalah
Karena bau kematian hanya merambat pada air di selokan
Kebenaran menguji, kertas abu-abu tergeletak mati
Gelap selalu menyimpan misteri
Terang selalu menyimpan jeruji
Suara tak terdengar oleh mereka
Bukan karena ia tak berteriak
Karena sekali lagi,
Udara selalu tak bersalah
(Surakarta, 13/12/2018)
Di Kala Layu
Seperti tinta mengalir
Gelak irama menjari melalui celah jemari
Diri yang buntu menggayuh, mencoba meresap
Namun langkah itu semakin jauh,
kabut ungu semakin menggelap
Dan mata itu semakin mengelak
Tertawa menatap kaca yang retak
Lalu merajuk, layaknya korban di seberang jalan
Tali merah merenggut pernapasan
Batu-batuan di bawah kaki menjadi kapas kering keemasan
Mengais, mencari jalan keluar, diri ini ingin keluar
Delapan mata, ribuan telinga
Tak ingin melihat, tak ingin merasa
Keluarkan diri ini
Dari lengkungan manis bibirmu
Dari suara lirihmu
Darimu, teman
(Surakarta, 18/05/2019)
Rantas
Hari ini, kotak putih terlihat berserakan
Seperti hari-hari lalu,
Hari-hari dulu,
Akan seperti itu, kemudian, lenyap tak berbekas
Seonggok daging itu akan membusuk
Nanti, tanpa pratanda
Menukik menjelma asap bulat bersahaja
Dan kotak putih tetap terlihat berserakan
Seperti hari-hari lalu,
Hari-hari dulu
Berdebu bersama waktu, lalu lenyap
Kemudian datang tapak kaki ringkih
Yang baru dan berulang
Surakarta (19/05/2019)
[su_divider top=”no”]
[su_box title=”Hesty Safitri”]Mahasiswa Teknik Kimia UNS angkatan 2018. Surel: hestysafitri56@gmail.com[/su_box]