Oleh Hanputro Widyono
Saya tak ingin mengklaim Solo sebagai kota sastra. Pasalnya pendakuan semacam itu tidak akan sah tanpa dibubuhkannya tanda tangan berbagai pihak, entah walikota atau para sastrawan sendiri. Akan tetapi yang saya tahu, sepanjang 2015 banyak kegiatan-kegiatan berbau sastra yang digelar di Solo. Diskusi, pelatihan menulis, seminar, pentas drama, teater, pembacaan puisi maupun bedah buku-buku sastra diselenggarakan di kampus-kampus, Taman Budaya Jawa Tengah, Wisma Seni, ataupun Balai Soedjatmoko.
Tentunya, acara semacam itu tidak akan meriah tanpa dihadiri tokoh-tokoh sastra. Maka pihak panitia tak lupa untuk mendatangkan para penulis kondang ke hadapan penikmat sastra. Sebut saja, Elizabeth D. Inandiak, Sapardi Djoko Damono, Leila S. Chudori, Joko Pinurbo, Okky Madasari, Triyanto Triwikromo, Ayu Utami, Damhuri Muhammad, Faisal Oddang dan masih banyak lainnya. Ikhtiar itu dilakukan sebagai penghormatan atas kerja literasi yang dilakukan para penulis. Dugaan saya, acara-acara semacam itu juga mengikutkan tanda tangan sebagai bukti pelegalan kegiatan.
Sebagai mahasiswa sastra, saya pun seakan wajib untuk menghadiri acara-acara tersebut. Saya hampir tak pernah absen. Sialnya, dalam acara-acara semacam itu selalu saja ada hal yang mengganggu mata, hati, dan pikiran saya. Adalah sesi foto bersama penulis dan penandatanganan buku. Mendadak para penulis atau sastrawan itu diperlakukan seperti artis.
Padahal penyair seperti Wiji Thukul dengan lantang berkata: Aku bukan artis pembuat berita! Namun, orang-orang itu tak mendengar teriakan Wiji Thukul. Mereka pura-pura tuli. Mereka tetap antre panjang dan berdesak-desakan sambil menenteng buku-buku karya si penulis. Mereka tetap ngotot meminta tanda tangan. Jepretan kamera pun tak berhenti memetik gambar, meski wajah penulis dipenuhi keringat yang berleleran.
Saya sendiri tidak tahu, dari mana asal-usul para pemburu foto dan tanda tangan ini. mayoritas wajah-wajah mereka bukanlah wajah pembaca, meski ada pula pembaca yang ikut-ikutan. Buku-buku yang dibawa pun masih baru. Barang kali bungkus plastiknya masih ada dikantong celananya. Hal yang lebih memuakkan, terkadang durasi untuk foto dan tanda tangan itu jauh lebih lama daripada waktu untuk penulis ngoceh saat acara. Tapi itu pun juga diamini pihak panitia penyelenggara. Bahkan mereka tak mau ketinggalan untuk ikut berfoto bersama sang penulis. Barangkali, sesi foto dan tanda tangan memang sudah ada deal-deal-annya.
Pernah suatu ketika di Balai Soedjatmoko, ada seorang bapak rumah tangga yang tinggal di Colomadu, merasakan kemuakan yang sama dengan saya. Tapi saya tak seberani dia. Bapak rumah tangga itu mengekpresikan kemarahannya terhadap aktivitas foto panitia penyelenggara bersama penulis asal Australia dengan meneriakkan “Pancasila”. Serentak, banyak pasang mata menengok ke sumber suara. Saya juga agak bingung menangkap maksudnya. Barangkali menurutnya, pancasila sebagai simbol jati diri bangsa tidak pernah mengajarkan kita untuk berfoto bersama atau pun mengemis tanda tangan penulis.
Tak butuh
Dari nama-nama penulis yang disebut di atas, yang paling ramai dimintai tanda tangan adalah Sapardi Djoko Damono. Saya memperkirakan, malam itu di Balai Soedjatmoko, ada sekitar 100 orang yang menodong tanda tangan ‘eyang’ Sapardi. Sebagai catatan, satu orang itu tidak hanya membawa satu buku, tetapi dua atau tiga, ada juga yang empat. Padahal sebelumnya, ketika di Yogyakarta, Sapardi mengaku telah menandatangani 400 buku dalam sehari. Capek.
Ya, benar seperti dugaanmu, mereka tidak peduli. Oh, betapa kejinya para pemburu foto dan tanda tangan itu. Mereka telah semena-mena terhadap kakek-kakek berusia 75 tahun. Mereka tak sadar jika sesungguhnya telah menyiksa diri penulis. Si penulis lelah dan kuyu lantaran bibirnya harus terus menerus menahan senyum. Tangannya bergetar karena tak berhenti mencorat-coret halaman depan buku yang susah-payah ditulisnya.
Sepulang dari acara itu, penulis tak bisa menulis saking capeknya. Bayangkan, jika peristiwa itu terjadi berulang kali di setiap lokasi yang penulis kunjungi. Malang nian nasibnya! Memang, ia sukses sebagai penandatangan, tetapi boleh jadi, penulis itu akan gagal menjadi penulis akibat sering kecapekan. Dengan kata lain, para pemburu foto dan tanda tangan itu telah melakukan permufakatan jahat!
Kini kita dapat melihat, jika sastra tak melulu bergelimang makna. Sastra juga bergelimang tanda tangan. Memasuki 2016 ini saya hanya bisa berdoa: semoga teman-teman, saudara-saudara yang masih “mengemis” tanda tangan ataupun foto dari penulis idaman, untuk kemudian dipajang di ruang tamu atau dipamerkan di media sosial, lekas insaf. Sesungguhnya penulis tak butuh dimintai tanda tangan atau tergoda berfoto bersamamu. Penulis hanya butuh karya-karyanya dibaca.
Sekian. Semoga doa saya lekas ditandatangani Tuhan.