Tak Sekadar Nangkring

Oleh: Panji Satrio

Ngobrol di warung kopi…..
Nyentil sana dan sini…..
Sekedar suara rakyat kecil…
Bukannya mau usil…

 

Sambil minum kopi,
ngobrol sana sini…
Sambil ngaduk-ngaduk kopi,
eh jangan dibawa ke hati…”

 

PENGGALAN lirik lagu “Ngobrol di Warung Kopi” yang diciptakan oleh Warkop DKI pada era 80-an merupakan sebuah gambaran ringkas mengenai cara bersosialisasi orang Indonesia. Seperti bait kedua dalam penggalan lirik lagu tersebut, warung kopi merupakan sebuah tempat yang digunakan warga untuk berbincang-bincang, saling tukar gagasan atau sekadar mengobrol ngalor-ngidul. Warung kopi juga dikenal dengan sebutan angkringan, wedangan, atau HIK (Hidangan Istimewa Kampung) di daerah Solo dan sekitarnya.

 

Angkringan yang ada di Solo mudah sekali ditemukan di hampir setiap sudut di kota. Baik hanya sekadar gerobak yang ditutupi dengan terpal, maupun gerobak yang tanpa tutup dan duduk lesehan di sekitar gerobak tersebut.  Meski demikian, makanan yang ditawarkan biasanya seragam, yaitu aneka macam gorengan, nasi bungkus, baceman, atau tusuk sate yang beragam. Begitu juga dengan minumannya. Sangat sederhana.

 

Tidak jelas bagaimana asal-usul munculnya angkringan dan sejenisnya. Namun yang jelas tradisi berkumpul dan menyatap hidangan sederhana ini sudah sejak zaman kolonialisme Belanda. Tradisi tersebut masih berlanjut hingga sekarang. Angkringan tidak mengenal kasta sosial, sehingga siapapun dapat srawung dan mengobrol santai.

 

Semakin banyaknya café-café modern yang menawarkan konsep yang hampir sama, tak membuat angkringan dan sejenisnya, kehilangan peminat. Angkringan yang nyaman digunakan sebagai tempat berkumpul , atau sekadar mengisi perut dengan hidangan-hidangan yang relatif murah selalu diminati warga.[]


panjiPanji Satrio. Anak penghujung 90-an. Sejak kecil di Solo dan sedang menempuh  S1 di Universitas Sebelas Maret program studi Hubungan Internasional. Merupakan penghobi fotografi dan gemar diskusi. Masih motret dengan klise. Surel: binangun078@yahoo.co.id.