SUNGGUH JENAKA. Diantara isu hoax yang menyeruak, justru media arus utama yang berada di garda terdepan untuk memaki keberadaan media baru. Hoax jadi semakin terbatas pada istilah kebohongan dan internet. Memang sebagian benar, namun perlukah pers arus utama segetol itu menghardik kehadiran hoax? Masyarakat seharusnya sangsi apakah pers media arus utama prihatin atas minimnya kabar berkualitas atau prihatin atas mulai tergesernya media arus utama oleh kedetangan media baru.
Terdapat pendefinisian terbatas antara fakta dan hoax. Fakta diprasangkai sebagai kenyataan sosial yang patut diperjuangkan, sedangkan hoax patut dibasmi.
Dalam rubrik Opini majalah Kentingan no.13/th. IX/2003, terdapat sebuah tulisan dengan judul Newsaholics. Penulisnya Triono Wahyu, Mantan Pemimpin Umum Kentingan Periode 2001-2002. Dalam tulisannya, Triono mengutip perkataan Nietzche dan menjadikannya kentara di awal tulisan. “Fakta tak pernah benar-benar ada, realitas kejadian, atau peristiwa ketika ditulis menjadi berita bukan lagi fakta, tapi penafsiran atas realitas kejadian atau peristiwa”.
Bayangkan saja bila esai yang terbit pada tahun 2003 itu, terbit di kolom opini surat kabar di tengah ramainya isu ‘kejahatan hoax’ macam sekarang ini. Mungkin saja, unggahannya akan diperbanyak dan menuai tanggapan yang ramai. Wah, bisa dijadikan quotes kekinian.
Triono sempat menyoal kecerdasan salah satu stasiun televisi yang menyiarkan acara MTV Ngibul pada tahun 2001, dan ternyata masih memiliki relevansi di era media baru. Acara tersebut justru menyajikan berita-berita bohong secara jenaka. Triono menyebutnya sebagai kebutuhan masyarakat untuk mengetahui pers sebagai penafsir alih-alih penyampai fakta. Nyatanya, isu berita bohong dan kebingungan masyarakat akan pemberitaan di media, masih saja awet dijadikan bahasan dan umpatan. Bedanya, kalau dulu kesalahan media massa berujung penggrebekan dan pembredelan, kini cukup menyindir dan menciptakan tagar serta mengisi petisi lewat media sosial. Niscaya si media bakal digruduk warga maya yang puluhan kali lebih kejam ketimbang si penggrebek dan si pembredel.

Penciptaan Fakta dan Hoax
Pasca trauma atas pengekangan media massa di era Orde Baru, tahun 1998 hingga 2000-an menjadi momentum berharga bagi media arus utama di Indonesia. Fakta dianggap menjadi milik awak pers setelah dikuasai sepenuhnya oleh negara. Kehausan akan “mengetahui suatu hal” terbayar dengan kebangkitan surat kabar nasional maupun lokal, serta menjamurnya televisi-televisi swasta. Media massa seketika menjadi dewa kebenaran. Sehingga masyarakat sulit memisahkan antara hiburan semata atau dapat dijadikan referensi informasi.
Misalnya saja, catatan perpolitikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kemenangannya yang mengejutkan di Pemilihan Presiden tahun 2004. Ia disebut sebagai politisi bermedia. Berbeda dengan Megawati – rivalnya pada Pilpres – yang selalu dikenal menghindari sorotan media. SBY hampir selalu memenuhi kaidah pertelevisian Indonesia yaitu, dramatis dan karismatik.
Kompas tahun 2008 bahkan pernah menerbitkan laporan – penting tidak penting — tentang keharuan SBY ketika menonton Film Ayat-ayat Cinta. Berita dijuduli, Presiden Berkali-kali Menghapus Air Matanya. Selain itu, ia pun gemar tampil entah dalam konteks kenegaraan maupun entertainment perihal menyanyi, peluncuran album hingga hadir dalam final Indonesian Idol (Ariel Heryanto, 2015). Alhasil, pencitraan yang ciamik berhasil mengantarkan SBY menjadi presiden untuk kedua kalinya.
Namun, akan menjadi dosa apabila media massa melakukan kesalahan yang sama seperti tabloid Monitor. Dalam suatu rubrik jajak pendapat berjudul, Ini dia: 50 Tokoh yang Digemari Pembaca edisi 15 Oktober 1990. Nabi Muhammad ditempatkan dalam urutan 10, dibawah Arswendo sang pimpinan redaksi. Rubrik tersebut mengantarkan Arswendo ke penjara dan menjadi akhir dari kejayaan Monitor. Istilah tabloid yang seharusnya jelas menjadi sarana hiburan, justru menjadi blunder ketika menyampaikan fakta yang kelewat objektif. Media dengan isian “serius” justru dengan mudah membuat peristiwa tidak terlalu penting menjadi patut diperbincangkan.
Apabila ditanya dari kedua kasus tersebut tentang mana yang lebih objektif, hanya kebingunganlah yang kita temui. Masyarakat yang menggungat keobjektifan pers sebenarnya masih ragu dalam meyakini istilah “fakta yang objektif”’. Triono dalam esainya telah menyebutkannya sebagai gejala ‘Newsahollic’, alias kebingungan masyarakat atas informasi. Alhasil, pemaknaan suatu kabar akan kembali kepada kepercayaan masing-masing.
Pengkultusan pers sebagai dewa kebenaran seharusnya juga cepat-cepat dihapus.. Pasalnya, penyampaian pesan yang dilakukan dengan cara one-to-many diyakini lebih efektif dan persuasif.
Media Literasi itu…
Yang tidak pers katakan adalah kenyataan bahwa setiap jurnalis memiliki latar belakang sosialnya masing-masing. Mengutip dari Teun A. Van Djik, latar belakang itulah yang sebenarnya selalu terkait saat jurnalis menjalankan tugasnya, itulah yang disebut teori kognisi. Istilah “jurnalis tetaplah orang, begitupula setiap orang adalah jurnalis” perlu dikemas kembali untuk disampaikan kepada masyarakat.
Mungkin, pers kebacut beban dengan amanat UU Pers N0. 40 Tahun 1999 di mana secara bersamaan maupun terpisah. Pers seperti diharuskan menjadi media informasi, hiburan, edukasi, serta kontrol sosial. Namun, ditengah amanat suci tersebut ada variabel yang menghalalkan pengecualian. Surat kabar masih bergantung pada oplah penjualan, serta televisi masih menghamba pada rating. Mereka sama-sama berdiri atas pemasukan iklan dan nama perusahaan yang mau tidak mau menambah lagi satu fungsi dalam badan pers, yaitu fungsi ekonomi. Pemerintah seolah mencetak malaikat baik sekaligus jahat bernama pers, celakanya masyarakat juga turut mengamini hal itu.
Misalnya saja, di tengah isu hoax belakangan ini, beberapa media arus utama menyayangkan rendahnya kesadaran membaca masyarakat kita yang menyebabkan berita bohong mudah memprovokasi. Pers berprasangka telah menyediakan media literasi yang mumpuni ditengah masyarakat dengan menyediakan keberagaman kabar. Informasi berupa edukasi dan hiburan tumpah ruah dan diharapkan masyarakat dapat memilih sendiri. Sehingga apabila tercipta kebingungan dan konflik, dengan sigap pers menyalahkan pihak luar bahkan masyarakat sendiri.
Dalam film Before Sunrise (1995), Jesse mengungkapkan ide pembuatan sebuah acara yang menyiarkan 24 jam nonstop kehidupan seorang pria. Celline tentu saja tertawa. Ia lalu menanggapi, kalaupun acara itu ada, berarti semacam National Geographic versi manusia. Argumen logisnya, mana ada orang yang mau menikmati acara seperti itu. Pers pun begitu. Ia memiliki kewajiban sekaligus hak melakukan agenda setting serta framing, atau dengan kata lain ‘menyeleksi fakta’. Alasannya beragam. Agar pemberitaan enak dibaca atau ditonton, memiliki nilai berita, dan lain sebagainya.
Sungguh asyik bila pers mengetahui dosa-dosanya dan sesekali mengkritisi diri sendiri. Bisa jadi, itulah sebenarnya media literasi yang diperlukan masyarakat. Selamat Hari Pers ya! []
Baca juga saluransebelas.com edisi “Geledah Arsip” lainnya!
Tulisan 1 : Tak Ada Malaikat Bernama “Pers”
Tulisan 2 : Pagar Itu Antagonis!
Tulisan 3 : Internet Masuk Kampus
Tulisan 4 : Ulang Tahun Tak Seromantis Dulu
[author title=”Ririn Setyowati” image=”https://i0.wp.com/saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/04/Ririn-Setyowati.jpg?w=618″]Seorang mahasiswi pembelajar pesan. Sering dikatakan terlalu belia dan belum pantas. Namun, menepis stempel dini bukan merupakan hal yang salah. Mencoba mengimplikasikan ‘manusia bermoral’ seperti apa yang diharapkan Moctar Lubis dalam pahamnya. Surel: ririnsetya198@gmail.com.[/author]