Aliansi Solidaritas Perlawanan Rakyat Surakarta (SODARA) kembali melaksanakan Aksi Solo Menggugat. Pada Minggu sore (23/04), sejumlah massa aksi berkumpul di depan Monumen Patung Slamet Riyadi untuk menyuarakan tuntutannya. Adapun 7 poin tuntutan yang menjadi fokus utama pada aksi damai hari itu sebagai berikut:
- Menuntut pemerintah segera menstabilkan harga & ketersediaan bahan pokok serta mengusut tuntas mafia pangan;
- Menolak kenaikan harga BBM, LPG, dan PPN 11%;
- Menuntut pemerintah segera menuntaskan konflik agraria di berbagai daerah & sahkan RUU masyarakat hukum adat;
- Mendesak pemerintah untuk mengawal penerapan UU TPKS;
- Menuntut pemerintah memberikan jaminan bantuan sosial kepada masyarakat miskin, pekerja rentan terdampak pandemi secara tepat sasaran;
- Menolak wacana penundaan pemilu, penambahan masa periode presiden; dan
- Hentikan politik upah murah dan jamin kepastian kerja serta berikan THR secara penuh tanpa dicicil.
Aksi Solo Menggugat pada sore hari itu dilatarbelakangi keresahan pada sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini, hal itu juga diwujudkan dalam penyampaian orasi oleh sejumlah perwakilan peserta aksi. Aksi yang berjalan dari pukul 16.00 WIB hingga maghrib itu hadir dengan massa yang cukup beragam. Di samping sejumlah lembaga mahasiswa seperti GMNI, IMM, dan PMII, pihak masyarakat umum juga turut terlibat dan ikut menyuarakan orasi. Mereka mendukung aksi mahasiswa atas dasar rasa prihatin terhadap keadaan yang terjadi belakangan ini. SODARA selaku penggagas aksi juga menyatakan bahwa sedari awal aksi tidak dibatasi untuk golongan atau kelompok tertentu.
“Kami tidak menutup ruang, dalam artian siapa pun bisa mengikuti forum yang diadakan SODARA karena kami menolak eksklusivitas karena suara yang disampaikan adalah suara bersama-sama, bukan hanya untuk golongan kita saja,” jelas Ghani selaku humas dari SODARA.
SODARA sendiri merupakan aliansi yang dibentuk sejak aksi penolakan Omnibus Law. Gerakan ini turut melibatkan lembaga-lembaga seperti Badan Eksekutif Mahasiswa dan Kelompok Cipayung yang beranggotakan berbagai organisasi mahasiswa.
Orasi mahasiswa dibuka dengan beberapa mahasiswi yang berdiri untuk menuntut pemerintah terus mengawal penerapan UU TPKS di tengah-tengah aksi. Kemudian tuntutan lain ikut disuarakan.
“Kami mohon dengan sangat kepada Pemerintah Indonesia, ini saatnya Indonesia melek terhadap kejahatan seksual. Saya mewakili seluruh perempuan Indonesia bahwa kami dianggap remeh. Kita harus membuktikan bahwa kekerasan seksual bukanlah hal wajar. Dari dulu sampai sekarang kami rakyat Indonesia hanya ingin keadilan,” ucap orator dengan tegas untuk menuntut pemerintah terus mengawal penerapan UU TPKS agar tetap pada tujuannya. Menurut penuturan orator-orator perempuan, mereka sepakat bahwa UU TPKS tidak bisa jika hanya disahkan saja, melainkan juga harus terus diawasi sehingga kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia dapat berkurang dan korban bisa mendapatkan keadilan.
Orasi dilanjutkan dengan mahasiswa-mahasiswa yang prihatin terhadap penetapan PPN 11% di tengah krisis pangan, penetapan IKN yang nirmanfaat, dan masalah penanganan mafia pangan. “Di tengah krisis pandemi, pemerintah membuat kebijakan PPN 11%. Tidak hanya itu, kenaikan bahan pokok pun belum juga diselesaikan. Pemerintah mencekik dan tidak menyediakan distribusi yang cukup untuk ketersediaan bahan pokok,” seru orator yang juga mengatakan bahwa pemerintah kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat. “Tidak ada kesejahteraan untuk rakyat, yang ada hanyalah kesejahteraan untuk mereka-mereka sendiri,” pungkasnya.
Penulis: Alifia Azizah dan Atif Kasful Haq
Editor: Sabila Soraya Dewi