“Herman, terima kasih untuk surat darimu yang tak pernah berhenti datang. Saya sangat membutuhkan teman bicara akhir-akhir ini. Menulis pun rasanya capek luar biasa. Atau mungkin saya sedang muak dan tak punya inspirasi?”
Sambat nulis diungkapkan Soe Hok Gie dalam sebuah surat yang dikirim ke Papua buat Herman O Lantang pada 1969. Gie sudah rajin menulis sejak remaja. Tulisan masa remaja dimuat di majalah dinding sekolah. Kebiasaan dan kegairahan menulis terus berlanjut saat diri berpredikat mahasiswa. Kampus adalah tempat bagi orang-orang bertaruh nasib, masa depan, buat merasai jenjang pendidikan tertinggi. Semakin tinggi pendidikan seseorang, artinya semakin berisi atau berlimpahan pengetahuan. Seturut dengan kata pepatah ihwal ilmu padi, manusia berilmu bakal semakin menunduk mencium tanah. Peka dengan situasi lingkungan sosialnya.
Kepekaan Gie, dihadirkan lewat tulisan-tulisannya. Peralihan predikat dari mahasiswa menjadi dosen di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, tak mengubah ketekunannya menulis. Bahkan saat ada ketidakberesan di fakultas sastra: banyak dosen yang tidak berdedikasi dalam pekerjaannya, mahasiswa sastra yang semakin malas, Gie dengan keras mengkritik lewat tulisan berjudul “Wadjah Mahasiswa UI Jang Bopeng Sebelah”. Alur narasi ini bisa kita simak dalam film Gie (2005) garapan Riri Riza. Gie yang yang terkenal dan rajin menulis itu nyatanya juga sempat “sambat”.
Meski sambat, tak berarti Gie lantas berhenti menulis. Sambat hanyalah salah satu cara untuk menyucikan jiwa, memantapkan hati untuk kemudian menulis kembali. Kalau bahasanya Gie, “istirahat”. Simaklah catatan hariannya di hari Minggu 22 Juni 1969: “Sehari-harian saya cuma istirahat. Membaca cerita detektif. Saya kira saya perlu istirahat mental. Tak ada selera untuk menulis atau membaca yang berat-berat. Motor pun memerlukan istirahat”. Motor masih berfungsi dan esok ia akan mulai menulis lagi.
Sambat menulis juga pernah dilakukan oleh Rangga, lelaki legendaris dalam hidup Cinta. Di film Ada Apa dengan Cinta 2 (2016), setelah ratusan purnama berlalu di New York, Rangga akhirnya kembali ke Indonesia. Berniat buat menemui dan menyelesaikan konflik dengan ibunya yang ada di Jogja, Rangga justru ditakdirkan sang sutradara—lagi-lagi Riri Riza!—bertemu Cinta. Pertemuan awalnya berjalan kaku dan dingin. Cinta sudah bertunangan, tapi masih sakit hati lantaran diputuskan Rangga. Ah, cerita sentimentil yang membolak-balikkan perasaan.
Pikiran soal Cinta, nyatanya juga tak membuat Rangga hidup damai dan lancar menulis. Ia meriang, meriang, dan meriang. Rangga kurang tidur dan tampak gelisah. Telah lama, berbulan-bulan, Rangga tak menulis. Itu yang ditangkap Roberto, rekan kongsi kedai kopi Rangga di New York. Roberto ingin Rangga kembali ke Indonesia barang sebentar untuk menenangkan pikiran dan mulai menulis kembali. Setelah merenung dan menimbang, Rangga pulang ke Indonesia. Di Jogja, seperti ada campur tangan semesta, Rangga diberi waktu untuk berbagi penjelasan pada Cinta soal rusaknya kisah asmara mereka.
Masalah pun jadi terang, tapi hari sudah gelap. Di warung sate klathak, Rangga dan Cinta makan malam sambil mengobrol. Cinta bertanya, “Kalau puisi? Masih suka nulis puisi?” Rangga memang masih menulis puisi. Bahkan ia tengah menggarap sebuah buku yang memadukan puisi dan fotografi. Gadis ayu yang dikasihi Rangga itu terpukau. Mungkin membayangkan sebuah karya yang manis lagi romantis. Sebelum akhirnya Rangga sambat: “Ya tapi nggak selesai-selesai bukunya”. Sambat nulis diungkapkan begitu enteng. Semacam ada keyakinan bahwa tak lama lagi ia mampu menyelesaikannya.
Dua film memberi pengertian, sambat nulis adalah sesuatu yang manusiawi. Pengemis-pengemis sambat lapar setelah berhari-hari tak menyantap sesuap nasi; kuli-kuli di pasar mengeluh pegal-pegal sehabis memanggul berpuluh-puluh karung beras; atau anak-anak yang mengaduh sebab jatuh dari sepeda. Semuanya adalah hal yang wajar, tanpa kejanggalan. Sebab mereka sudah mengalami, melakoni pelbagai kesulitan itu. Saat mendapat penjelasan, orang pun bisa menerima sambat-sambat yang muntah dari mulut-mulut mereka.
Hal yang berbeda berlaku bagi para dosen-dosen berpredikat lektor kepala dan profesor. Saat Mohamad Nasir mengeluarkan Permenristekdikti No. 20/2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, banyak dosen-dosen dan profesor yang mengeluh. Sebabnya di dalam peraturan tercantum pula ancaman penghentian tunjangan bagi para profesor dan lektor kepala yang tidak menulis tiga karya ilmiah di jurnal nasional terakreditasi atau satu karya ilmiah di jurnal internasional dalam tiga tahun. Alih-alih tergerak untuk tekun menulis seperti tujuan penerbitan peraturan, justru ada yang menganggap aturan sebagai bentuk kolonialisasi. Pantas saja di pelbagai koran bersebaran sambat dosen-dosen dan profesor.
“Profesor kok disuruh publikasi jurnal internasional setiap tahun. Ini sih namanya kolonialisasi,” kata dosen Fisipol UGM, Arie Sudjito. Rasanya menulis itu benar-benar suatu beban mahaberat dan menyiksa. Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yudian Wahyudi juga merasa aturan menulis jurnal ilmiah tidak tepat diberlakukan saat ini (Republika, 2 Maret 2017). Meski “hanya” sekali dalam 352 hari. Demikianlah potret dosen-dosen di Indonesia. Peraturan belum dijalani, kerja menulis belum dimulai, tapi sambatnya sudah minta ampun. Haduh! []
[author title=”Hanputro Widyono” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/07/Hanputro-Widyono.jpg”]Penulis Buku “Kampus Saja” (2016)[/author]