Salah Istilah

 

KETIKA Wildan Wahyu Nugroho resmi ditetapkan sebaga tersangka. Darsono, Wakil rektor bidang kemahasiswaan, langsung mengambil tindakan. Ia dan jajarannya menunjuk tim dari Ikatan Alumnis (IKA) Fakultas Hukum UNS sebagai upaya pendampingan hukum. Alasan dilakukannya tindakan itu sederhana, mau bagaimanapun, “Wildan tetaplah mahasiswa kami.”

 

Alasan serupa pernah dilontarkan 22 tahun yang lalu. Surat Kabar Mahasiswa (SKM), Saluran Sebelas edisi 01 tahun 1995 halaman enam, merekam pernyataan serupa. Parwoto, Pembantu Rektor III UNS, menyadari hak-hak berpolitik mahasiswa. Baginya, mengungkapkan gagasan politik adalah hal yang wajar, asalkan, “jangan di dalam kampus.”

 

Saat itu politik luar kampus sedang panas-panasnya. Dalam laporan yang dijuduli  itu, awak Saluran Sebelas menyakan tanggapan Parwoto soal mahasiswa yang lebih kerap hadir dalam “advokasi mimbar bebas”. Ia laiknya Darsono, “mahasiswa selama tercatat di UNS ya tetap dilindungi.”

 

Sehingga, tak dapat dipungkiri, pejabat kampus selalu memikul fungsi afeksi disamping edukasi dan birokrasi. Apalagi Parwoto dan Darsono sama-sama bergelut dalam bidang kemahasiswaan. Posisi yang seharusnya membuat mereka dekat dengan mahasiswa.

 

Entah bagaimana tanggapan Darsono. Namun, Parwoto justru kecewa. Jabatannya saat itu rasanya tak ia emban dengan maksimal. Harapan untuk mengobrol sambil melepas tawa dengan mahasiswa rupanya tak bisa ia wujudkan hingga akhir masa jabatannya. Padahal selama dua kali masa tugasnya ini, ia telah meyakini, “Pembantu rektor III adalah sosok pembantu mahasiswa bukan pimpinan mahasiswa yang diktaktor.”

 

Parwoto berharap pada Supardi – pengisi posisi Pembantu Rektor III setelahnya, agar dapat melayani mahasiswa dengan maksimal. Ia juga tak lupa berpesan sekaligus berkelakar, “PR III itu harus seperti Coca Cola, mau ditemui dimana saja dan kapan saja.”

 

PEMBANTU. Istilah itu akhirnya di ganti oleh Peraturan Menteri Riset Tinggi Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2015. Pembantu rektor direvisi menjadi wakil rektor, begitupun pembantu dekan direvisi menjadi wakil dekan. Alhasil, banyak universitas ramai-ramai mengganti nama panggilan jabatan.

 

Tahun itu ternyata bertepatan dengan terpilihnya Ravik Karsidi sebagai rektor UNS untuk kedua kali. Punggawa-punggawa rektorat pun disusun. Ravik yang sebelumnya memiliki pembantu kini harus terbiasa menyebutnya, “wakil.”

 

Terkait pergantian nama. Ada tanggapan menarik dari Prof. Dr. Agus Irianto, Wakil Rektor I Universitas Negeri Padang. Ia mengatakan pengubahan nama itu dilakukan karena orientasi istilah pembantu sekarang dianggap kurang bagus. “Nama wakil lebih elegan daripada nama pembantu.” (Ganto.co, 8 Juni 2015).

 

Jabatan selalu menuntut penghormatan. Baik menggunakan istilah pembantu maupun wakil, pada intinya akan tetap sama, mereka tetaplah pejabat. Sedangkan kami adalah mahasiswa. Secara hirarkis sudah dianggap berbeda. Harapan agar pembantu atau wakil rektor dekat dengan mahasiswa sama dengan logika para pejabat yang ingin dekat dengan rakyat.

 

Fungsi utama mereka barangkali memang bekerja secara birokratis menangani administrasi kampus. Sedangkan fungsi afeksi dan akademi boleh saja dikesampingkan.

 

Saya setuju dengan Goenawan Mohammad menyoal politik kategorisasi. Dalam salah satu esai pertamanya pada tahun 1995 di Catatan Pinggir itu, Goenawan menuliskan “Yang singular, yang unik, yang tak bisa dikopi, dianggap mustahil atau meracau. Manusia adalah ‘oknum’ atau ‘anggota’, tidak bisa tidak. Si Badu itu ‘santri’, atau kalau tidak, ‘abangan’. Si Jengkol itu ‘kiri’, atau kalau tidak, ‘kanan’” (1995: 5).

 

Politik kategorisasi kebacut menjadi kultur. Kalau benar Parwoto ingin menjadi penjabat dan pembantu rektor yang dekat denganmahasiswa. Pekara identitas, perubahan istilah pembantu menjadi wakil sebenarnya tak begitu membantu mewujudkan impiannya. Masih sama-sama jauh dari ranah mahasiswa. Baik pembantu maupun wakil, kalau masih memakai embel-embel ‘rektor’. Ya, bisa saja waktu menghadap rektor, langsung sendiko dawuh.

 

Kalau orientasinya dekat dengan mahasiswa, nama jabatannya mungkin bisa diganti menjadi ‘Sahabat Mahasiswa’. Selain kesannya lebih akrab, barangkali Ibu Bapak di bidang kemahasiswaan jadi mau berkunjung ke Graha Unit Kegiatan Mahasiswa. Menginap di sekretariat UKM sembari gitaran. Ngopi bersama di angkringan. Dan yang paling asyik bisa diskusi ngrasani tugas kuliah dan dosen yang naudzubillah.

 

Atau kalau tetap ingin memperjuangkan hak-hak mahasiswa di mimbar rektorat, mungkin bisa juga pakai nama ‘Sahabat Mahasiswa dan Rektorat’. Selepas merasakan nikmatnya aroma sepatu dan kaos kaki basah, disertai obrolan santai dan gorengan, mungkin Ibu Bapak akan jadi lebih tahu bagaimana mahasiswa copas saat nugas, lelahnya menjadi budak proker, gosip-gosip dan hal remeh temeh lainnya.

 

Siapa tahu bisa memunculkan ide-ide yang bisa didiskusikan di rektorat. Bukan hanya mencari tahu apa permasalahan mahasiswa di belakang meja rapat. Itu baru namanya Coca Cola… []

 

Ririn Setyowati. Mahasiswi yang sedang menjalani hubungan cinta dan benci dengan secangkir kopi. Surel: ririnsetya198@gmail.com