Saat Perempuan Marah-Marah

Oleh: Inang Jalaludin SH

 

Judul                           : Merah

Kelompok musik       : Tika and The Dissidents

Label                           : Demajors

Tahun rilis                 : 2016

Genre                          : rock, punk, jazz, blues, tango

 

KELOMPOK musik paling politis tanah air, Tika and The Dissidents, merilis album baru mereka berjudul Merah, Maret silam. Tujuh lagu gado-gado yang bernuansa punk rock meluncur kencang ke telinga pendengar secara digital melalui iTunes dan Amazon Music. Setelah sukses mendapat beberapa penghargaan dari dunia di album The Headless Songstress, menarikkah album kedua Merah yang isinya marah-marah ini?

 

Kartika Jahja adalah penyanyi dan pentolan grup yang paling bertanggung jawab atas lirik-lirik yang kebanyakan bertema feminisme di album ini. Sebagai kolumnis dan aktivis, Tika, sapaan akrabnya, terlihat cekatan menulis lirik. Ini berdampak bagus pada lirik-liriknya yang tidak banal seperti band punk pada umumnya.

 

Interlude membuka album dengan lirih. Tika diiringi piano dan alat musik tiup terdengar memekik lirih meneriakan respect, unlearn the fight…, memberikan waktu bagi pendengar untuk bersiap menghadapi jejalan di lagu berikutnya.

 

Lagu andalan album ini Tubuhku Otoritasku, turun lebih dulu dalam format video (tonton di sini) yang diputar di Festival Tubuhku Otoritasku dalam rangka memperingati hari perempuan internasional. Peluncuran album secara digital juga resmi dirilis di acara ini.

 

Video musik yang menggambarkan diskriminasi pada perempuan ini dibuat secara kolektif oleh Mari Jeung Rebut Kembali, Bersama Project dan Sounds from the Corner. Beberapa wanita tampil dengan berbagai tulisan di tubuhnya seperti: gendut, selulit, bekas luka, pendek, hingga tubuhku bukan penjaga imanmu. Video ini mengajak perempuan untuk tampil apa adanya dan lebih percaya diri menghadapi konstruksi tubuh ideal yang berkembang di masyarakat.

 

Ini suaraku tubuhku otoritasku/Yang kuteriakkan kenakan pilihanku/Ini untukmu sahabatku laki-laki/tanpa izinku kau tak masuk ke wilayahku terdengar lugas dan bertenaga. Lagu ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi dan sikapnya pada kasus kekerasan seksual yang banyak terjadi atas wanita.

 

“Perempuan diajari supaya tidak diperkosa, laki-laki tidak diajari supaya tidak memerkosa. Dari sana (saya) menyadari bahwa otoritas tubuh perempuan tidak dikontrol oleh dirinya sendiri,” ujar Tika (Rappler, 8/3/2016).

 

Tika memang bukan feminis radikal. Teruntuk laki-laki, dia dengan “baik hati” membuatkan sebuah lagu sebagai bentuk pengembalian hak laki-laki untuk menangis, sensitif, lelah, istirahat, mengeluh, atau mengadu dalam lagu Pukul Rata. Berbeda dan Setara adalah jargon yang ia dengungkan. Berkolaborasi dengan rapper Yacko, lagu ini mengalun santai – namun khidmat – serta khusyuk menyuarakan kesetaraan.

 

Dukungan band dengan personil kelas satu tak membuat lagu-lagu Tika hanya bermodal lirik. Sempat gonta-ganti personil, kali ini band diperkuat oleh keybordis Andie Jonathan Palempung, additional untuk band Sore dan Bonita & the hus BAND; gitaris Iga Massardi (Barasuara); bassis Susan Agiwitanto (Leonardo and His Imppecable Six, dan In Memoriam); dan drummer Hertri Nur Pamungkas (The Trees and The Wild).

 

Latar belakang personil yang berwarna membuat album yang bernuansa punk ini lebih kaya genre. Jazz, blues, tango, dan tentu saja rock. Lies My Teacher Told Me menjadi lagu paling berwarna dan melodious dengan sedikit progresif di tengah dan akhir. Bass dan keyboard mendominasi latar musik dengan tempo sedang yang catchy. Iga menyelesaikannya dengan sesekali memberikan melodi gitar cepat mendukung teriakan Tika. Lagu ini bertema sama dengan buku karangan James W. Loewen yang mengungkap propaganda pendidikan Amerika Serikat yang Eurosentris. Bedanya, di lagu ini lelaki-sentris yang digaungkan.

 

Lagu andalan lainnya adalah Unlearn The Fight. Lirik Tika benar-benar magis dengan konsep universalisme yang dia tawarkan. I’ve grown out of your ism/won’t fit in your little box/wouldn’t say I’m left or right dinyanyikan dengan penuh penghayatan. Karakter vokal Tika yang merdu dan powerful tidak terlalu meluap di nada rendah. Barulah ketika pengulangan dengan semua instrumen masuk, vokal Tika menjadi all out.

 

Ketukan drum seperti ledakan yang tertahan memaksa mengernyitkan dahi. Iga Massardi di lagu ini mulai kelihatan dengan melodi-melodinya yang cadas, sangat efektif, keluar seperlunya. Lagu delapan menit ini  menghadirkan sensasi merinding dengan choir panjang di reff oleh semua personilnya hingga akhir lagu.

 

Dua lagu lainnya, A Normal Song (Tiptoe) dan Hawaiian Chicken Jam terdengar lebih elektronik berkat keyboard yang sebelumnya diperkuat oleh Lucky Anash. Hawaiian Chicken Jam berderu kencang dengan bassline sederhana yang menghentak. Karakter musik Tika and the Dissidents di album ini terwakili di lagu ini sekaligus penanda perbedaan dari album sebelumnya. Album ini lebih nge-rock.

 

Album bertema menggugat khas punk barangkali tidak ada yang seistimewa ini. Lirik yang tidak membosankan dan aransemen yang megah jadi alasannya. Namun, bisa dikatakan album ini masih belum klimaks. Pendengar masih mengharapkan materi lainnya dengan tema yang lebih kecil dan kontekstual seperti lagu Tubuhku Otoritasku. Ini akan lebih menarik karena pendengar butuh potongan-potongan lainnya sebelum menerima tawaran konsep universalisme band ini.

 

Walaupun begitu, hadirnya Tika sebagai seniman cum aktivis perempuan patut diberi apresiasi. Ini memberikan angin segar mengingat musik adalah seni paling absurd yang mampu memberikan dampak secara langsung. Sama seperti Nia Dinata dalam film-filmnya, Tika dengan lirik dan musiknya benar-benar menendang![]


Inang JalaludinInang Jalaludin SH. Sedang berusaha “menjadi” mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Gemar menyanyi, menari, menggambar, menonton film/konser/pameran, membaca, dan menulis (kadang-kadang). Ingin menjadi wartawan di Rolling Stones. Surel: ijalaludinsh@gmail.com.