Oleh : Irfan Sholeh Fauzi
Judul: Para Bajingan Yang Menyenangkan
Penulis: Puthut EA
Jumlah Halaman: 178
Penerbit: Buku Mojok
Terbit: Desember 2016
ISBN: 978-602-1318-44
DI JAGAT yang bulat ini, barangkali semua orang ingin mati dengan meninggalkan catatan-catatan semasa hidup. Berharap agar nantinya catatan-catatan itu ditemukan, dibukukan lalu dibaca orang hingga ratusan tahun kemudian. Dengan begitu, perasaan perasaan, rahasia-rahasia dan pemikiran orang yang telah mati itu akan tersampaikan tanpa dendam pada mereka yang hidup.
Kita bisa menyebut beberapa contoh, Soe Hok Gie, Anne Frank, Ahmad Wahib dan Kartini. Mereka diingat orang karena catatan-catatan yang ditinggalkan setelah kematiannya.
Tapi Puthut EA tampaknya ingin mengikuti jejak itu dengan sedikit terburu-buru. Dia menulis sepenggal kisah hidupnya dalam bentuk novel autobiografi berjudul Para Bajingan yang Menyenangkan, yang ia bukukan sendiri. Dan membiarkan orang-orang membaca hidupnya dalam keadaan hidup. Tanpa perlu menunggu mati.
Para Bajingan Yang Menyenangkan bercerita semasa Phutut menjalani kuliah di Yogyakartapada tahun 90-an. Kisah yang menurutnya, “Sampai detik ini, saya tidak tahu apakah saya bisa menuntaskan kisah kecil ini” (hlm.1).
Kisah dibuka dengan dua paragraf sendu. Bahwa Phutut memiliki sahabat terbaik yang sudah meninggal, bernama Jadek. Saking melankolisnya persahabatan mereka, “sampai sekarang saya tidak berani mendatangi kuburannya. Namun, setiap kali saya mengingatnya, saya kirim Al-Fatihah. Di sana, entah di bagian mana, saya percaya ia sedang tertawa bersama Tuhan” (hlm 1).
Masa muda Phutut tentu tidak hanya berkisar pada mendiang Jadek. Ada empat orang lagi: Bagor, Kunthet, Proton, dan Babe. Mereka berenam menyebut dirinya sebagai Jackpot Society, plesetan dari judul film Dead Poets Society. Kesemua tokoh memiliki kekhasan karakter masing-masing, namun jelas masih memiliki keseragaman, seperti yang tertera pada sampul belakang buku ini: sekolompok anak muda yang merasa hampir tidak punya masa depan karena nyaris gagal dalam studi tiba-tiba seperti menemukan sesuatu yang dianggap bisa menyelamatkan kehidupan mereka: bermain judi.
Jadek dan Babe adalah pendonor utama tim judi mereka, karena mereka berdua anak orang kaya. Tempat judi andalan Jackpot Society berada di jalan Magelang, sedangkan tempat judi di jalan solo dan dekat kompleks gedung bioskop Mataram adalah tempat mencari peruntungan jika di tempat judi andalan mereka kalah. Dan di ketiga tempat tersebut mereka cukup tenar, karena masih muda, berani, dan cenderung tolol.
Pernah suatu kali mereka menang kurang lebih 15 juta rupiah. Untuk merayakan kemenangan, mereka pergi ke sebuah mal di kawasan Malioboro, Jogja. Mereka sudah bersepakat bahwa begitu masuk pintu mal, setiap orang akan diputar tiga kali dengan mata tertutup lalu mending sesuatu. Apapun yang dituding harus mereka beli, dan hal ini menarik perhatian pengunjung mal. Phutut mendapat giliran pertama dan dia menuding gerai kaca mata. Tudingan Khuntet mengarah pada gerai baju. Almarhum yang mengusulkan perayaan unik ini mendapat giliran ketiga dan telunjuknya mengarah keluar, ke arah penjual martabak. Bagor ke arah BH. Dan Proton yang mendapat giliran terakhir diduga Phutut mengincar sepatu karena selalu menatap ke gerai sepatu. Begitu matanya terbuka, telunjuknya mengarah pas ke arah satpam.
Semenjak itu Jackpot Society merasa menjadi penjudi profesional. Mereka berjudi mengenakan pakaian necis dengan menyemprotkan parfum mahal dan rambut klimis. Sebab itu, mereka semakin akrab dengan pemain judi, mulai dari pemain besar sampai pemain yang bangkrut. Salah satu pemain yang bangkrut adalah mbah Ganden, yang bahkan sudah ditinggal keluarganya karena harta mereka dihabiskanuntuk berjudi. Namun Jackpot Society menaruh simpati padanya dan berjanji akan membuatkan rumah untuknya. Tapi, cita-cita mulia itu menghilang, seiring kebangkrutan mereka.
Kaya Makian
Karakter tokoh yang urakan dan apa adanya membuat novel ini menarik. Pun dalam penulisannya. Phutut tidak risih untuk tetap menggunakan dialog berbahasa jawa, tanpa mengartikannya dalam bahasa Indonesia. Karena,ketika sebuah novel dialihbahasakan, yang teralihbahasakan bukan sekadar dari satu bahasa ke bahasa lain, tetapi yang teralihbahasakan adalah pula muatan budaya, sejarah, nilai-rasa-bahasa, nilai-rasa-budaya, nilai-rasa bahasa-politik dan sosial, cara berpikir bahasa, dan sebagainya (Aprinus Salam, Sastra Terjemahan: Beberapa Persoalan). Apalagi novel ini memuat makian khas Jawa yang bertebaran hampir di setiap lembarnya. Dan akan terasa janggal jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalkan saja dalam dialog Bagor dan Phutut pada halaman 97,
“Gor, kowe ngerti ra?”
“apa?”
“Bahwa kowe ki cah goblok?”
“Asu.”
“Goblok.”
“Ben.”
Tentu akan berbeda ketika Phutut memaksa menuliskannya dalam bahasa Indonesia:
“Gor, kamu tahu tidak?”
“apa?”
“bahwa kamu ini orang bodoh?”
“Anjing.”
“Bodoh.”
“Biarin.”
Terlebih jika kita mengingat bahwa novel ini berlatar Yogyakarta pada tahun 90-an, yang akan kabur nuansa ke-Yogyakarta-anya jika Phutut menuliskannya dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, Phutut tetap mencantumkan kamus pada halaman 165-172.
Pada epilog,termuat dialog Phutut dengan Proton, yang menanyakan di mana buku Para Bajingan Yang Menyenangkan bisa didapatkan. Phutut bilang, tidak dapat didapatkan di toko buku, “soalnya mempropagandakan hidup yang tak bermoral dan cenderung tolol” (hlm 162). Dalam dialog ini Proton juga memberi pesan agar anak Phutut dijauhkan dari perjudian.
Lepas dari itu semua, buku ini adalah cara Phutut mengenang dan mengekalkan masa mudanya. Seperti yang dia tulis di bagian awal buku, “Sepenggal waktu bersama mereka begitu berharga dan segala yang ada di kurun itu tumbuh bersama diriku sampai kelak aku mati.”
Para Bajingan yang Menyenangkan adalah catatan hidup dalam hidup. Isinya dihidupkan oleh duka, kebangkrutan, pisuhan dan kesakitan yang ditulis Phutut dalam balutan bahasa yang sederhana. Sehingga pembaca nantinya akan menikmati kisah itu dalam banyolan, keluguan dan kelucuan. Menyenangkan bukan?[]