Remaja Berbincang Seks

Survei yang dilakukan BKKBN tahun 2008 menyebut 63 persen remaja di beberapa kota besar di Indonesia telah melakukan seks pra nikah. Dari hasil survei yang dilakukan Annisa Foundation tahun 2006 ditemukan 42,3 persen remaja SMP dan SMA di Cianjur, Jawa Barat, pernah berhubungan seks” —kompas.com (18/1/10)

Bukan informasi baru, bukan fakta mengejutkan. Tanpa bisa dipungkiri, bahwa di zaman yang kian permisif ini kita terbiasa untuk mengkonsumsi informasi-informasi semacam ini. Di era 80-an, seorang dokter muda bernama Faisal Baraas mengungkapkan berbagai kisah yang tertuang dalam surat-surat yang dikirimkan padanya untuk dia jawab. Kebanyakan berasal dari para remaja yang pada saat itu berusaha menemukan jalan keluar atas apa yang terjadi pada dirinya, atau apa yang telah dilakukannya. Mulai dari keinginan sepasang remaja yang ingin menggugurkan kandungan karena belum diikat pernikahan, hingga seorang anak yang diteriaki “babi” oleh ibunya karena menangkap basah dirinya sedang “khusuk” memegangi kemaluannya.

Ketakutan orang tua akan pertanyaan-pertanyaan seorang anak bagai buah simalakama. Periode phallik (phallus=zakar) yang dialami seorang anak saat usia 3-5 tahun merangsang dia untuk memberikan pertanyaan semacam “dari mana asalnya bayi”, karena saat ini seorang anak mulai memperhatikan alat kelaminnya sendiri. Dokter Faisal menuturkan kisah dari seorang anak perempuan berusia 5 tahun yang merasa iri karena ia tidak memiliki “burung” seperi Tono, adiknya yang berusia 2 tahun. Ibu mengatakan bahwa dia sudah tidak memilikinya karena sudah dibuang dulu karena kenakalannya di saat kecil. Saat ibunya tidak berada di rumah, anak 5 tahun itu bertengkar dengan adiknya. Ia mengambil gunting, dan berkata “seharusnya kamu yang dihukum, kamu yang nakal”. Ia pun melakukan “apa yang pernah dilakukan ibu kepadanya dahulu..”

Banjir hormon yang membuat remaja bergolak dalam pemikiran bukan sesuatu yang harus dihindari. Kebanyakan orang tua[1] mengalami ketakutan yang sama saat anaknya memasuki usia belasan. Budaya pun bukan sesuatu hal yang patut untuk dipersalahkan saat remaja merasa malu untuk bertanya pada orang tua, karena ke”tabu”an yang ada di dalam topik tersebut. Perkembangan fisik yang sudah menyerupai orang dewasa, namun pemikiran yang belum dapat dipetik karena belum masaknya emosi mewakili kata sifat yang popular untuk remaja saat ini: GALAU! Agaknya keadaan ini dapat dihubungkan dengan era netizen saat ini[2], dimana zamannya perangkat pintar (smart gadget) terlahir di masyarakat yang tidak pintar[3]. Informasi yang membludak, baik sampah maupun info yang benar-benar berharga maupun info lainnya (termasuk pornografi, tentunya), hanya dapat difilter oleh satu hal: manusia itu sendiri. Remaja, dengan banjir hormon yang mempengaruhi daya pikirnya, akan makin leluasa untuk mencari informasi mengenai apa yang ingin dia ketahui. Teman sebaya (peer group), maupun internet itu sendiri. Sayangnya, saat filter remaja belum cukup matang untuk menyerap informasi apa yang sekiranya diperlukan atau hanya sampah, dia sendiri pula-lah yang pada akhirnya menentukan apa yang ingin dia lakukan selanjutnya. Termasuk pada pornografi (yang sesungguhnya seksualitas tidak semata- mata hanya seputar apa yang ditayangkan dalam media serat optik tersebut!). Tentunya, Sigmund Freud pun bukan tanpa sebab saat ia mengemukakan teori psikoanalisisnya untuk struktur kepribadian manusia.[4]

Lantas, siapa yang mestinya bertanggung jawab mengenai semua ini? Orang tua kah? Remaja-kah? Teman-temannya? Atau malah kita sendiri turut ikut ambil andil dalam masalah ini? Atau sudahlah, kita tidak perlu ambil pusing, karena toh hal itu sudah mainstream dan tidak aneh lagi. Atau sepertinya saya yang ketinggalan zaman? Mari berdiskusi 🙂

Oleh: Mia Wahyungnisari (Mahasiswa Pendidikan Biologi yang Segera Lulus Tahun Ini)



[1] Berdasarkan percakapan penulis dengan beberapa orang tua

[2] dimana manusia yang lahir di tahun itu sudah mengenali mouse, keyboard, dan layar komputer sebagai benda-benda mainstream yang akan menjadi aneh bila ada yang tidak mengetahuinya. Semainstream benda bernama televisi

[3] Lelucon yang saya baca dari update status seorang dosen

[4] Teori Psikoanalisis terbagi atas The Id, The Ego, The Super Ego.