Puisi-Puisi Hera W. Pangastuti dan Bimo Teguh Prasetyanto

 

Kau Bodoh, Nak!

Oleh: Hera W. Pangastuti

 

Matilah bersama khayalan!

Kau bodoh, Nak!

Mimpimu bodoh

Kau ceroboh

Dosa besar kau telah dilahirkan!

Kau bermimpi seakan tidak menyentuh bumi

Kau berpikir seakan otakmu seluas samudera

Dasar bodoh! Kau pikir hidup ini apa?

Bermimpi saja kau dalam tidurmu

hiduplah terus di dalamnya

kekal bersama khayalan lucu

 

Kau bodoh, Nak!

Mana mungkin kau jadi penyair

Jadilah dokter, tentara, astronot

agar kau terkenal, kaya raya

Apa guna kau bersajak

jika semua orang sudah tak berotak

Apa guna kau menulis untuk berontak

jika akhirnya kau dibui dan mati membusuk jadi tengkorak

Kau bodoh, Nak!

Kau bodoh jika sampai mimpimu tak terwujud!

Matiku akan sia-sia,

rahimku akan menjadi pintu neraka.

Aku ingin jadi penyair,

 

Solo, 2017

 

 

Api dalam Belukar Semak

Oleh: Bimo Teguh Prasetyanto

 

Dosa telah diperbuat

Mana teman-teman bar-bar? Aku mau mereka

Parang sudah tajam terasah, mana leher yang mesti ditebas?

Persetan hukum Indonesia, kalau mereka belum mampus hasratku belum hangus

Mencak-mencak sendiri, api ini mencari daging untuk dibikin gosong

Mana si pencuri? Mana si lelaki pezina dan si pelacur kekasihnya?

Tidak ada bukti? Tidak peduli, tertangkap berdua berarti wajib dihakimi

Angkat parang, siram bensin lempar korek api, telanjangi! habisi!

 

Terserah apa kata aktivis HAM

Tidak mau aku tahu apa arti kemanusiaan

Untuk mereka, neraka mesti dibawa ke dunia

Semua itu menyenangkan dan sempurna, dosa harus segera dibawa balasannya

Sampai aku terbangun pagi ini dan sadar

Suamimu menenteng bedil, berdiri di samping ranjangku, ranjang kita

 

Surakarta, Januari 2018

 

 

Bocah Poligami Istri Empat

Oleh: Bimo Teguh Prasetyanto

 

Semut merayap membikin bergidik leher bocah umur sepuluh tahun

Sedikit mengantuk kemudian tertidur di atas kertas penuh sia-sia

Apa yang perlu diperbuat air liur? Tentulah merayap keluar dari goa

Andai pukul satu siang tadi sudah pulang dari sekolah

Penat dan lelah pasti menyingkir, dapat tuntaslah tuntutan Ayah

 

Kepala terkulai lemas tanpa tenaga

Giliran lendir dan ludah menulis pekerjaan rumah

Kepada guru, esok akan ditunjukkan mahakarya, lukisan samudra Hindia

Matematika cemburu pada Prakarya, sebagaimana Bahasa Indonesia mendengki Seni Rupa

Mana yang harus air liur utamakan? Siapakah yang dapat jatah “lukis” duluan?

 

Pekerjaan rumah serasa poligami istri empat

Dibagi adil hanya sekian nomor yang lunas, utamakan satu yang tiga bikin tinggal kelas

Ayolah, pena si anak cuma satu, kalian mesti mengantri untuk dapat jatah

Frustasi anak umur sepuluh tahun beristri empat

Oh Ayah, inikah alasan kau setia pada satu wanita?

 

Surakarta, Januari 2018

 

 

Kembang Pria

Oleh: Bimo Teguh Prasetyanto

 

Dalam satu sentuh beribu sensasi menjalar liar ke seluruh tubuh

Kembangku merah padam hampir meledak

“Ikuti mauku atau hidupmu tak kan enak!”

Kembangku ratuku, hamba tunduk padamu

 

Mata buta telinga tuli karena titah ratu

Hamba budak kepala kosong hanya mengikuti

Kembangku kian memerah dan hampir meledak

Ampun ratu! Akal pikiran tak akan membantahmu

 

Kembangku penuh kuasa dan hobi mendikte

Penentu apa kata mulutku

Penentu apa mauku

 

Kembangku itu kembang pria, kalian para lelaki hanya budaknya

Entah dia anugrah atau pembawa celaka, kami tak kuasa atas belenggunya

Kembangku ratuku, kembangku di bawah perutku

 

Surakarta, Desember 2017

 

[.]

 

 

Hera W. Pangastuti. Tidak pernah bosan memuji langit, meski ia tahu semua yang terjadi selama hidup ini hanyalah delusi. Namun, ia pun tak pernah melepaskan kesan logis dalam semua karyanya. Penyuka sastra klasik, sejarah, dan teka teki silang. Kau bisa mengenalnya lebih jauh di rumah kecilnya pangastutihera.wordpress.com

 

Bimo Teguh Prasetyanto. Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS angkatan 2016