Memungut Daun
IA memungut daunmu
saat kering meranggasi pundi waktu
sementara subuh berfirasat
menghentikan celotehan pagi yang dekat
keadaan memeluki lutut, pun
menenangkan geletar ubun – ubun
serta merta, di balik pintu
kurir pengantar daun tidurmu
telah siaga
menyapa
Kau, Dia dan Segelas Anggur
kurasa malammu masih sesedap ini, diatas sofa nyaman
menyilangkan kaki, dipenuhi sulutan pertengkaran yang mengabu
sunyi, tak ada yang membangunkanmu dari belanga sendawa
bahkan suara tap tap dari tangga high heels-mu kini terdiam
segan
meski terkadang harus menepuk – nepuk dada untuk menenangkan
seseorang yang menempati tubuhmu
semenjak tahun – tahun belur menyelubungimu
mengatur tawa – tawa palsu yang berakhir
terbengkalai
seperempat anggur merah tertenggak
sedikit berbuih, serupa ludah
memang begitulah ia,
selalu minta imbalan seusai berhasil membunuh
jingkat waktu – waktu yang tak kunjung baliqh
ternyata seseorang dalam tubuhmu gemar berontak
seperti kali ini dia mencoba keluar melalui nadimu
bersiap melawan,
jua berebut gelas – gelas kewarasan
Surakarta, 2014
Boneka di Tepi Jendela
/1/
ada saja yang kau sematkan di tepian jendela
seperti ketika sapa angin sepoi memamerkan gaun kasat mata
berputar – putar, pelan sambil membisiki kuncup telinga
“hari ini akan hujan, Abigail”
maka bersiaplah menubai gigir langit dengan seruan
mantra, menggantungi lembaran sutra putih bermata dua
/2/
adalah sebuah boneka, sejulur tali memenuhi lehernya
berkabar – kabar pada langit renta
merenda kesepakatan ditiap almanak datang
mengakali peluh peluh hambar agar tak menyambangi elegi atap
“kualat kalian jika berani datang!”
skak mat, ancamanmu dilecehkan pepohonan girang
mereka menggeliat serupa pionpion dalam bangkang
/3/
petir ikut mengoyak langit sambil tergelak ringan
sedangkan angin masih saja menari salsa dengan tangan
anak – anak dedaunan
pepara petani keluar menyiapkan ember – embernya
remaja bersiap membuka balutan baju mereka
semua menanti perasan awan yang bergumul serupa perdu
hanya kau yang tidak bahagia, Abigail
/4/
sehingga semampai kata tak lagi menjangkau waktumu
kau masih saja merutuk
menggoyang – goyangkan boneka agar mantranya tersesap
layaknya teluh
/5/
padahal kau benar melihat tanah – tanah kerontang
belalang menghamba kehausan
serat punggung batang yang mengilat
sekarat
/6/
boneka di tepi jendela melambai pasrah
ketika titik air menjuntai dari balik pelepah
semakin berjubel oleh tiba – tiba
semua basah
berembun dalam kenangan
ah, kau segila serbuan hujan
Surakarta, 2014
Hastami Cintya Luthfi, mahasiswi Universitas Sebelas Maret jurusan Sastra Inggris.