Peserta aksi berorasi dan membakar ban di depan Balai Kota Solo (28/3) terkait perampasan ruang hidup di Solo Raya. - Imriyah/LPM Kentingan

Polemik Ruang Hidup Solo Raya

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mendata ada 410 kejadian konflik agraria di Indonesia, bahwa telah terjadi perampasan hak-hak atas tanah, dengan luasan wilayah mencapai 807,17 hektar dan melibatkan 87 ribu lebih kepala keluarga di berbagai provinsi di daerah selama 2018 termasuk di Solo Raya.

 

Di Solo raya, limbah Pabrik PT Rayon Utama makmur (RUM) di Sukoharjo, penggusuran di Kentingan Baru, perampasan lahan di Jebres Demangan, bahkan tambang di Wonogiri merupakan bukti nyata perampasan ruang hidup di Solo raya atas konflik agraria.

 

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS mengadakan diskusi publik tentang ruang hidup di Solo Raya di gedung UKM FKIP UNS (27/03). Diskusi yang bertemakan perampasan agraria ini belangsung selama dua jam. Diskusi ini turut menghadirkan beberapa pembicara yaitu, lima warga Nguter Sukoharjo, Waskita dari aliansi Jebres Demangan, Jendi dari penolak tambang Wonogiri, dan Gasrul dari Sukoharjo Melawan Racun (SEMAR).

 

Baca Juga: Kentingan Baru Hancur

 

Limbah Sangit PT RUM

 

Salah satu perampasan ruang hidup di Solo raya adalah Pabrik PT RUM yang masih berhubungan dengan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRITEX), PT RUM ini memproduksi kapas sintetis untuk bahan baku benang dalam industri garmen dan tekstil. Hal ini telah menimbulkan limbah bau busuk bagi masyarakat sekitar. Warga yang terdampak limbah pabrik PT RUM berasal dari empat desa di kecamatan Nguter yaitu Desa Plesan, Celep, Gupit, dan Pengkol.

 

“Baunya kayak septic tank, bau kopi, bau petai campur, dan baunya muncul setiap saat” ungkap Sarmi (46) warga Sukoarjo yang turut hadir dalam diskusi tersebut. Sarmi datang bersama keempat temannya Jiyem (50), Supinem (53), Suwani (48), dan Tati (40) untuk mengungkapkan keresahan warga sekitar PT RUM Sukoharjo.

 

“Tersiksa, tetindas, jaman dhisik kui mangan sego gaplek lawune sambel wes penak, saiki mangan nasi putih lawune iwak, ati rapenak, arep mangan wis mambu PT RUM sek, mambu tai, rapenak mangane” ungkapnya pada diskusi tersebut.

 

[Tersiksa, tertindas, Jaman dulu itu makan nasi gaplek lauknya sambel udah enak, sekarang makan nasi putih lauknya ikan, ati tidak enak, mau makan udah nyium PT RUM dulu, bau tahi, tidak enak makannya].

 

Warga mengaku mengetahui limbah yang dikeluarkan oleh PT RUM dikeluarkan setiap pukul 10 malam ke atas sampai jam 3 pagi. Dan mengaku bingung terkait operasinal PT RUM yang katanya uji coba hanya enam bulan, tapi sampai sekarang masih beroperasi. Minimal tidak baunya cuma dua hari, tapi terus menerus sampe sekarang. Bahkan baunya sampai tercium sampai ke Wonogiri. “Wonogiri pun kena baunya” kata Jendi menambahkan.

 

Menurut laporan tirto.id, limbah tersebut terbukti mengakibatkan air tercemar dan udara mengandung gas beracun Hydrogen Sulfide/H25, yang telah menimbulkan dampak kondisi kesehatan yang tebukti ada 232 kesehatan warga terganggu. 28 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), 72 ISPA ringan, 56 dispersia (gangguan saluran pencernaan), dan satu dermatis (radang kulit).

 

“Baunya sangat menyengat, yang diserang langsung ke tengkuk, karena itu langsung ke saraf. Pasti tengkuk terasa berat, kaku, kepala pusing, mual, mata berair, sampai muntah.” tambah Suwarni warga Sukoharjo yang turut hadir.

 

Selain dampak kesehatan, dampak psikologis juga mempengaruhi warga sekitar. Sebelum ada PT RUM Sarmi mengungkapkan dengan keluarga saling rukun, “Sekarang sama anak aja kalo kepala pusing karena bau PT RUM adanya cuma marah-marah, saking baunya.”

 

 

Perampasan Lahan Jebres Demangan

 

Waskita Cahya selaku Aliansi Jebres Demangan yang turut hadir dalam diskusi tersebut, juga mengeluhkan ruang hidup di Solo raya.

 

Terkait sengketa lahan di belakang kampus UNS, lahan Solo Techno Park. Waskita mengungkapkan, ini perampasan lahan antara warga dengan pemerintah. Tahun 2000 muncul Setifikat Hak Pakai (HP) 18 tentang luas pergudangan atau pengelolan barang, “Batasnya itu tidak termasuk lahan yang warga Jebres Demangan huni, karena warga menghuni di tanah HP 105.” Ungkap Waskita, yang juga merupakan mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) UNS.

 

Baca Juga: Pemkot Surakarta Menggusur Warga Jebres Tengah

 

Sebelum tahun 2000 lahan sudah dirawat. Tahun 2001 akhirnya warga mulai membangun rumah. Namun tahun 2015 muncul HP 106 yang merupakan perluasan HP 18. HP 106 dijadikan dalih oleh pemerintah Surakata untuk menggusur warga.
Ia mengungkapkan ada keganjalan, warga menanyakan tapi pada saat itu bahwa walikota Solo tidak mengetahui terkait warga Jebres Demangan. Padahal waktu sosialisasi ada tanda tangan walikota.

 

“Bahkan warga disitu ber-KTP Solo dan membayar pajak PBB semua.” Ungkapnya

 

Akhirnya tiba-tiba muncul peringatan bahwa harus meningalkan rumahnya, ada surat peringatan 1,2 dan 3. Tapi waktu penggusuran tidak ada tata cara manusiawi, kondisinya ketika penggsuuran berlangsung sangat pagi-pagi sekali, sehingga ada rumah yang ditinggalkan oleh pemiliknya juga ikut dibongkar. Bahkan ada warga yang baru keluar dari rumah sakit mengetahui rumahnya rata dengan tanah kembali lagi ke rumah sakit.

 

“Kemudian hari demi hari, kita sempat menanyakan kepada Ombudsman, di Ombudsman tuntutannya adalah malpraktek. Melakukan penggusuran tidak dengan prosedur yang baik. Tapi Ombudsman menyatakan pemerintah Surakarta tidak melakukan malpraktek. Di Komisi Informasi Publik (KIP) kita sempat menang, tetapi hal itu tidak diindahkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN), malah mengajukan banding di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan malah dimenangkan oleh BPN. Apakah warga yang menempati HP 105 apakah termasuk? tapi kejelasan itu belum terungkap. Tuntutannya tetap tanah. Kondisi hari ini warga yang digusur menumpang ke saudara, tetangga, maupun mengontrak. “ kata Waskita.

 

Baca Juga: Kemelut Sengketa Lahan Solo Techno Park

 

Gasrul dalam diskusi tersebut menambahkan bahwa, apa yang dinamakan penguasaan atas ruang hidup selalu berasal dari satu yaitu kepentingan kapital. “Ruang dalam bentuk apapun, itu merupakan suatu tempat dimana hal yang diperebutkan itu takkan pernah selesai, yang dinamakan tendensi ekonomi dari kepentingan kapital”

 

 

Aksi Solidaritas Mahasiswa

 

Sehari setelah diskusi tersebut, solidaritas mahasiswa Solo Raya langsung mengadakan aksi solidaritas di depan Balai kota Solo (28/03). Hal itu sebagai wujud kepedulian mahasiswa terhadap perampasan ruang hidup di Solo Raya.

 

Puluhan mahasiswa gabungan dari berbagai organisasi mahasiswa yang turut hadir dari berbagai elemen mahasiswa yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Aliansi Jebres Demangan, Sukoharjo Melawan Racun (SEMAR) dan Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo (PWPP-KP).

 

“Di tujuan negara kita, di UUD 1945 alinea ke empat disana jelas tujuan kita buat negara ini adalah buat kesejahteraan rakyat. Sekarang tidak perlu ditanyakan lagi kenapa adanya kita disini, kenapa ada aksi di Solo, dan ada aksi di seluruh nusantara. Aksi dan seluruh solidaritas ini adalah refleksi kita, pengingat kita, bahwa tujuan negara kita belum selesai.” kata salah satu peserta aksi dalam orasinya.

 

“Hati-hati pemasok modal yang hanya memperhatikan perut buncit saja itu banyak, hati-hati pembangunan-pembangunan atas nama daerah, atas kesejahteraan rakyat itu banyak.“ tambahnya.

 

Dalam orasinya mereka mengecam pemerintah yang semakin melonggarkan pehatiannya pada pemenuhan ruang hidup rakyat kecil. Dalam masa pemerintahan ini, banyak terjadi perampasan ruang hidup, seperti di Kentingan Baru, Jebres Demangan, PT RUM Sukoharjo, tambang di Wonogiri dan masih banyak lagi. Mereka menekankan bahwa pemerintah lebih memihak pada pihak korporasi yang menguntungkan negara daripada rakyatnya sendiri.

 

Aksi tersebut nekat membakar ban dan membikin riuh suasana. Pihak kepolisian dan penjaga di Balai kota yang tadinya hanya mengawal aksi, kini ikut terlibat dan memaksa mematikan pembakaran ban.

 

Sigit salah satu aksi ikut berorasi, “Pemerintah seharusnya yang pro terhadap rakyat tapi kenyataanya pemerintah sekarang menindas rakyat-rakyat kecil. Pemerintah yang seharusnya adil terhadap rakyatnya sendiri. Kenyaataannya keadilan hanya milik kaum-kaum berduit. Pemerintah yang seharusnya melindungi rakyatnya tapi malah merampas hak-hak rakyatnya. Pemerintah yang diam, yang membiarkan kaum-kaum korporasi untuk menindas rakyatnya. Pemrintah hanya diam melihat tangisan rakyatnya, yang diam terhadap perjuangan rakyatnya.”

 

“Disini kita merasa resah, pemerintah tidak pro terhadap rakyat, keadilan tumpul keatas dan tajam ke bawah. Disini kita sama-sama tertindas oleh kaum-kaum elit politik.” Pungkasnya.[]

 

 

Reporter: Imriyah, Hesty Safitri, Kartika Sofiyanti
Penulis: Imriyah