Dilahirkan dari keluarga PKI, tidak membuat Gitanyali putus asa dalam menjalani hidupnya. Setelah ayahnya ditangkap dan tidak diketahui rimbanya, ia diasuh oleh keluarga non PKI.
Buku ini menceritakan perjalanan hidup seorang anak PKI bernama Gitanyali. Selama sekolah di kotanya, ia selalu mendapatkan predikat “anak PKI” dan orang-orang sulit untuk menghapus ingatan mereka tentang masa lalunya saat itu. Dalam buku ini, Gi tanyali membuka seluruh rahasia hidupnya dengan sangat mendetail. Semuanya diceritakan dengan runtut, termasuk ketika ia melakukan hubungan seksnya yang pertama.
Gitanyali dilahirkan dari keluarga PKI yang sangat kental. Ayahnya adalah seorang kader PKI yang cukup terkenal. Rumahnya yang berada di kawasan pinggiran sebuah kota di kaki Gunung Merbabu merupakan kantor Comite Seksi Partai Komunis Indonesia dan juga merupakan kantor organisasi pemuda yaitu Cabang Pemuda Rakyat.
Gitanyali menceritakan masa kecilnya yang bahagia dengan mendetail. Semasa kecil, ia termasuk anak yang badung. Namun, masa kecil Gita yang indah itu tidak pernah sama lagi ketika beberapa anggota keluarganya dibawa aparat dan tidak diketahui keberadaannya, termasuk ayah dan ibunya.
Dengan asuhan nenek dan budhe dari ayahnya, ia tumbuh menjadi remaja yang pintar dan sangat pandai membuat puisi. Ia bahkan mengikuti lomba membuat ucapan terbaik dalam acara pilihan pendengar di sebuah stasiun radio di kota kelahirannya dengan nama Kelana Perak. Karena kemahirannya membuat ucapan, ia mendapatkan juara satu.
Sejak kepindahannya ke Jakarta, Gita tinggal di rumah pamannya dan menikmati kehidupan nyaman ala orang kaya yang serba mudah. Dia bersekolah di SMA yang berkualitas. Dia juga diajak berlibur ke Bali. Berbekal bahasa Inggrisnya yang baik yang ia pelajari saat remaja dari radio Australia, ia berhasil mengencani bule-bule cantik. Ia juga mengeksplorasi wisata di Bali. Dan berkat kecerdasannya dan kemahirannya dalam menulis dan mengambil foto, tulisannya berhasil diterbitkan dalam sebuah majalah terkenal.
Dan berkat tulisannya tersebut, semakin banyak perempuan yang menyuratinya dan hendak mengenalnya lebih lanjut. Namun, hanya beberapa yang dapat menarik perhatiannya. Salah satu surat yang selalu ia simpan adalah surat dari Li Hwa, sahabat dan kekasihnya yang ada di kampung halamannya. Tak lama setelah kepulangannya dari Bali, ia pulang ke kampung halamannya. Kepulangannya kali ini dimanfaatkan untuk mengunjungi tetangga-tetangganya dulu dan saudara-saudaranya. Selama berada di kotanya, ia juga memanfaatkannya untuk mengeksplorasi perjalanan seksnya dengan beberapa orang wanita. Lalu tak lama, ia kembali ke Jakarta.
Secara keseluruhan, karya Gitanyali ini layak untuk dibaca dan dikoleksi, khususnya bagi Anda yang tertarik dan ingin menilik dan mengetahui tentang kehidupan anak turun PKI, serta bagi Anda yang menyukai sastra. Gitanyali menceritakan kisah hidupnya dengan bahasa yang mudah dipahami. Dalam novelnya ini, Gitanyali tidak hanya melulu menggunakan menggunakan Bahasa Indonesia, namun ia juga menyisipkan Bahasa Jawa dan Bahasa Inggris. Gitanyali mampu membawa pembaca seakan berada di sekitarnya saat ia menceritakan setiap detail perjalanan hidupnya. Membaca setiap detail dalam buku ini akan membuat Anda menikmati keindahan Gunung Merbabu dari kota kecil tempat kelahiran penulis yang digambarkan dengan sangat indah.
Namun, buku ini pantasnya dibaca oleh orang dewasa berusia di atas 18 tahun karena ceritanya mengandung unsur seks dan pemikiran-pemikiran yang “mesum”. Hal tersebut sudah dapat dilihat dari sampul buku yang menggambarkan siluet tubuh wanita yang sedang bersandar pada lengannya. Buku ini dicetak pada kertas yang cukup tebal dan memiliki tata letak yang cukup baik. [] (Annisa Mustika Sari)