Bagi sebagian orang, ketika mendengar Delanggu yang terlintas dipikiranya adalah beras, khususnya beras Rojolele. Beras Rojolele merupakan beras unggulan dan telah menjadi ikon karena nasinya yang terkenal pulen, wangi, dan enak. Tanah persawahan Delanggu seakan-akan memang berjodoh jika ditanami padi, salah satunya padi varietas Rojolele. Seperti halnya Temanggung yang tanahnya berjodoh dengan tembakau. Jika Temanggung adalah daerah penghasil tembakau Srintil, maka Delanggu adalah daerah penghasil beras Rojolele.
Memang tanah persawahan di Delanggu telah ditakdirkan oleh Tuhan sebagai wilayah agraris. Hal itu, dapat dilihat dari kondisi geografis area persawahannya yang sangat strategis di mana dialiri langsung oleh sumber mata air lereng Gunung Merapi. Kemudian dipadukan dengan tanah vulkanis yang subur sehingga mempunyai asupan nutrisi yang belum tentu dimiliki oleh daerah lain.
Beras Rojolele telah eksis sejak zaman prakemerdekaan. Terdapat beberapa versi sejarah mengenai asal-usul nama Rojolele. Menurut cerita dari masyarakat, penamaan Rojolele diberikan oleh raja dari Kasunanan Surakarta. Saat itu, raja sering melakukan tedhak atau tilik deso, mungkin kalau bahasa sekarang adalah blusukan. Suatu ketika raja datang ke Delanggu untuk berkunjung ke pabrik karung. Dalam perjalanan, rombongan dari keraton tersebut melihat para petani yang sedang menanam padi. Lantas, raja pun berhenti untuk berinteraksi dengan para petani. Ketika ditanya, para petani menjawab sedang menanam padi Wulu. Oleh karena raja begitu dekat dengan rakyatnya maka beliau ikut menanam padi. Sebelum ikut menanam, raja mengajak tole-tole (sebutan untuk anak laki-laki) untuk membantu menanam dengan memanggil “le, le”. Ketika selesai menanam padi beberapa rumpun, beliau berkata “suk panenen pari wulu iki yen wis metu jenenge Rojolele,yang artinya kedekatan rakyat dengan raja” . Jadi kata lele bukan diambil dari kata ikan lele, akan tetapi dari kata “le” sebagai panggilan untuk anak laki laki.
Sayangnya, kejayaan Rojolele dari Delanggu semakin hari kian meredup dengan sendirinya. Ini berawal dari adanya revolusi hijau pada era Soeharto, di mana sebagian besar pertanian beralih ke sistem anorganik yang instan sehingga berdampak pada kerusakan tanah pertanian. Selain itu, hingga sekarang banyak petani yang beralih ke varietas padi yang lain. Alasannya karena Rojolele mempunyai beberapa kelemahan, di antaranya umur tanam yang panjang hingga mencapai 155 hari, tinggi tanaman mencapai 155 cm sehingga mudah rebah sebelum panen, dan tidak tahan terhadap hama penyakit. Celakanya, hal tersebut semakin diperburuk dengan regenerasi petani yang semakin hari kian menurun. Bahkan mayoritas petani di Delanggu saat ini adalah petani yang usianya rata-rata sudah di atas 40 tahun.
Berangkat dari keprihatinan akan hal tersebut, seorang pemuda desa Delanggu yaitu Eksan Hartanto bersama kawan-kawannya mendirikan komunitas bernama Sanggar Rojolele sejak 2016. Harapan tentu agar dapat mengembalikan kejayaan beras Rojolele yang sampai sekarang dikenal hingga seluruh penjuru nusantara. Eksan Hartanto bersama kawan-kawannya melakukan edukasi terhadap masyarakat khususnya di Desa Delanggu melalui pendekatan budaya dan sejarah. Hingga saat ini komunitas tersebut telah mempunyai sekitar 30 anggota. Setiap 35 hari sekali atau selapanan diadakan pertemuan tani dalam rangka diskusi yang membahas isu pertanian. Selain itu, juga ada kegiatan tahunan yaitu Festival Budaya Tani.
Sejak 2013, pengembangan telah dilakukan terhadap padi varietas Rojolele oleh Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Hingga akhirnya pada 2019 berhasil menghasilkan varietas baru yakni Rojolele Srinar dan Rojolele Srinuk. Keunggulan kedua varietas tersebut di antaranya mempunyai umur lebih pendek 105 hari, tinggi tanaman sekitar 105 cm, tahan hama penyakit, produksinya lebih tinggi, dan rasa maupun aromanya masih sama seperti varietas induk Rojolele.
Seiring dengan ditemukannya varietas baru Rojolele, beberapa petani di Delanggu yang tergabung dalam komunitas Sanggar Rojolele sudah mulai menanam Rojolele kembali dengan varietas baru. Budidaya dan pengolahan lahan sawah dilakukan secara organik serta didukung dengan beberapa teknologi pertanian berkat adanya kerja sama dengan beberapa pihak, salah satunya adalah UNS. Teknologi pertanian yang digunakan dalam proses budidaya padi ini meliputi panel surya, speaker ultrasonic untuk mengusir hama burung, lampu ultraviolet untuk pengontrol hama wereng di malam hari, dan masih banyak lagi.
Telah lama beras Rojolele mendapatkan cap buruk, bahkan ada orang yang mengatakan “beras Rojolele tinggal karungnya saja”. Hal tersebut tentu tidak dapat dimungkiri karena faktanya di pasaran memang banyak beras (bukan hanya Rojolele) yang berlabel Delanggu pada kemasannya. Akan tetapi produksinya tidak dilakukan di Delanggu atau di Kabupaten Klaten karena bagaimanapun padi Rojolele itu asalnya dari Delanggu. Kehadiran varietas baru Rojolele tentunya menumbuhkan harapan bagi kita untuk mengembalikan lagi kejayaan beras Rojolele dari tempat asalnya, Delanggu. Sejalan dengan hal tersebut, pihak pemerintah daerah diharapkan juga melakukan pendampingan secara nyata dari proses tanam sampai dengan distribusi hasil panen. Harapannya dapat tercipta sinergitas antara keduanya sehingga petani dapat sejahtera dan ketahanan pangan di Klaten dapat terwujud. Salam 3M! Madang! Madang! Madang!
Penulis: Firzatulloh Irhab Kautsar
Editor: Aulia Anjani