Imriyah dan Damar Aji Pangestu
Pagi, 6 Desember 2018, warga sudah mewanti-wanti akan datangnya tim eksekutor. Mereka mencegah masuk dengan membakar ban di depan jalan menuju Kentingan Baru, tepatnya di depan Rusunawa Jurug. Kendati demikian, pada siang hari, aksi penggusuran tetap dilakukan. Setelah pukul 12.00, rumah warga mulai dieksekusi, reruntuhan bangunan tergeletak, debu puing-puing melingkupi udara di sekitar Kentingan Baru.
Suasana bersitegang antara warga dan pihak makin memuncak ketika adanya kesalahan eksekusi rumah warga yang belum mendapat ganti rugi. Rencananya akan ada 60 rumah yang akan dieksekusi, namun beberapa rumah warga masih ada barangnya dan masih ada yang belum diganti rugi.
“Semuanya sudah ada kesepakatan” kata Haryo Anindhito selaku kuasa hukum pemilik lahan kepada warga yang menghadang untuk mengeksekusi rumah hijau. Seorang pria berpakaian kotak-kotak lantas memohon kepada Haryo, “Pak rumah yang hijau itu belum dapet gantinya lho Pak, itu punya Ibu saya, tolong Pak jangan, belum dapat ganti ruginya” ujarnya.

Di tengah-tengah eksekusi rumah hijau tersebut, kericuhan hampir terjadi. Para warga terus menghadang dan terus meminta kepada pihak kuasa hukum untuk menghentikan eksekusi. Adu mulut antara warga dan pihak pemilik lahan tidak bisa dicegah.
“Kita itu pemilik, berarti kita berhak dong nempatin tempat ini? Kalau memang tidak dapat (kompensasi), kan sudah keputusan” ungkap Haryo.
Di sisi lain, Lutfy Mubarok dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sekaligus kuasa hukum dari pihak warga Kentingan Baru berpendapat “Karena ketika sudah ada jalan hukumnya, merasa punya klaim atas hak tanah disini silahkan saja gugat di pengadilan, supaya nanti yang menghancuran dan menyuruh pergi adalah pengadilan. Laporkan saja ke polisi. Penempatan tanah tanpa alasan, negara dalam hal ini (kepolisian) diam saja seakan-akan hanya mencegah bentrok” ungkapnya di tengah-tengah pengeksekusian salah satu rumah warga.
“Tapi ini sudah bentrok. Yang mengklaim tanah disini serta merta mengatakan ini tanah saya pernah menggugat di pengadilan banding, tapi ditolak oleh pengadilan. Jika pihak kepolisian selalu bilang pilih jalur hukum, tapi mereka sudah kalah di jalur hukum, makanya pakai jalur seperti ini (penolakan), dan polisi diam saja, negara dimana?” tambahnya.
Sementara itu R.H Wibowo, Kepala Polresta Solo menjelaskan bahwa kehadiran pihak kepolisian hanya untuk mengawasi. “Polisi itu mengamankan, bukan yang mengambil barang (memaksa mengeluarkan barang)”. Pada siang itu, ada Tim Hitam yang bertugas untuk mengeluarkan barang-barang milik warga. Tim tersebut dikomandoi oleh pihak kuasa hukum pemilik lahan Kentingan Baru.
Endy, warga Kentingan Baru yang sudah menetap di sana selama delapan belas tahun pun ikut berpendapat, “Tolong jangan memaksakan kehendakmu. Kami warga tidak bodoh, kami tidak membutuhkan kalian, pulang sana!” ungkapnya.

Setelah Jebres Tengah, kini giliran Kentingan Baru.
Belum genap dua bulan penggusuran lahan Hak Pakai (HP) 105 di kawasan Jebres Tengah berlalu, kini giliran Kentingan Baru. Penggusuran ini pun didasari oleh akar kasus yang sama dengan kasus lahan HP 105 di Jebres Tengah pada Oktober silam, yakni tentang sengketa lahan. Warga setempat dianggap menyalahi aturan dikarenakan menempati lahan yang secara sah bukan miliknya.
Warga yang menolak penggusuran ini mengaku bahwa sebenarnya mereka memiliki hak untuk tinggal di lahan Kentingan Baru tersebut. Hal ini dibuktikan dengan warga yang dalam beberapa waktu silam telah memenangi kasus perdata tanah Kentingan Baru di Pengadilan Negeri (PN) Solo dan Pengadilan Tinggi (PT) Semarang.
Lutfy Mubarok menjelaskan jika dalam penggusuran ini belum terdapat suatu kesepakatan antara kedua belah pihak, maka hal ini merupakan suatu pelanggaran hukum. Ia pun menginginkan jika hal ini sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik, yakni dengan jalur dan ketentuan hukum yang sesuai, bukan dengan pemakasaan seperti yang telah terjadi.
“Seperti yang diatur dalam hukum perdata, bahwasanya seseorang yang bertempat tinggal disuatu tempat dianggap mempunyai itikad baik sampai pengadilan memutuskan lain.” Jelas Lutfy Mubarok.
Hal senada juga dikatakan oleh salah seorang Mahasiswa, Muhammad Faizzurahman, yang turut hadir dan juga membantu warga Kentingan Baru untuk melakukan penolakan terhadap penggusuran lahan oleh aparat keamanan. “Walau bagaimanapun mahasiswa tetap mendukung proses yang seharusnya dilakukan, yaitu dengan proses hukum yang berlaku.” katanya. []