Semakin maraknya kasus-kasus korupsi—baik yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan, swasta, bahkan sampai pada masyarakat lapisan bawah—yang terungkap dan masih terduga di negeri ini cukup menjadi bukti bahwa kejujuran manusia Indonesia patut dipertanyakan. Kejujuran yang selama ini dianggap sebagai sifat mulia yang mampu membawa ketentraman dan kedamaian bagi diri sendiri serta orang lain. Sayangnya, kejujuran kini mulai terabaikan. Perbedaan antara orang jahat dan orang baik pun menjadi semakin kabur, layaknya globalisasi. Jika dirunut, ini berhubungan dengan asumsi yang beredar dalam masyarakat, khususnya Jawa bahwa “jujur kuwi ajur”—yang berarti orang jujur itu akan kalah atau tertindas—sedikit banyak telah menjadi hal yang dibenarkan oleh masyarakat. Awalnya, sekali dibohongi marah. Dua kali, menggunjingkannya dengan tetangga. Akhrnya, kebohongan demi kebohongan dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Para pelakunya pun beraneka ragam, dari anak-anak sampai dewasa. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat “jujur kuwi luhur”, bahwa kejujuran itu merupakan sifat yang mulia dan juga melanggar pancasila sila kedua, “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Berawal dari ketidakjujuran, keadilan hanyalah angan-angan. Ketidakjujuran akan menyebabkan kekacauan yang bermuara pada kebiadaban manusia. Tak ada lagi keberadaban.
Berlatar dari hal di atas, hati saya tergerak untuk melihat cerpen “Tutup Mulut” karya Asep Yudha Wirajaya. Betapa di dalam cerita tersebut tersurat satu pesan besar mengenai kejujuran. Bahwa untuk mencapai ketenangan hati diperlukan perilaku yang jujur. Selain itu ada pula sebuah konflik yang cukup menarik menurut saya. Konflik tersebut tertuang dalam sebuah dialog berikut.
“Tapi setelah berjilbab apa benar telah menjamin bahwa pemakainya itu orang baik-baik, jujur dan tingkah lakunya tidak menyimpang? tanya pimpinan itu lebih lanjut, menyelidik.
“Kalau toh ada orang berjilbab yang kelakuannya masih buruk, tolong jangan salahkan jilbabnya. Barang kali orang tersebut belum mampu menata langkahnya untuk selalu di jalan kebenaran,…”
Dialog di atas merupakan sebuah sentilan untuk perempuan berjilbab agar berintrospeksi. Khususnya untuk para pejabat yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat. Apa latar belakang mengenakan jilbab? Sebuah tobat atau hanya tameng untuk menutupi kebusukan di baliknya, yaitu perempuan-perempuan yang secara tiba-tiba mengenakan jilbab ketika dirinya sedang tersangkut masalah, terutama masalah korupsi. Ini jelas tidak akan mengubah baik-buruknya penilaian masyarakat tentang orang tersebut. Justru malah membuat citra jilbab menjadi buruk. Padahal dalam pemahaman publik, jilbab itu merupakan sebuah “identitas”. Hanya orang-orang yang benar-benar tersentuh hatinya, yang mantap mengenakan jilbab untuk menutup mahkotanya (rambutnya). Perempuan berjilbab itu bak seorang putri kerajaan yang dengan rendah hati meletakkan mahkotanya untuk tunduk kepada Sang Khalik.
Tapi kenyataannya jilbab telah dinodai oleh orang-orang tersebut. Jilbab tak lagi menjadi identitas, tapi hanya menjadi sekadar asesoris. Masyarakat patut marah karena uang negara dikorupsi tikus-tikus berdasi yang menjijikkan, tapi orang berjilbab patut lebih marah atau murka karena koruptor rela merendahkan jilbab untuk sedikit mengangkat wajah mereka.
Tapi percayalah, bahwa hati itu tak pernah berbohong. Hati tidak pernah mengecilkan suaranya ketika kita berbuat kesalahan. Selalu ada pemberontakkan, meski akhirnya harus terkubur oleh lisan yang mengelak. Kemudian kebohongan dengan sombong menunjukkan eksistensinya di atas kejujuran. (Hanputro)