“Bisa dapet IP yang sesuai dengan yang adek targetkan mbak, dan semoga bisa ada prestasi yang adek raih..”
Senyum tersungging saat seorang mahasiswa angkatan 2011 menyatakan impian yang ia targetkan di awal semester ini. Harapan yang terbit bersamaan dengan sebuah kebanggaan dari seseorang yang baru saja menyandang gelar ‘maha’ di depan kata ‘siswa’ . Maka seringkali ‘dunia baru’ ini pun dianggap momentum jitu untuk menyusun sebuah resolusi sebagai amunisi perkuliahan di empat tahun ke depannya.
Empat tahun?
Ya, empat tahun. Kurang lebih. Sebuah jangka waktu yang dianggap ideal bagi seorang mahasiswa untuk menuntaskan studinya di sebuah perguruan tinggi. Maka, sungguh sebuah hal yang wajar jika mahasiswa mengejar mati-matian indeks prestasi setiap semesternya. Semakin baik indeks prestasi, semakin cepat pula peluang untuk kita mengenakan topi kebesaran bernama toga. Jika tidak, bersiaplah tersingkir dari arena pertarungan bernama ruang kelas. Bersiap-siaplah sekelas dengan adik-adik tingkat saat mengulang mata kuliah. Bersiap pulalah menyandang gelar mahasiswa tua jika sudah melewati tenggat waktu yang ditentukan. Jika masih kurang, maka masih ada pula ancaman drop out untuk mereka yang terlalu lama bertahan di perkuliahan. Mimpi buruk bagi kaum yang berada di garis mati perkuliahan!
Maka, dengan menjalani perkuliahan ‘sebagai mana semestinya’, mahasiswa tentulah aman. Tugas-tugas, kuis dari dosen, ujian, segeralah diselesaikan. Nilai yang baik ada dalam genggaman. Harapan dapat menjadi kenyataan. Lantas, apalagi yang kurang?
Ada sebuah kisah. Klasik, mungkin. Seorang kawan saya yang lain, pernah bercerita tentang IP nya yang ‘ajaib’ di semester ini, maupun semester-semester sebelumnya. “Aku nggak begitu ngerti materi-materi kuliah di jurusanku. Makanya aku ngerasa ajaib, kenapa aku bisa dapat IP segitu. IP-nya penuh doa kali”, ujarnya sambil tertawa. Saya ikut tersenyum. Barangkali, bukan hanya dia yang mengalami. Bisa jadi saya, atau ba-nyak mahasiswa lain di luar sana turut merasakan hal yang sama ketika IP yang didapatkan nyatanya belum sepadan dengan pemahaman ilmu yang diupayakan.
Kekhawatiran tentang keilmuan yang tidak matang setelah meraih gelar sarjana sudah seharusnya ada dalam diri mahasiswa. Mahasiswa? Ya, semua yang berada dan belajar di sebuah tempat bernama universitas. Termasuk juga saya, mereka, dan yang lainnya. Gejala umum yang terbaca, pembelajaran hanya dilakukan sebatas merapalkan modul dan presentasi yang diberikan dosen. Mahasiswa tidak mengunjungi perpustakaan karena ‘terbatasnya’ waktu untuk mengerjakan tugas, laporan, dan persiapan kuis keesokan harinya. Ilmu yang didapatkan pun, sebatas di permukaan. Sebatas dosen memberikan informasi tentang materi apa saja yang akan kuis di ujian nanti. Sebatas runtutan silabus yang disusun dengan rapi yang dijalankan mahasiswa dalam lima belas kali pertemuan di setiap mata kuliahnya. Sebatas pemahaman mahasiswa, yang nantinya akan dipatenkan dalam selembar kertas ujian, dan menguap dengan cepatnya ketika waktu ujian berlalu sudah.
Kampus, dengan Tri Dharma Perguruan Tingginya diharapkan menjadi sebuah kawah candradimuka yang mampu menggodhog manusia-manusia intelektual berkarakter saat terjun di masyarakat. Terjun dimasyarakat, tentu saja dalam artian turut membangun, bukan menjadi beban. Seorang dosen yang pernah bercakap-cakap dengan saya menuturkan, bahwa kuliah itu seharusnya “qulli”. Keseluruhan. Bukan “juz’iyah”, atau sebagian. Maka, diharapkan universitas pun mampu menghasilkan manusia-manusia yang universal, tidak terkotak-kotakkan dalam ilmu yang ada di balik tembok jurusan maupun program studinya saja. Ilmu pengetahuan itu tidak terbatas di buku diktat kuliah. Tidak stagnan pada halaman-halaman slide presentasi maupun modul bapak ibu dosen yang di fotokopi mahasiswa di kertas buram setiap tahunnya. Dan lagi, tidak berakhir di atas coretan kertas ujian saja.
“Sekarang Indonesia berada dalam fase kelima dalam pornografi. Salah satu gejalanya adalah kegiatan seksual anak sekolah yang dipublikasikan lewat kamera HP. Fase ini setahap di bawah Jepang yang berada di fase keenam, yang sudah mengarah ke kejahatan seksual. Aku heran, padahal mulai di bangku SMP saja sudah diajarkan mengenai sistem reproduksi maupun penyakit menular seksual. Apa yang salah ya?”, ujar seorang kawan de-ngan mimik serius,saat ia menanggapi sebuah data yang ia temukan saat mencari judul untuk skripsinya. Ah, ya. Apa yang salah?
Pengembangan diri dan karakter, bukan sekadar perkembangan nilai di tiap semesternya. Mungkin itu adalah sebuah gambaran ideal yang diharapkan bagi para ‘calon masyarakat’ sebagai hasil dari sebuah bangunan luhur bertitel akademika. Semoga. []
Mia Wayuningsari