Eksklusivisme Belum Selesai

 

/1/

 

Eksklusif atau “jauh tidak terjangkau” bukan label yang hanya patut disematkan kepada Presiden Republik Indonesia Keempat, Megawati Soekarnoputri. Pasalnya Mbak Mega ketika memerintah memang terkenal “jauh”, bahkan dari para menteri dalam jajaran kabinetnya sendiri. Ke”jauh”an Mbak Mega sebenarnya sudah didahului oleh banyak organisasi di dalam kampus, tak terkecuali organisasi keagamaan. Salah satu artikel di rubrik Jentera, Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Saluran Sebelas edisi perdana bertarikh Agustus-September 1995, mengabarkan dengan judul yang agak bernada dilematis: Benarkah Nurulhuda Eksklusif? (SKM Saluran Sebelas edisi perdana: 1995: hlm 5-6)

 

Artikel ini mengabarkan agenda musyawarah umum Unit Kegiatan Mahasiswa Islam (UKMI) pada Sabtu 17 Juni 1995, yang – kita wajib berkaget ria karena – dihadiri oleh sekira 200 mahasiswa umum! Sesuatu yang nyaris tidak terbayangkan saat ini. Ketika evaluasi lembar pertanggungjawaban (LPJ) dibuka, isu ekslusif mencuat, banyak jamaah yang mempertanyakan keekslusifan kegiatan yang diselenggarakan oleh UKMI dengan pertanyaan-pertanyaan yang disebut “bernada tajam” (ibid: hlm 5).

 

Kritik atas ekslusivisme UKMI dalam musyawarah ini dijawab dengan baik oleh segenap pengurus. Bagaimanapun pengurus sudah mengadakan “berbagai kegiatan yang bisa disebut memang diupayakan mengakar pada jamaah luas” (ibid). Misalnya, pengurus mengadakan pengajian antar kost, mengadakan seminar dengan tema-tema yang diupayakan lebih berkembang, bahkan pengurus merintis kegiatan apresiasi seni budaya (ibid).

 

Pertanggungjawaban pengurus UKMI mengenai eksklusivisme organisasinya dihadapan jamaah saat itu memang harus dipertanyakan lagi kelanjutannya. SKM Saluran Sebelas edisi 02 bertarikh 1997 – dua tahun setelah isu ekslusifisme UKMI pertama kali dibincangkan dalam surat kabar ini – rubrik Tribun memuat sebuah surat pembaca dari Mohamad Ridho Mustofa berjudul: Dakwah Kampus Telah Gagal? (SKM Saluran Sebelas edisi 02: 1997: hlm 3).

 

Ridho menyayangkan dakwah kampus yang punya “dua wajah yang berbeda”  (ibid). Saat itu, menurut Ridho, “dakwah tumbuh subur bak jamur di musim hujan” tetapi “hanya dinikmati segelintir orang saja” (ibid). Misalnya Ridho melihat pengajian atau aktivitas dakwah yang digelar SKI dan UKMI hanya diikuti oleh “mahasiswa dengan spesifikasi fisik tertentu”. Yang disebut oleh Ridho misalnya adalah mahasiswa yang sudah berjilbab atau berjenggot. Ridho juga menyebutkan tema seminar yang diadakan UKMI masih itu-itu saja, serta UKMI “mudah menuduh dan membedakan mereka yang belum memakai busana muslim/ah”.

 

Kurasa kita perlu sama-sama mengamini supaya tulisan Ridho di akhir suratnya tidak terjadi: “saya khawatir kalau budaya ekslusifitas pemikiran para aktivis dakwah kampus ini diteruskan, dakwah kampus bisa disebut gagal mengemban misinya menebar dan menyebar kebenaran dan kearifan islam bagi semua manusia”.

 

 

/2/

 

Wajib untuk diingat kembali, isu ekslusivisme organisasi di dalam kampus adalah isu yang sudah lama diperbincangkan. Tentu saja isu yang sudah menyebar sejak masa Orde Baru ini mencakup banyak organisasi mahasiswa lain, bukan hanya organisasi keagamaan. UKMI hanya salah satu contoh yang terekam dalam arsip surat kabar lawas, sebagian besar mahasiswa mungkin akan terkaget-kaget ketika tahu banyak organisasi mahasiswa (temasuk BEM dan sebejibun organisasi internal-eksternal lain), menjelang persatuan aksi dalam reformasi, masih mempertahankan ekslusifismenya. Dan ada lebih banyak lagi yang menganut eksklusifisme pasca reformasi bergulir.

 

Sadar maupun tidak, status sebagai mahasiswa sering disalahgunakan. BEM misalnya, menyatakan seluruh mahasiswa UNS adalah anggotanya. Entah aku, kamu atau siapa saja mahasiswa UNS yang merasa tidak setuju nyatanya tidak bisa berkutik. Organisasi memonopoli hak keberpihakan mahasiswa. Begitu juga dengan organisasi keagamaan kampus yang menyatakan seluruh mahasiswa yang masih satu agama adalah anggotanya. Dan masih banyak organisasi lain yang memasukkan mahasiswa secara umum sebagai anggota. Bayangkan seluruh mahasiswa secara komunal tercantum di AD atau ART sebagai anggota tanpa pernah menyetujuinya. Kemudian setelah secara sepihak merumuskannya, organisasi-organisasi ini memutuskan untuk bersikap serba eksklusif.

 

Eksklusifisme dalam organisasi mahasiswa tentu saja adalah masalah menahun, sudah seperti penyakit kronis yang seharusnya diselesaikan sendiri oleh segenap organisasi mahasiswa. Tetapi kita, mahasiswa-mahasiswa pasivis yang tak punya pikiran organisatoris, tentu saja tidak perlu banyak-banyak merasa khawatir, atau bahkan tidak perlu khawatir sama sekali. Cukup duduk santai dengan kopi, cemilan dan bacaan sembari berdoa semoga eksklusifisme bukan pandemik menular yang bisa menyebar dan hinggap pada diri kita. Aamiin. []

 

 

Fatih Abdulbari. Mahasiswa Ilmu Sejarah FIB, UNS.