Gambar diambil dari http://www.muvila.com/

Apresiasi Film di Solo Masih Rendah

(Ririn Setyowati)

 

Surakarta, saluransebelas.com – Ketua KINE Klub FISIP, Halim Ro’is AlAsyAri mengungkapkan bahwa antusias menonton film-film komunitas di Solo masih tergolong rendah. Ia pun maklum bila bioskop masih lebih ramai ketimbang pemutaran-pemutaran yang KINE selenggarakan. Hal ini sangat berbanding jauh dengan tingkat apresiasi komunitas film di Makasar yang cenderung lebih tinggi. Pasalnya, film-film komunitas di Makasar baik yang berdurasi pendek maupun panjang telah mendapat antusiasme tinggi dari masyarakatnya. Impian untuk dapat memproduksi film panjang dan mampu menembus pasar bioskop, seperti yang dilakukan oleh komunitas film di Makasar ia sadari masih begitu jauh. Apalagi untuk komunitas seperti KINE Klub yang masih berskala kampus dan sebenarnya lebih berorientasi pada apresiasi film.

 

Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh salah satu anggota KISI Kelir, Sekar Pranita. Menurutnya, meski Kisi Kelir memang secara rutin melakukan pemutaran film dan diskusi, namun tidak selalu ramai dan anggotanya pun kerap protes karena harus membayar tiap ikut menonton. Sekar berdalih, bahwa pembayaran memang harus dilakukan untuk menutup biaya membeli film dari pihak distributor di Jakarta. Untuk pembagian antara distributor dan KISI Kelir, “Kira-kira 70:30. Itu juga sudah termasuk untuk sewa tempat dan dapet potongan harga makanan juga, lho”. Jumlah nominalnya beragam mulai dari Rp 15.000 hingga Rp 20.000, atau bahkan gratis, misalnya saja saat Kisi Kelir turut berselebasi dengan memutar film untuk memperingati Hari Film Nasional. Namun, setali tiga uang dengan apa yang KINE Klub alami, antusiasme memang ramai namun hanya terbatas pada anak muda.

 

Walau begitu, ia masih ayem karena pemutaran-pemutaran tahun ini tidak seperti sebelumnya yang dalam satu lokasi pemutaran pernah dihadiri nol penonton dikarenakan hujan, “Untung enggak bayar mbak, soalnya memang pembayarannya dihitung dari jumlah penonton yang hadir”, ungkapnya lega sekaligus kecewa.

 

 

Salah Siapa ?

Menurut Nerfita Primadewi, salah satu dosen jurusan TV-Film ISI Surakarta, pandangan komunitas-komunitas pecinta film terutama film-film alternatif cenderung memandang masyarakat sebagai sekumpulan orang yang tidak melek film. Padahal masyarakat sebenarnya masih suka untuk menonton film, hanya memang cenderung ke film-film populer dan menyenangkan, “Kalau dulu seperti Perempuan di Perempatan Jalan, Setetes Anggur Merah, sekarang ya kayak Tali Pocong Perawan gitu kan?”.

 

Justru menurut Popi, sembari melakukan produksi film, fungsi apresiasi seperti diskusi dan mengkaji film harus tetap berjalan. “Output dapat berupa tulisan, baik populer seperti di koran atau ilmiah mengenai apa yang sebenarnya hendak disampaikan film tertentu, apakah efeknya dan konteks sosial apakah yang mempengaruhi,” katanya.

 

Menyoal antusiasme dan apresiasi yang rendah, Popi menyarankan untuk mencoba cara ‘tandom’, alias pemutaran film-film alternatif selain dengan diskusi dapat juga diselingi dengan pemutaran film-film populer.

 

Popi beranggapan bahwa sudah saatnya kita tidak lagi berbicara siapa saja yang datang. Tapi bagaimana setelah datang menonton dan ikut berdiskusi serta mau menyebarkan apa yang telah di dapatkan.[]