Dilema Kebijakan Perburuhan Kita

Hari buruh dunia yang jatuh pada tanggal 1 Mei kerap dirayakan kelas pekerja  dengan cara melakukan aksi turun ke jalan membawa berbagai tuntutan untuk perbaikan kesejahteraan mereka.

Sedemikian tidak sejahteranyakah nasib buruh hingga mereka kerap berdemonstrasi menuntut perbaikan kesejahteraannya? Jika memang demikian adanya, mengapa pula begitu banyak orang yang memperebutkan kesempatan kerja menjadi buruh? Ja-wabannya tentu karena minimnya lapangan kerja yang tersedia, terlebih untuk kelas pekerja dengan keterampilan terbatas.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), mutasi, intimidasi, upah murah, sistem kerja kontrak, outsourcing masih menjadi masalah besar dalam dunia perburuhan di Indonesia. Kriminalisasi terhadap pengurus serikat buruh/pekerja pun kerap terjadi, seolah pengusaha abai akan ratifikasi Konvensi ILO No 87 tahun 1948 mengenai kebebasan berserikat melalui Kepres No 83 tahun 1998 serta adanya UU No 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Lantas di mana peran negara yang dinyatakan Friedman sebagai “pembentuk aturan dan wasit” dalam perekonomian? Entahlah. Tapi nampaknya pemerintah sendiri tengah mengalami sebuah dilema, karena di samping permasalahan tenaga kerja, pemerintah juga dihadapkan pada permasalahan yang kerap menjadi momok menakutkan dalam perekonomian kita, inflasi.

Dilema Phillips Curve

Phillips curve atau kurva Phillips adalah sebuah kurva yang menggambarkan hubungan negatif antara inflasi dan tingkat pengangguran di sebuah negara. Kurva tersebut menggambarkan adanya trade off antara laju inflasi dengan tingkat pengangguran. Sederhananya, jika inflasi naik, maka tingkat pengangguran akan turun, demikian sebaliknya, jika inflasi turun, maka tingkat pengangguran akan naik.

Salah satu tujuan utama dari kebijakan makroekonomi pemerintah adalah untuk memecahkan masalah inflasi sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan harga dan masalah pengangguran yang memperlebar jurang kesenjangan. Pemerintah diharapkan dapat mengeluarkan kebijakan yang mampu menciptakan stabilitas harga dan kesempatan kerja dalam waktu bersamaan. Hal yang demikian tentu tidaklah mudah. Gambaran kurva Phillips menjadikan pemerintah mengalami dilema prioritas. Mana yang harus didahulukan, antara menjaga tingkat inflasi agar tetap rendah ataukah menciptakan ke-sempatan kerja baru.

Inflation Targeting Framework dan Liberalisasi Perburuhan

Dalam situs resminya, Bank Indonesia mendefinisikan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai suatu kerangka kerja kebijakan moneter yang mempunyai ciri-ciri utama adanya pernyataan resmi dari bank sentral dan dikuatkan dengan undang-undang bahwa tujuan akhir dari kebijakan moneter adalah mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah, dan mengumumkan target inflasi kepada publik. Definisi tersebut secara eksplisit mengatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sejak berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “Inflation Targeting Countries”.

Dari pemaparan di atas, kita dapat melihat bahwasannya pemerintah Indonesia cenderung memilih untuk mengendalikan tingkat inflasi ketimbang mengendalikan tingkat pengangguran. Maka tak perlu heran jika capaian pemerintah akan penurunan angka pegangguran tidak begitu mengesankan.

Pengangguran tidak dijadikan prioritas karena efek pengangguran tidak dirasakan langsung oleh masyarakat (indirect effect). Dampak yang ditimbulkan dari ba-nyaknya pengangguran pun tidak dirasakan  dalam  jangka  pendek,  melainkan  dalam jangka panjang. Berbeda dengan inflasi yang memiliki dampak jangka pendek dan langsung dirasakan oleh masyarakat (direct effect).

Sejalan dengan liberalisasi ekonomi di negeri ini, mungkin alasan itu pulalah yang menjadikan pemerintah mengambil jalan pintas dengan menjalankan politik upah murah dan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sesuai hukum permintaan pasar, selama angka pengangguran tinggi, maka pengusaha tidak akan kesulitan mencari pekerja yang secara otomatis akan menjatuhkan harga jual pekerja itu sendiri.

Pemerintah mungkin beranggapan bahwa sekalipun para buruh mendapat upah rendah, selama tingkat inflasi bisa dijaga, maka kebutuhan hidup mereka tetap dapat terpenuhi, meskipun hanya seadanya saja. Dengan demikian, pemerintah bisa memperkecil trade off yang terjadi antara inflasi dan tingkat pengangguran, sehingga tujuan utama dari kebijakan makroekonomi pun tercapai. Tingkat inflasi dan angka pengangguran yang rendah diharapkan mampu menciptakan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan.

Lain halnya jika pemerintah mengeluarkan kebijakan pro-buruh, dimana tingkat upah layak menjadi salah satu poin kebijakannya. Tingkat upah yang tinggi tidaklah seksi bagi para pemodal di era globalisasi yang kian memaksa mereka untuk terus melakukan efisiensi di berbagai lini dan menghindari ekonomi biaya tinggi dalam berproduksi guna memenangkan kompetisi. Hengkangnya pemodal ditakutkan akan berimbas pada memburuknya perekonomian nasional yang berimplikasi pada krisis sosial-politik yang nantinya akan menimbulkan huru-hara. Hal yang demikian mungkin terlalu berlebihan, namun dalam membuat sebuah kebijakan, segala sesuatunya harus diperhitungkan.

Entah apa yang ada dalam benak pemerintah, tapi yang jelas, di sisi manapun kita memihak, sikapilah sebuah kebijakan dengan bijak, karena pemodal tidak melulu harus binal dan buruh tidak melulu harus merusuh. May day for a better day! []

Oleh: Haris Amanatillah (Mahasiswa Ekonomi Pembangunan UNS)