Wejangan Seputar Pemira yang Tak Harus Dibaca

RASA-RASANYA, banyak mahasiwa UNS saat ini bakal menolak mazhab “September Ceria” milik Vina Panduwinata, karena selain pemutaran Film “Hantu Lama”, kampanye pemilihan umum raya (Pemira) UNS  yang penuh daya tenaga sudah bikin September tak begitu bersinar. Jadi barangkali, para mahasiswa kampus ini bakal kompak meminta “Wake me up when September Ends” milik Greenday. Bangunin gue kalo September udah selesai ya!

 

Tapi nyatanya, usai September pun hidup berkampus di UNS masih urung jua bersinar. Pemira belum usai. Lakon yang dimainkan antar dua paslon belum juga menemui titik tamat.

 

Kontestasi yang terjadi antara kedua paslon ternyata cukup meramaikan pandangan/opini dari warganet kampus. Namun, sebelum ceracau di tulisan ini berlari terlalu jauh, sumpah dan berani jamin, tulisan ini tak ada niat berkampanye untuk paslon manapun. Suwer!

 

Para pembaca saluransebelas, ketahuilah bahwa sekarang ini ada empat anak manusia—beserta tim sukses dan tim pemenangan—yang sedang ‘menjual dirinya’ hingga dengan pasti banyak hal dikorbankan oleh mereka. Mulai dari uang untuk mencetak foto dengan ukuran yang lebih besar dari papan tulis Sekolah Dasar sampai waktu dan tenaga untuk meladeni kebinalan jemari kita yang agak rajin mengomentari mereka lewat media sosial. Hingga kita mungkin lupa di mana letak perasaan mereka di tengah kontestasi politik kampus ini.

 

Maka dari itu sebagai mahasiswa yang menjadi target kampanye yang baik, marilah kita mengapresiasi kedua paslon tersebut dengan meriah. Jika masih enggan untuk mengorbankan akun Instagramnya dirusak oleh postingan kampanye, setidaknya mengikuti akun Instagram pribadi masing-masing paslon sudah pasti membuat kegirangan tersendiri bagi mereka.

 

Karena bayangkan saja, andai kalianlah yang disuruh untuk mengulang-ulang kata “senyum” dan “bebas merdeka” dengan durasi dua jam selama dua minggu tanpa henti di seluruh fakultas, tentu tenggorokan akan dihampiri kemarau, ditambah (mungkin) perasaan jenuh yang diakibatkan pengulangan tersebut.

 

Maka untuk mengobati lelah, pertambahan pengikut di akun media sosial mereka yang signifikan akan membuat “senyum” di tengah perjuangan “pembebasan”.

 

Dengan membayangkan menegangnya urat syaraf sepulang melaksanakan kampanye, saya mencoba untuk memberi wejangan kepada kedua paslon, yang sepenangkapan mata memiliki wajah kategori oppa-oppa.

 

Dari yang gemuk-imut-menggemaskan sehingga pipinya ingin kita cubit ramai-ramai hingga mas-mas berwajah oriental yang dapat mendukung jargonnya, cukup nyenengke untuk dipandang.

 

Mas-mas paslon yang dirahmati oleh Dzat yang masing-masing kalian Tuhankan. Berikut saya beri sedikit wejangan yang semoga dengan dilaksanakannya wejangan ini—terutama setelah pemira—maka semoga saja hidup kalian menjadi lebih baik, semisal tidak,  ya tolong diiyakan saja biar tulisan ini lebih berpahala.

 

  1. Mengkonsumsi Koyo. Karena saya yakin daerah sekitar leher para paslon akan mengalami kontraksi yang bikin tak nyaman selama masa kampanye kemarin, maka menempelkan koyo merupakan kuntjie yang akan mengembalikan kualitas tidur yang baik bagi kalian. Ingat tidur yang cukup sangat bagus untuk kulit!

 

 

  1. Perbanyaklah berdzikir. Sedangkal pandangan mata saya, kala melihat Pemira ini dari tahun ketahun, nyatanya amat benarlah bahwa gelaran ini membuat banyak orang menjadi kusut. Mulai dari mahasiswa yang berseteru dengan temannya sendiri karena ternyata dia adalah tim sukses si A ataupun tim sukses si B hingga sebagia golongan yang menahan amarah karena isi dari hape-nya jarkoman kampanye terus-menerus. Sehinga dengan ketegangan ini tentu akan banyak hati yang terluka dan akumulasi dosa tentu akan bermuara di kalian berempat, jadi perbanyak ampunanlah kepada-Nya agar masalah dikampus semacam ini tidak memberatkan timbangan di hari akhir kelak. Selain koyo, ingatlah bahwa Tuhan adalah Radja Kuntjie!

 

 

  1. Segeralah menikah. Ditengah kegaduhan politik kampus ini, tentu membuat rasa penat, lelah, bahkan sepi menghantui para paslon berempat setelah bersafari dari satu fakultas ke fakultas lain. Sehingga, pertimbangan untuk segera berpacaran—bagi yang meyakini konsep pacaran—atau menikah setelah pemira sangat bisa dipertimbangkan.

 

 Untuk alasan idealis tentu saja untuk menggenapkan agama antum sekalian. Sedangkan untuk alasan pragmatisnya, ya agar ada teman untuk saling berbagi cerita di tengah sepinya malam. Atau andai  dirasa belum sanggup untuk membayar biaya pernikahan, bahkan jika kudu meminjam bank yang (katanya) penuh dengan riba itu, menghadiri seminar pranikah yang diadakan oleh berbagai macam organisasi di dalam kampus tentu dapat menjadi obatnya.

 

 

  1. Reformasi ditubuh sendiri. Seperti yang sudah disebutkan diatas, pesta demokrasi yang selalu dilakukan tiap tahun di kampus on the way kelas dunia ini telah membuat berbagai lapisan mahasiswa menjadi gundah gulana. Mulai dari yang menetap di lapisan ‘bumi’ hingga para dewa-dewi yang adem ayem di lapisan ‘langitan’ yang masih ikut terlibat dalam politik kampus. Maka dibutuhkan langkah fenomenal yang harus diambil agar jargon “segar” dan “bebas” benar-benar bisa dirasakan. Nasehat dari saya yang dituangkan kedalam beberapa opsi adalah:

a. Tidak membuka masa rekrutmen anggota, sehingga para teman-teman mahasiswa baru yang menjadi target utama kampanye pan njenengan semua mendapatkan sebuah terapi kejutan karena gagal mendapatkan julukan ‘anak BEM’, sudah mendukung kok tidak mendapat untung? Rugi

b. Memberitahu kepada seluruh mahasiswa di UNS bahwa tata acara berpolitik praktis di kampus perlu untuk dirombak, Mulai dari mitos jika cukup memenangi FKIP saja maka fakultas lain hanya pelengkap, hingga mengapa mahasiswa pascasarja tidak mendapat hak konstitusi begitu juga mahasiswa ekstensi. Untuk pasangan yang diusung dari partai kampus maka tanggung jawab ini sangat dekat dengan kalian, karena bukankah garis besar perpolitikan kampus ada didawah naungan Dewan Mahasiswa yang diisi oleh manusia-manusia yang berasal dari partai kampus? Dan bagi paslon yang ada di jalur indie maka hal ini tak kalah perlu kalian angkat sebagaimana kebanggaan bebas dari ikatan dan merdeka dari kepentingan yang saban hari saban petang terus kalian gaungkan.

 

 

  1. Memberikan kesempatan kepada pasangan sebelah. Silakan bayangkan, bagaimana jika secara tiba-tiba pasangan yang meraih suara terbanyak malah menyerahkan kemenangan itu kepada pasangan yang kalah. Tentu akan membuat sejarah baru ditengah negeri ini dan bisa saja menjadi sebuah contoh nyata bagaimana seorang negarawan mengambil keputusan besar demi kemaslahatan mahasiswa. Tapi tenang saja, kalian—yang menyerahkan kemenangan—akan bisa terkesan keren kok, kan kalian sudah berbesar hati. Silakan saja pamerkan kebesaran hati kalian, kelar urusan, tetap kerenlah kalian.

 

Maka dengan kelima wejangan yang tak berlandaskan pemikiran Platonis, Marxis dan Weberian ini,  saya berharap para paslon berempat tetap sehat dan ceria meski tak sedang menghadapi bulan September. Uwuwuwu[]

 

 

 Arief Noer Prayogi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS 2015.