Tuna Etos Keprofesoran

Oleh: M. Fauzi Sukri

 

/1/

PERSEPSI KITA pada identitas profesor bermula dari prasangka baik. Dan tak hanya itu, malah sangat utopis dan fantastik. Dulu, saat masih bocah kecil di sekolah dasar di satu desa di Jawa Timur, aku dan hampir seluruh teman seusiaku, bisa dan biasa membayangkan: profesor adalah sejenis makhluk yang sangat canggih, sangat cerdas bahkan jenius, paham segala seluk beluk ilmu yang mendalam dan melangit, dan terutama mampu menciptakan benda-benda ajaib yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

 

 

Betapa fantastiknya imaji profesor pada masa akhir Orde Baru dan menjelang awal  milenium baru (2000) kala itu. Yang selalu melekat dalam ingatanku tentang sesosok profesor Indonesia adalah Profesor B.J. Habibie. Makhluk ini, dalam omongan bocah kala itu, adalah makhluk jenius yang mampu membuat pesawat paling canggih teknologis sejagat raya!

 

 

Entah dari mana nama ini masuk ke dalam sistem pengingatanku. Yang sangat jelas, di rumah tidak ada koran (masuk desa). Tapi ada televisi yang hampir tidak pernah kami tonton beritanya. Barangkali dari omongan guru-guru sekolah dasar — tidak mungkin dari warga desa. Nama itu seperti mitos purba yang begitu saja beredar di kalangan bocah sekolahan — aku yakin ini menyebar ke seluruh sekolah dasar di Indonesia kala itu. Beberapa temanku bahkan ada yang berandai-andai hendak menjadi profesor.

 

 

Beberapa tahun kemudian, eh ternyata, imajinasi profesor masih tetap sama. Pada 3 April 2017, aku dan beberapa teman mengajak siswa-siswi SD Muhammadiyah PK untuk menulis puisi dan prosa. Saat mereka diminta menulis tentang teknologi, ternyata mereka segera menulis sosok profesor yang masuk dalam sistem nalar imajinatif mereka. Dalam prosa yang kemudian dibukukan itu, Terbang ke Rumah Profesor (Jagat Abjad, 2017), kita mendapatkan kisah-kisah profesor super teknologis canggih.

 

 

Tersebutlah Profesor Dudu yang kehilangan keluarganya. Dalam mimpi, dia mendapatkan alamat keluarganya yang hilang. Dia harus bertemu dan menjemput keluarganya. Tentu saja dia membutuhkan alat transportasi. Maka, karena dia adalah makhluk jenius teknologis, dia membuat pesawat terbang super fantastik: pesawat dari kardus yang bisa terbang. Akhirnya dia bertemu keluarganya kembali, berkat kejeniusan dan kemampuannya membuat pesawat.

 

 

Ada juga kisah profesor yang mampu membuat pesawat dari tenaga otot dan angin yang sudah ditransformasi sedemikian rupa sehingga mampu terbang. Maka, sang profesor dan juga hewan-hewan yang terancam terkena letusan gunung bisa selamat berkat pesawat canggih buatan sang profesor.

 

 

Kisah-kisah profesor ini sudah pasti bakal kita temukan pada tahun-tahun yang akan datang. Dan imajinasinya hampir selalu sama: sejenis makhluk yang sangat canggih, sangat cerdas bahkan jenius tingkat tertinggi, paham segala seluk beluk ilmu yang mendalam dan melangit, dan terutama mampu menciptakan benda-benda ajaib yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia.

 

 

/2/

Semua kisah tadi adalah citra modernitas yang kita peroleh dari kedigdayaan sains (ilmu alam dengan segala cabangnya) yang berkembang pesat di Eropa dan Amerika Serikat. Kita sudah cukup lama berkenalan dengan citra modernitas sains itu. Dalam suratnya pun, gadis pribumi seperti Kartini sudah bersurat-suratan dengan makhluk sejenis bergelar profesor dengan ilmu Eropa. Meski orang Indonesia bergelar profesor di kampus Indonesia sendiri baru ada sekitar tahun 1950-an.

 

 

Hampir di seluruh dunia, terutama yang terkena dampak kolonialisme Barat (Eropa dan Amerika Serikat) menyadari satu hal: sains modern. Kolonialisme Eropa bukan hanya masalah strategi politik (termasuk ilmu humaniora). Namun terutama adalah kedigdayaan sains modern: peta bumi, kapal modern, teknologi militer seperti penembak mesiu yang terus dipercanggih sampai bom atom, dan seterusnya. Semuanya bergerak dalam inovasi dan revolusi sains modern.

 

 

Benda-benda teknologis ajaib terus keluar dan membanjiri kehidupan kita: mulai dari teknologi sampo rambut sampai alas kaki yang bisa menerbangkan kita. Hampir semua “teknologi dasar”-nya tidak dibuat oleh kaum pribumi. Lewat teknologi dasar ini, sejak seabad yang lalu kita perlahan-lahan dan penuh antusias mengganti seluruh sistem teknologi hidup kita: dari revolusi teknologi toilet, revolusi teknologi dapur, sampai teknologi berbicara dan teknologi kaki bepergian, dan tentu saja teknologi pembelajaran di ruang-ruang pendidikan. Hampir seluruhnya!

 

 

Citra profesor terbangun dari semua ini. Dan sayangnya, semua inilah yang tidak dimiliki oleh kaum pribumi sejak kolonialisme bahkan sampai sekarang. Maka, kisah-kisah fantastik profesor yang dibuat bocah-bocah itu adalah impian-impian puncak berilmu yang tertanam jauh lebih kuat daripada pelajaran ilmu apa pun. Baik sebagai sebentuk kekalahan berilmu yang menuju inferiorisasi lembaga pendidikan Indonesia, (ingatlah pada wabah hasrat kuliah di luar negeri atau hasrat emoh kuliah master atau doktoral di Indonesia!) atau sebagai sebentuk simpanan balas dendam kelak.

 

 

Kita sudah pasti tidak bisa lagi menggunakan sebutan begawan, hajar, empu, dan seterusnya yang ada dalam lembaga pendidikan klasik kita. Semuanya sudah terhapus total, tergantikan oleh sebutan dari bahasa asing yang jauh terimajinasi lebih agung: profesor!

 

 

/3/

Siapa yang kemudian masuk perguruan tertinggi, terutama di Indonesia, dia bisa segera kecewa pada imajinasi profesor masa kecilnya. Dia bisa cepat kecewa saat mulai membuat ukuran yang lebih jelas: penciptaan teknologi canggih dan penciptaan ilmu pengetahuan. Ternyata, profesor hanya jabatan birokratis di lembaga keilmuan belaka. Bukan sebentuk semangat, spirit, zeitgeist, etos, jiwa berilmu yang wajib sampai pada taraf tertinggi.

Dalam jabatan administrasi ini, karya terbesar seorang profesor bisa jadi bukanlan ilmu pengetahuan, teknologi, atau karya seni agung. Tapi hanya – dan sungguh hanya – tanda tangan yang sangat melimpah untuk meluluskan mahasiswa, untuk mengurusi administrasi belajar, untuk mengajukan berbagai aplikasi proposal yang sering tidak ada sangkut pautnya dengan sedikit penambahan pemajuan ilmu yang sudah ada, baik secara evolusioner atau revolusioner.

 

 

Maka, sungguh keterlaluan aneh dan ajaib bahwa ternyata profesor di Indonesia masih sempat-sempatnya dibuatkan peraturan agar mereka menulis di jurnal-jurnal ilmiah nasional dan terutama internasional. Bukankah semua ini adalah fitrah terdasar dan sifat asasi dari seorang profesor. Jadi, adalah penghinaan jika ada peraturan itu, seakan profesor adalah makhluk pembangkang dari status akademiknya.

 

 

Semua peraturan ini, jika dikatakan dengan kasar, hanya mengatakan satu hal: ternyata selama ini mereka bukanlah ilmuwan tapi birokrat. Bukan penjelajah terdepan batas pengetahuan yang sudah ada tapi sekadar pemberi tanda tangan. Bukanlah pemikir ilmiah dengan hasrat menyumbangkan ilmu pengetahuan baru tapi penjaga kertas untuk ditanda-tangani.

 

 

Bukanlah makhluk skeptis radikal yang begitu obsesif pada kebenaran, ketepatan, kerumitan ilmu pengetahuan. Sehingga apa pun yang menghalangi jalur skeptis menuju semua itu seperti ideologi pemerintah, pengagungan teori profesor lain, bahkan kalam Tuhan sekalipun wajib dihantam. Tapi profesor sekadar pengoceh pengetahuan yang sudah dimamah ribuan makhluk lain.

 

 

Profesor adalah makhluk yang berada di puncak teratas ilmu pengetahuan. Dan dengan itu, dia adalah makhluk yang sewajarnya menjadi makhluk yang paling skeptis, paling kritis radikal, paling tanpa pamrih kecuali demi kebenaran ilmu sesuai dengan jalan ilmu itu sendiri. Tak ada ideologi, tak ada kepercayaan, tak ada agama, atau apa pun yang pantas dianggap sebagai otoritas ilmu yang tertinggi, termasuk dirinya sebagai profesor, kecuali (melalui) ilmu itu sendiri sebagai penguji dan otoritas pembenaran kebenarannya sendiri.

 

 

Ia adalah makhluk yang paling waspada terhadap pencemaran ilmu, demi kepentingan apa pun, termasuk kepentingan akhirat. Apalagi sekadar jabatan akademik. Itulah dasar terasasi dari sebuah jabatan keprofesoran ilmu pengetahuan, apa pun bidang studi yang didalaminya.

 

 

Maka, kewajiban menulis jurnal sejatinya adalah sekadar hiburan kecil saja. Tak usah dijadikan kewajiban, karena menulis adalah keseharian yang bersahaja saja bagi seorang bergelar profesor: jabatan tertinggi dalam ilmu pengetahuan formal.

 

 

/4/

Dan semua itu tampak sangat utopis di Indonesia. Sering kita dengar dan lihat, betapa status keprofesoran di kampus-kampus di Indonesia sudah sedikit berubah menjadi status sosial di luar keilmuan. Seseorang dihormati justru karena sudah menjadi profesor. Bukan karena sumbangsih keilmuannya. Maka, sering terdengar, betapa para mahasiswa sudah diajarkan untuk menyebut “prof” atau  “profesor A” dengan nada harus penuh hormat, tanpa perlu mengetahuai apa sih sumbangsih keilmuannya pada ilmu pengetahuan manusia yang justru seharusnya jauh lebih dihormati.

 

 

Sebutan profesor hampir persis seperti sebutan “raden”, “kanjeng susuhunan”, dan lain-lain pada zaman feodal kerajaan. Rakyat tidak usah tahu apa sumbangsih para penyandang sebutan itu bagi rakyat, tapi rakyat wajib menghormatinya dengan segala jiwa, raga, dan harta.

 

 

Dalam beberapa hal, sebutan profesor juga tampak berlaku di dunia akademik. Apalagi, hampir sebagian besar jabatan profesor di Indonesia adalah profesor birokrat karier, bukan profesor ilmuwan. Dan anehnya, tidak perlu heran sebenarnya, ancaman yang disebutkan dalam peraturan menteri adalah hanya ancaman finansial! Bukan ancaman akademik penurunan jabatan keprofesoran bagi profesor yang tidak melakoni kehidupan berilmu sebagai ilmuwan-profesor.

 

 

Peraturan menteri itu, jika dibaca dengan perspektif prestasi akademik, hanya mengatakan satu hal: para profesor ternyata sungguh sangat minim menghasilkan ilmu, alias profesor emoh gelisah berpikir ilmiah, dan perlu digebuki agar berpikir dan menulis.

 

 

Kita sebenarnya sangat malu saat jumlah produksi jurnal internasional di Indonesia ternyata kalah dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. Mereka kan negeri kecil secara kuantitas penduduknya. Indonesia yang bukan negeri miskin, dengan sekitar 270 juta penduduk, seharusnya cukup mampu menghasilkan profesor ilmuwan. Kita jadi seperti kerumunan bangsa bebal di dunia ilmu global.

 

 

/5/

Saat mengingat kembali imajinasi profesor dari para bocah, kita mungkin sangat kekurangan profesor naif yang tanpa pamrih kecuali kenaifan ilmu itu sendiri. Para profesor di Indonesia sudah terlalu banyak berpikir hal-hal di luar ilmu: jabatan birokratis, keuntungan finansial, status aura sosial di mata masyarakat, beban pengajaran dan pembimbingan mahasiswa yang begitu banyak, fasilitas peralatan riset yang fakir miskin, peraturan pemerintah yang tak proaktif untuk profesor riset, bahkan perpustakaan yang cukup lengkap saja tak ada, dan seterusnya, dan seterusnya.

 

 

Semua hal ini, terutama jika dipikirkan dengan membandingkan dengan profesor di Jerman, Eropa, Amerika atau Australia bahkan Singapura, membuat kita terus menerus memberikan permaafan tak perlu pada (calon) profesor di negeri ini. Kita kemudian hanya perlu menghormatinya sehormat-hormatnya, meski bukan pada ilmu pengertahuannya.

 

 

Semuanya bisa kita maklumi dengan penuh pemaafan. Dan ini terjadi pada lembaga keilmuan, lembaga yang berarti juga lembaga yang sewajibnya paling terdepan dalam perbaikan terutama sekali dalam dunia keilmuan itu sendiri. Apalah makna lembaga ilmu jika ilmunya tidak bisa memperbaiki dirinya sendiri. Jika hal ini yang terjadi, di lembaga perguruan tertinggi, kita hanya pantas mengatakan satu hal: betapa sungguh keterlaluan bebalnya kita![]

 

 

M. Fauzi Sukri. Penulis buku Guru dan Berguru (2015)

 

Edisi Khusus II/Mei/2017

Editorial                  Surat untuk Profesor

Laporan Khusus   : Jurus Kalem Tebus Tunjangan Profesor

Laporan Khusus   : Jubah Akademis Birokrat Kampus

Laporan Khusus   : Mendamba Piramida Sendiri

Infografis                 : Profesor UNS dalam Angka

Infografis                 : Persepsi Mahasiswa terhadap Profesor

Catatan Kentingan: Tuna Etos Keprofesoran

Catatan Kentingan: Guru Besar Imajiner