Apa jadinya jika dahulu Rng. Ronggowarsito tidak menulis Serat Kalatidha? Sebuah karya monumental yang memberikan pen- cerahan kepada generasi masa kini dan masa depan tentang jaman yang penuh dengan tidak kepastian. Di dalamnya ada pesan keluhuran yang menjadi tuntunan agar manusia dimanapun dan apapun profesinya tetaplah harus menjaga daya eling (ingat) dan waspada. Bahkan jauh sebelum Ronggowarsito, karya-karya tulis dari suatu zaman telah mewa-riskan nilai dan rahasia peradaban.
Ada Pararaton yang merupakan penggambaran raja-raja Singosari pada abad XIII. Disusul dengan masa Majapahit yang terkenal dengan tulisan Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Sebuah karya yang diakui sebagai “The Memory of the World Majapahit”. Di dalamnya ada pencerahan tentang bagaimana ketatanegaraan dan bagaimana kondisi politik, keagamaan, dan sosial budaya dari nagara Majapahit kala itu. Demikian pula pada abad yang sama muncul Mpu Tantular dengan karyanya Sutasoma yang isinya menjadi spirit negara Indonesia dengan semboyannya “Bhineka Tunggal Ika”.
Sambung-menyambung dari zaman ke zaman selalu ada karya tulis monumental yang menjadi sumber pencerahan bagi generasi masa se-sudahnya. Dari Dinasti Mataram kita kenal baik karya tulis Wedhatama dari Mangkunegara IV. Di dalamnya ada ajaran tentang bagaimana membangun budi pekerti dengan mengutamakan suara hati nurani. Pada masa yang sama lahir juga karya besar Paku Buwono IV, Serat Wulangreh. Di dalamnya ada pencerahan yang menyadarkan bahwa hidup itu harus menjaga harmoni.
Kemudian sampai masa republik juga bisa kita lihat karya-karya tulis dari para The Founding Fathers seperti Soekarno. Generasi masa kini dapat belajar semua karya tulis dari Presiden pertama RI di semua media. Misalnya sejak tahun 1926 bagaimana kita bisa membaca pemikirannya tentang nasionalisme yang ditulisnya di media Soeloeh Indonesia Muda. Pada zaman ini pula kita dapat belajar bagaimana pemirkiran-pemikiran yang inspiratif dari Moh. Hatta dan Syahrir melalui karya-karya yang ditulis di Daulat Rakyat media “jurnal” milik Pendidikan Nasional Indonesia.
Jika semua tidak ada yang ditulis maka tidak ada sejarah. Karena, sejarah itu adalah yang ditulis. Hikayat, babad, serat, memori, koran, majalah, selebaran adalah media untuk karya tulis yang pada masa lampau menjadi media untuk memberikan pencerahan bagi umat baik untuk menuntun peri-laku atau untuk memberi spirit berjuang dan bertindak. Tetapi, dari sejarah tentang karya tulis pada masa lampau dapat disimpulkan bahwa tradisi menulis yang baik ternyata hanya dimiliki oleh orang-orang yang “tercerah-kan” .
Sehingga, menulis bukan hanya kegiatan lahiriah tetapi juga kegiatan batiniah. Maka, jika pada era masa kini ada gerakan nasional untuk “me-wajibkan” bagi mahasiswa di semua strata untuk menulis di jurnal ilmiah maka sebenarnya adalah bagaimana ekspresi kesarjanaan bukan hanya cerdas secara intelektual tetapi sekaligus cerdas secara spiritual. Tetapi, menulis sebagai sebuah kewajiban mahasiswa dengan dimuat pada jurnal seolah-olah adalah sebagai tuntutan. Padahal, tuntutan itu sudah dilakukan oleh setiap mahasiswa di mananapun berada dan apapun studinya.
Menulis dan menulis sudah dilakukan oleh insan kampus. Dari makalah sampai laporan riset ilmiah, dari skripsi sampai disertasi, dan orasi semua sudah dituangkan dalam karya tulis. Masyarakat kampus adalah masyarakat literasi dimana perannya amat penting pada era global saat ini. Futuris Alvin Toffler dan Naisbitt menyebut masyarakat sekarang adalah “masyarakat informasi” atau oleh para pakar komunikasi dinyatakan sebagai “The Age of Media Society”. Maka, karya yang dikomunikasikan melalui media (jurnal ilmiah maupun e-jurnal) akan menjadi sumber belajar bagi masyarakat global. Apa yang ditulis dan apa yang akan dibaca adalah sebuah karya yang akan menjadi hukum dialektika yang pada gilirannya masyarakat akan berkembang dinamis.
Oleh sebab itu, sebuah karya haruslah menunjukkan orisinalitas karena masyarakat kampus adalah masyarakat yang penuh inovasi dan kreativitas. Sehingga, melalui kewajiban untuk memuat karya di jurnal ilmiah atas hasil karya penelitian maupun pemikiran akan menuntun kepada sifat kejujuran. Karena kejujuran akademis itu adalah segala-galanya. Melalui ketentuan tulisan pada jurnal ilmiah, kontrol sosial dapat juga dilakukan sehingga setiap generasi yang lahir dari kampus adalah generasi yang punya integritas karena melalui karya-karyanya (yang ditulis) dapat diketahui tingkat kejujuran akademisnya.
Kewajiban publikasi ilmiah bagi mahasiswa tentu bukanlah sekadar seremonial akademis. Sebaiknya semua perangkat kesiapan haruslah disiapkan dengan baik. Mulai dari media dan sistem pembimbingan ataupun pendampingan harus diadakan oleh institusi kampus. Kalau hanya menyediakan skema dukungan dana tanpa ada mekanisme pembelajaran maka kewajiban publikasi ilmiah hanyalah sekadar “ritual” karena akan berlangsung secara masif.
Kita memang tertinggal dari negara-negara lain dalam urusan publikasi ilmilah. Kalau menyimak dari data yang berasal dari Webometrics jelas sekali bagaimana perbandingan dengan negara lain dalam soal jurnal ilmiah. Jepang punya 1,46 juta dokumen jurnal ilmiah internasional dari 713 perguruan tinggi. Artinya di Jepang rata-rata menghasilkan 2.048 jurnal per perguruan tinggi. Singapura ada 21 PT dengan 109 ribu dokumen jurnal. Artinya, PT di Singapura rata-rata punya 5.190 dokumen jurnal.
Di Indonesia jumlah PT yang terindeks di Webometrics ada 352 PT, dan jumlah dokumen jurnal internasional yang dihasilkan ada 13 ribu. Berarti, rata-rata PT di Indonesia hanya punya 37 dokumen jurnal internasional. Artinya budaya menulis di PT Indonesia masih tertinggal jauh dari negara lain. Sementara itu, menurut penilaian Webometrics budaya menulis yang paling hebat di dunia adalah Havard University (Amerika Serikat) disusul Universidade de Sao Paulo (Brasil) padahal mereka sebagai bangsa tidak pernah punya pujangga besar seperti Ronggo-warsito, Mpu Prapanca dan Mpu Tantular yang mewariskan pentingnya budaya menulis sebagai sumber pencerahan.[]
Tentang Penulis: Tundjung W. Sutirto (Dosen Ilmu Sejarah FSSR UNS)