Di minggu pagi yang sejuk ini saya terbangun lebih awal dibanding biasanya, rasa-rasanya matahari masih belum sepenuhnya meninggalkan ufuk timur. Ditemani mata yang masih menahan sisa kantuk, saya lantas meraba-raba sekitar mencari gawai. Setelah berhasil menemukan dan menyalakannya, terlihat layar menunjukkan pukul 6 pagi. Wah, bangga rasanya berhasil menjadi ‘si paling morning person’. Namun, kesenangan ini menjadi sedikit terganggu setelah membuka instagram dan menemukan salah satu postingan dari akun yang bertemakan sepak bola, yaitu @Foretzo.id. Akun itu mengunggah kutipan kata-kata dari Hector Bellerin, bek kanan FC Barcelona, yang dulu saat masih berseragam Arsenal dikenal karena kecepatannya yang bisa menyaingi ‘tukang-tukang parkir’ lulusan akademi shinobi di Indonesia. Kata-kata yang dilontarkan oleh Bellerin terbilang menarik.
“Sebagai pesepakbola saya sedih, karena tidak bisa tampil di Piala Dunia. Tapi, di sisi lain saya merasa beruntung, karena saya tidak ikut menikmati beban 6500 pekerja imigran yang meninggal.” Sontak pernyataan yang dilontarkan Bellerin ini langsung menuai kritik dari sejumlah netizen. “Cari alasan, kalau dia dipanggil Piala Dunia mungkin ngomongnya gak kayak gitu,” “dia lupa kalau baju yang ia pakai dan sepatu yang ia pakai saat main industrinya juga banyak merenggut korban.” Emang dasar netizen Indonesia, selalu saja mampu me-roasting orang dengan kata-kata kocak nan logis.
Hati ini lantas gelisah dan pikiran seakan tak ingin tinggal diam setelah membaca statement Bellerin tersebut. Hingga terpikirlah beberapa nama pesepak bola lain yang mungkin juga terbebas dari ‘dosa’ Piala Dunia 2022 ini. Pertama ada Jorginho, penalti taker unggulan Chelsea dan timnas Italia itu harus mengubur mimpinya bermain di Piala Dunia tahun ini setelah Italia disingkirkan Makedonia Utara di babak play off kualifikasi Piala Dunia 2022. Meski begitu, Jorginho seakan menjadi orang yang paling bertanggungjawab atas tersingkirnya Italia, sebab tendangan penaltinya yang ditepis saat laga babak grup Kualifikasi Piala Dunia Zona Eropa kontra Swiss. Sebenarnya, Italia bisa saja lolos andai saja Jorginho mampu mengkonversi tendangan penalti tersebut menjadi gol.
Akan tetapi apa mau dikata, tendangan penalti yang menjadi nyawa untuk menyelamatkan timnya malah melambung tinggi. Selain itu, mungkin akan berbeda cerita apabila kiper yang dihadapi Italia pada hari itu bukanlah Yann Sommer. Sommer berhasil membuat Italia frustasi lewat penyelamatan-penyelamatan gemilangnya di laga itu. Jika saja Loris Karius yang menjadi kiper pada hari itu, warga Italia pasti sudah berbondong-bondong berangkat ke Qatar tahun ini. Sayangnya hal itu jelas tidak mungkin, sebab Karius bukanlah warga negara Swiss, kalaupun suatu saat ia dinaturalisasi ke Swiss belum tentu pula pelatih timnas Swiss lebih memilihnya ketimbang kiper U-20 Swiss saat itu. Pada akhirnya, sang juara Eropa tahun 2020 harus menerima kenyataan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi pada gelaran akbar 4 tahunan sekali di Qatar tahun ini. Daripada hanya sekadar merenungi nasib, mari coba lihat sisi baiknya, mungkin Jorginho dan kawan-kawan tidak akan menanggung ‘dosa’ dari Piala Dunia tahun ini.
Ada anak muda kebanggaan warga Norwegia yang konon katanya masih seketurunan dengan bangsa Viking, Erling Haaland. Haaland dan Timnas Norwegia belum mampu meloloskan diri ke Piala Dunia tahun ini, setelah hanya mampu finis urutan ke-3 di Grup G Kualifikasi Piala Dunia zona Eropa. Meskipun mampu mengemas 20 gol, Haaland dan kawan-kawan masih belum mampu melewati perolehan poin Belanda dan Turki yang finis sebagai juara dan runner-up grup. Perjuangan Timnas Norwegia sendiri patut diacungi jempol karena mereka tidak menyerah sampai akhir. Pada laga pamungkas mereka tersingkir akibat dikalahkan Belanda 1-0 dan Turki berhasil mengalahkan Montenegro 2-1 untuk mengambil posisi runner-up, sehingga harapan Timnas Norwegia untuk lolos ke Piala dunia pun harus pupus. Ya, setidaknya Haaland kini dapat menghabiskan waktu luangnya dengan melakukan hal yang lebih manusiawi ketimbang berbahagia di atas kematian ribuan pekerja imigran, meskipun manusiawi dan bangsa Viking sepertinya bukanlah dua kata yang cocok, hehe.
Ketiga ada Mo Salah, bintang sepak bola asal benua Afrika yang juga gagal tembus ke ajang final Piala Dunia 2022 di Qatar. Salah dan kompatriotnya disingkirkan Senegal lewat babak adu penalti pada Play off kualifikasi Piala Dunia zona Afrika. Mo Salah sendiri gagal menunaikan tugasnya sebagai eksekutor penalti di laga itu. Terlepas dari sejumlah faktor seperti sinar laser yang menyinari wajah Salah ketika hendak mengeksekusi penalti, tekanan dari ribuan pendukung tuan rumah, maupun jampi-jampi dukun Afrika yang mungkin saja dikirimkan kepadanya. Mo Salah tampaknya memang belum beruntung dan belum ditakdirkan untuk berbicara lebih banyak di kompetisi sepak bola internasional. Kesedihan tentunya tidak hanya dirasakan Mo salah dan seluruh warga Mesir, tetapi juga oleh konten kreator asal Indonesia dengan akun Instagram @Kidiketidz. Dengan gugurnya Mesir, tidak akan ada konten ‘Kyai Salah’ di Piala Dunia tahun ini. Sungguh sebuah kehilangan yang besar bagi dunia perlawakan sepak bola Indonesia.
Beberapa nama di atas harus puas terhenti di babak Kualifikasi Piala Dunia 2022, tentunya kita sebagai penggemar sepak bola patut merasa sedih. Pemain sekelas mereka tak mampu menunjukkan kualitasnya pada ajang antar negara terbesar di planet ini. Namun, tidak hanya mereka saja, ada beberapa pemain bintang lain yang tak dapat berlaga di Piala Dunia tahun ini. Bukan karena negaranya tidak lolos kualifikasi, melainkan karena harus menepi akibat cedera. Sejumlah nama beken seperti Paul Pogba, N’golo Kante, Karim Benzema, Sadio Mane, dan Reece James turut menghiasi daftar pemain yang tidak dapat bermain pada kompetisi kali ini akibat cedera. Sangat disayangkan, eh tapi mungkin saja ini adalah anugerah dari Tuhan, sebab mereka tak harus menanggung beban para pekerja dan dosa Piala Dunia Qatar. Tuhan ternyata sudah menyiapkan hikmah di atas kemalangan yang menimpa para pemain ini.
Namun, muncul satu pertanyaan besar di benak saya, “affah iyah?” tidak berpartisipasi menjadi pemain tentu tidak berarti mereka tidak akan turut menikmati Piala Dunia dengan cara lain. Para pemain tersebut tentu saja sudah siap memberi dukungan kepada Negara mereka baik itu lewat layar kaca maupun datang langsung ke Qatar. Mo Salah sendiri telah berkata bahwa dia akan tetap terbang ke Qatar sebagai penonton. Wah, berarti mereka gagal untuk lepas dari ‘dosa’ Piala Dunia Qatar 2022 ini dong. Faktor-faktor seperti ini lantas dapat menjadikan pendapat Hector Bellerin di awal tadi menjadi tidak relevan. Saya sendiri yakin, Bellerin juga termasuk salah satu dari jutaan penonton Piala Dunia 2022. Jika begitu, mungkin Bellerin layak dihadiahi julukan baru selain speedster, fashionista, atau si mullet, yaitu HIPOKRIT.
Julukan Hipokrit mungkin tak hanya layak dilayangkan kepada Bellerin, melainkan kepada siapa saja yang turut vokal menyuarakan tentang kekejaman Piala Dunia Qatar, tetapi di balik layar masih turut memeriahkan atau bahkan mendapat keuntungan dari penyelenggaraan kompetisi ini. Pemilihan kata ‘menikmati’ dalam pernyataan Bellerin juga dirasa sangatlah tidak tepat, sebab para pemain yang bermain di Piala Dunia kali ini boleh jadi berpartisipasi atas dasar cinta terhadap sepakbola, negara, dan tentunya mata pencaharian yang membuat mereka dapat memberi makan keluarganya. Tidak ada satu pun dari pemain maupun pendukung yang turut mendukung kekejaman di balik kompetisi ini.
Hal memuakkan lainnya adalah orang-orang yang mencaci maki Qatar akibat adanya larangan kampanye LGBTQ+ dan larangan konsumsi minuman keras di stadion saat laga berlangsung. Tuan dan nyonya, percayalah, Qatar hanya meminta kalian untuk menghargai budaya di negaranya yang tentu kita semua tahu bahwa Qatar adalah negara mayoritas muslim yang anti terhadap hal-hal tersebut. Ibarat bertamu ke rumah orang, tentu kita harus menghargai adat istiadat yang berlaku di rumah tersebut. Tidak mengkonsumsi minuman keras selama 90 menit dan mengibarkan bendera warna-warni dalam bentuk apapun saya rasa tidak akan mengurangi esensi dari pertandingan sepak bola itu sendiri. Orang-orang tetap dapat menyaksikan pertandingan tak peduli dari mana dan apa pun identitas seksual mereka. Edaran FIFA yang berisi imbauan jangan mencampurkan sepak bola dan politik memang ada benarnya. Namun ironisnya, edaran tersebut tidak selaras dengan skandal yang dilakukan petinggi mereka di balik terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia tahun ini.
Sepak bola kini memang telah menjadi lahan bagi para pemegang kuasa dan pemilik modal yang rela melakukan apa saja ‘demi uang’ bahkan jika itu harus mengorbankan nyawa manusia. Sehingga terciptalah kalimat tiada “sepak bola seharga nyawa manusia,” kalimat yang sepertinya harus kita renungkan kembali dan kita ubah menjadi tiada kepentingan penguasa seharga nyawa manusia. Sebab, sejatinya kepentingan itulah yang memakan nyawa, bukan sepak bola. Namun percayalah, masih banyak orang di dunia ini yang masih tulus mencintai sepak bola. Pernyataan-pernyataan seperti yang dilontarkan Bellerin dan kalimat tiada sepak bola seharga nyawa manusia justru membuat mereka kembali mempertanyakan rasa cinta mereka. Sebab tentu mereka tak ingin disamakan dengan orang-orang biadab yang menjadikan sepak bola sebagai median kepentingan mereka.
Dear para hipokrit yang baru lahir 20 November kemarin, ketahuilah, memilih untuk tetap menonton Piala Dunia, tidak lantas menjadikan kita kehilangan rasa kemanusiaan. Teruntuk orang-orang yang mampu berpegang teguh pada pendirian dengan cara ekstrem seperti memilih untuk tidak menonton Piala Dunia tahun ini, kalian luar biasa. Hal tersebut semestinya dilakukan para hipokrit di luar sana. Namun, jika kalian adalah penggemar yang memilih tetap menonton Piala Dunia karena rasa cintanya terhadap sepak bola, tetaplah berbangga, karena kalianlah sepak bola masih bisa tetap bertahan sebagai olahraga terbaik ditengah maraknya kepentingan atas nama sepak bola. Ah sudahlah, Setidaknya postingan akun @Foretzo.id hari ini telah membuat seorang mahasiswa semester 5 bercerita sepanjang ini.
Penulis: Andi Muh. Ahsan Rizal
Editor: Rizky Fadilah