Sri Sugiyanti, mahasiswa PLB FKIP UNS. (Foto: Satya)

Sri Sugiyanti, Menembus Kegelapan Lewat Pendidikan

Lima mahasiswa baru (maru) jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) UNS maju ke depan ruangan. Pada Osmaru pagi itu, masing-masing kelompok diwajibkan menampilkan pentas seni (pensi). Di hadapan rekan-rekannya, mereka berlima melantunkan lagu Jangan Menyerah dari d’Masiv, yang spontan diikuti 51 maru lainnya.

Syukuri apa yang ada

Hidup adalah anugerah

Tetap jalani hidup ini

Melakukan yang terbaik

Seorang gadis duduk pada baris ketiga, di bangku nomor dua dari kanan. Ia tampak sama dengan mahasiswa lainnya. Berseragam putih-putih dan mengenakan jas biru almamater khas UNS. Sambil sesekali merapikan kerudung, ia terlihat khidmat mendengarkan nyanyian teman-temannya. Tatapan matanya kosong, namun tampak dalam. Mata itu seolah-olah ingin menceritakan sebuah kisah.

Pikiran Yanti kembali pada peristiwa dua belas tahun silam. Saat itu, ia dan keluarganya berencana pergi ke pernikahan salah seorang saudara di Semarang. Nahas, mobil yang ia tumpangi menabrak mobil di depannya. Yanti yang duduk di sebelah kursi kemudi memang tidak mengalami luka berarti. Namun, benturan di dahinya cukup untuk mengubah seluruh hidupnya.

Benturan itu ternyata berakibat fatal. “Katanya syaraf matanya kena,” tutur Yanti. Sejak kejadian itu, daya penglihatannya terus mengalami penurunan. Berbagai pengobatan telah ia jalani, baik medis maupun alternatif. Dari Purwodadi, kota asalnya hingga Jakarta telah ia singgahi. Tetapi tak satupun membuahkan hasil. “Untuk pengobatan, sampai sempat berhenti sekolah tiga tahun setelah lulus SD,” tambahnya.

Ketidakmampuan untuk melihat sempat membuatnya depresi dan menjadi lebih emosional. Yanti yang sebelumnya ceria, menjadi lebih sering mengurung diri di kamar. Ia baru berani keluar rumah ketika teman-temannya sudah berangkat sekolah. “Saya merasa Allah nggak adil,” keluhnya. Tak hanya itu, respon dari lingkungan sekitar pun membuatnya semakin kurang percaya diri. “Bahkan kakak juga sering mengejek. Ngejekinnya, Apa to, ora ketok wae nonton TV,” ujar anak kedua dari empat bersaudara ini.

Setelah tiga tahun masa belajarnya hilang karena berobat, Yanti sebenarnya ingin melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP) biasa. Namun, pertimbangan lingkungan dan sistem pendidikan membuat sekolah luar biasa (SLB) menjadi pilihan.

Ketiadaan SLB di Purwodadi membuatnya harus merantau cukup jauh ke SMP YKAB Solo, salah satu SLB yang menjadi tempatnya belajar kemudian. Sebagian besar siswa SMP YKAB adalah tunanetra. Mereka biasa belajar bersama, berlatih catur, bahkan atletik. Di waktu senggang, tak jarang mereka berjalan-jalan di sekitar sekolah. Kehidupan di asrama YKAB inilah yang meneguhkan kembali harapan hidup Yanti. “Saya baru sadar waktu masuk ke SLB. Ternyata banyak anak-anak yang tidak lebih beruntung dari saya. Yang bahkan mereka tidak tahu pelangi itu seperti apa” ujarnya.

Lulus SMP, Yanti melanjutkan pendidikan ke SMA 8 Surakarta. Kala itu, kelas XI IPS 5 terkenal dengan kenakalannya. 24 siswanya sering membuat gaduh dan membuat guru kewalahan. Tapi, hal inilah yang justru membuat Yanti betah menjadi bagian dari mereka. “Teman-teman baik sama dia. Nggak ngediemin. Jadi walaupun nakal, mau ngebantu,” tutur Endang Suryani (19), teman sebangku Yanti di kelas.

Pertama kali mengenal Yanti saat masuk kelas sebelas, ia memandang Yanti sebagai pribadi yang baik dan tidak cepat putus asa. Endang inilah yang sehari-hari membantu Yanti di kelas. “Kalau gurunya kurang jelas, aku yang ndiktein yang di papan tulis,” kata Endang saat dihubungi via telepon.

Kedekatan Endang dengan Yanti tak sebatas teman sebangku. Ia juga yang sering mengantar Yanti jika hendak ke suatu tempat, membelikan jajan di kantin, atau sekadar meminjamkan catatan. Tak jarang Yanti mencurahkan isi hatinya pada Endang. “Dia pernah curhat. Jadi ibunya yang kandung kan udah meninggal waktu kelas dua SMP. Terus Bapaknya menikah lagi. Tapi Ibu tirinya baik, jadi keluarga tetep rukun,” terang Endang.

Berprestasi

SMA 8 Surakarta sendiri memperlakukan siswa inklusi—sebutan untuk siswa dengan disabilitas—sama dengan siswa normal. Mereka belajar di kelas yang sama. “Kita harus memberikan (siswa inklusi-red) hak yang sama dengan anak-anak yang lain,” kata Kepala Inklusi SMA 8 Surakarta, Muhammad Haris (55). “Kurikulumnya juga sama. Mereka juga punya kewajiban yang sama dengan yang lain.”

Tercatat sebelas siswa inklusi menjadi bagian dari SMA ini. Sembilan siswa tunanetra dan dua siswa tunadaksa. Menangani siswa inklusi bukanlah perkara mudah. Guru harus lebih aktif dalam proses pembelajaran. “Kalau Yanti kan keterbatasannya pada penglihatan, jadi kalau menerangkan di papan tulis gurunya harus membacakan. Kalau ada gambar, misalkan simbol matematika, gambar itu dinarasikan atau dideskripsikan,” terang Haris.

Perkembangan teknologi juga membuat siswa tunanetra lebih mudah dalam menerima pembelajaran. JAWS (Job Access With Speech) merupakan salah satu peranti lunak yang dapat membantu siswa untuk membaca buku. “Jadi, buku yang ingin dibaca di-scan (melalui scanner biasa-red), lalu dari komputer keluar suaranya,” Haris menambahkan. JAWS membuat siswa tunanetra lebih terbiasa menggunakan pendengaran. Alhasil, ketika ujian mereka lebih memilih meminta pengawas membacakan soal. “Kalau pakai braille waktunya nggak cukup,” kata Haris.

Yanti sendiri sangat terbantu dengan adanya JAWS. Ia mengaku lebih senang memakai JAWS daripada braille. “Kalau pakai braille cepat capek,” kata penyuka pelajaran Geografi ini. Namun, untuk hal mencatat saat pelajaran di kelas, ia masih menggunakan braille.

Dalam membaca gambar, simbol, serta tabel maupun bagan, keterbatasan masih dirasakan walau sudah menggunakan JAWS. Untuk itu, disediakan tambahan pelajaran untuk siswa inklusi. Mata pelajaran eksak seperti matematika, biasanya menjadi kesulitan tersendiri bagi Yanti. Pada tambahan pelajaran inilah, Yanti dan siswa inklusi lainnya memperdalam materi. “Biasanya dia tambahan inklusi sampai sore,” ujar Endang.

Kegigihan Yanti serta dorongan yang kuat dari lingkungan sekitar, membuat Yanti menjadi siswa yang diperhitungkan di sekolahnya. Sejak kelas XI, ia terus mendapat peringkat satu paralel. Hanya sempat kecolongan ketika kelas X. Waktu itu ia berada di peringkat kedua paralel. “Saya juga nggak nyangka bisa ranking satu. Saya hanya belajar semaksimal mungkin,” tutur Yanti.

Tak hanya itu, beberapa prestasi non-akademik juga sempat ia raih. Diantaranya, juara 2 lari 200 meter, juara 1 lari 100 meter, dan juara 2 tenis meja dalam Pekan Paralimpik Provinsi 2013. Selain itu, Yanti juga menjadi juara 1 lari 100 meter dan 200 meter, juara 3 tenis meja, serta juara 3 goalball dalam Pekan Olahraga Tunanetra Jawa Tengah tahun 2015.

Meski memiliki banyak prestasi non-akademik, belajar seakan menjadi hobi tersendiri baginya. “Kalau dia memang lebih banyak belajar,” tutur Endang. “Sebenarnya dulu dia nggak kayak gitu (tunanetra-red), waktu SD dia pengin jadi pramugari. Lalu waktu SMA tertarik ke PLB (Pendidikan Luar Biasa),” ujar Endang.

Sementara itu, Haris sempat menawarkan jurusan Sosiologi –selain PLB– kepada Yanti. Namun, setelah dipertimbangkan lebih matang, jurusan PLB dirasa lebih menjanjikan. “Kalau di PLB kan sudah ada komunitasnya. Lalu kerjanya juga sudah jelas,” kata Haris.

***

Lulus SMA, Yanti tak lagi menempati asrama YKAB. Kini, sebuah rumah kos di Gang Halimun menjadi tempatnya bernaung. “Kebetulan ada temen satu jurusan. Jadi kalau ke kampus saya masih bareng. Belum hafal jalannya. He-he-he,” ujar Yanti sedikit bercanda.

UNS sebenarnya bukan menjadi pilihan pertamanya. Dalam Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), menjadi daftar teratas pilihannya. Untuk SNMPTN sendiri, pihak universitas mewajibkan calon mahasiswa inklusi untuk membuat surat pernyataan disabilitas. Selain itu, wawancara singkat dilakukan untuk mengetahui langsung kondisi calon mahasiswa.

Nggak nyangka bisa masuk UNS. Soalnya waktu wawancara sama Pak Sunardi, ketua SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru-red) dibilangin harusnya UNS dijadikan pilihan pertama,” terang Yanti. Sempat khawatir tidak bisa menjalani perkuliahan dengan baik, ia pun telah berkonsultasi dengan dosen pembimbing akademis beberapa waktu lalu. “Jadi nanti bisa minta soft file materinya. Kalau ujian, bisa diomongin. Mau lisan atau tertulis,” tambahnya.

Dengan diterima sebagai salah satu dari dua mahasiswa inklusi PLB UNS, Yanti baru saja mengayunkan langkah pertama pada jalan perjuangan yang panjang. Yanti layaknya potret anak-anak dengan disabilitas yang rindu akan pendidikan. Dengan pendidikan, bahkan mereka yang tidak bisa melihat, mampu melangkah jauh ke depan. “Masa depan saya nggak mungkin terus tergantung sama orang lain,” kata calon guru ‘luar biasa’ ini. (Satya)