Shafina Alifya Ramadhani

Setiap Hari, Kami Geram Ketika Napas Dirampas Asap Kematian

Barangkali, ketiga orang itu bisa membuat sebuah perserikatan kecil bertajuk “Dasar Perokok Egois!”. Persoalan rokok dan perintilannya memang membuat geram bagi mereka—para perokok pasif yang paru-parunya bisa copot sebelah kapan saja. Hisap sana, hirup sini, belum lagi jika abu bertamu ke mata pengendara di jalan raya—bisa-bisa korban mati lebih dulu sebelum puntung rokok pelaku seukuran kelingking bayi.

Perkenalkan, Ini Dia Korban dari Keegoisan!

Pagi menjelang siang kala itu adalah sekitar pukul 11. Yuni (22), namanya, seorang mahasiswa FISIP sebagai “bintang tamu” pertama. Rupanya, sosok mahasiswi yang katanya berkegiatan biasa-biasa saja itu memiliki pengalaman pahit, buruk, dan sakit (secara harfiah) bersama rokok. Apakah ia pernah terganggu dengan asap rokok di kampus maupun tempat umum? Jelas pernah. “Aku merasa nggak nyaman tiap ada asap rokok, entah itu di kampus atau tempat umum. Kadang bikin dada sesak juga, apalagi kalau asapnya nyebar kemana-mana. Rasanya pengen cepat-cepat pergi dari situ,” ungkapnya dengan kening sedikit mengerut.

“Mereka (perokok) kadang nggak peduli sekitar, hembuskan asap sembarangan. Mereka yang seharusnya sadar diri, bukan malah kita yang mencari tempat aman. Tapi ya… aku juga pernah negur sih,” tambahnya.

Tidak ada perokok yang tidak egois. “Tahu sendiri kalau orang merokok dikasih tahu itu bebal,” kata Yuni. Slogan peringatan “Rokok Membunuhmu” yang terdiri dari dua kata mungkin tak dianggap sebagai huruf sehingga mereka tak bisa membacanya. Terkadang, jika diingatkan, justru mereka jauh lebih galak padahal merekalah pelaku pembunuhan secara perlahan—dengan asap yang tak ingin mereka hirup sendirian. Terkadang pula, mau tak mau, orang normal lah yang harus mengalah. Ah, jadi teringat sebuah cuitan di X yang berisi, “Apa alasan kalian tidak merokok?” Padahal, pertanyaan itu seharusnya adalah, “Apa alasan kalian merokok?” Sebab, seluruh debris jagat raya bernama manusia tentu belum mengenal rokok ketika lahir ke dunia.

Dunia ini pun rasanya tidak adil. Dilansir melalui laman alodokter.com, perokok pasif lebih rentan mengalami penyakit serius lain akibat asap rokok seperti aterosklerosis, penyakit jantung, stroke, dan lainnya. Berbicara mengenai penyakit, Yuni pun adalah korban dari keegoisan sesama: ia menderita penyakit TB Paru. “Kamu tahu nggak sih, paru-paru itu, ‘kan, ada dua gelambir, ya. Nah, yang satunya itu sampai kempis. Lalu, kalau ada asap rokok pun aku jadi sesak,” ungkapnya. Dan mungkin, itulah sebabnya Yuni terlihat sering menggunakan masker. Tak ada satu pun anggota keluarga di rumah Yuni yang merokok—justru petaka itu datang dari luar, dari sekitarnya.

Demikian juga berlaku bagi Pipit (21), teman sekelas Yuni yang juga teman sebangkunya. Ia pernah menderita penyakit bronkitis karena tinggal di lingkungan yang banyak perokok. “Waktu itu aku masih kecil, sekitar umur 10 tahun. Jadi, lumayan berat banget rasanya. Sesak. Sekarang pun masih cukup terganggu dengan asap rokok—langsung perih ke hidung, pusing juga,” ungkap Pipit dengan nada sendu sambil meremat-remat jemarinya di atas meja. Ia mengatakan, di lingkungan rumah pun masih banyak yang merokok. “Bahkan tetanggaku sampai buat plang ‘Dilarang Merokok’ karena banyak bapak-bapak yang merokok,” pungkasnya.

Yuni dan Pipit adalah korban para perokok. Ironisnya, di tengah kerusakan yang ditimbulkan oleh benda sepanjang jari telunjuk orang dewasa, iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPSR) masih mudah berkeliaran untuk unjuk gigi di khalayak umum: terpajang leluasa, menyapa di persimpangan jalan, menyelinap di antara pertandingan olahraga, bahkan propaganda visual bernuansa sinematik pada televisi di tengah malam. 

Berbicara mengenai iklan, promosi, dan sponsor rokok (IPSR), setiap generasi tentu pernah melihat dan mendengarnya. Seakan, lambat laun rokok telah dinormalisasi dan rokok masih dianggap sesuatu yang “keren” oleh kaum muda. Mungkin karena alasan itulah yang menjadikan iklan rokok pernah terpajang leluasa di papan reklame tepat di gerbang samping Universitas Sebelas Maret (UNS). “Ini tuh billboard (di) dekat kampus, tetapi iklannya malah mempromosikan rokok. Jadi sasarannya benar-benar (untuk) anak muda,” ujar Yuni.

Lawan. Mari Lawan Para Bebal!

Di balik semua keluhan dan kisah pilu yang dialami para korban perokok aktif, masih ada segelintir anak muda yang tidak tinggal diam. Mereka memilih untuk bersuara, menyuarakan keresahan yang kerap kali hanya dianggap angin lalu. Salah satunya adalah Rezty (21), seorang mahasiswi Sastra Indonesia yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial sejak sekolah menengah pertama, termasuk ketika dirinya memperingati Hari Tanpa Tembakau di tahun-tahun sebelum ini. Rezty menolak menjadi korban, juga berusaha menjadi bagian dari solusi atas permasalahan yang terus meracuni ruang hidup bersama.

Suaranya lantang, wajahnya tegas, keberanian tak goyah—bersarang pada tekadnya. Mahasiswi semester 4 itu lahir di dalam keluarga yang tidak merokok sama sekali. Ia tumbuh besar di dalam ruang-ruang positif—sebuah privilege di zaman sekarang. Malam itu, ketika ia bercerita mengenai pengalamannya, ia baru saja selesai bekerja. Barangkali ia letih, tetapi masih berkesempatan untuk berbagi kisah. Mungkin, dengan harapan kali ini suaranya bisa didengar.

Rezty mengungkapkan waktu dirinya menjadi ketua pelaksana, ia pernah ditawari sponsor rokok. “Besar. Uang sponsornya sampai belasan juta. Memang menggiurkan, tetapi kita, ‘kan, di kampus,” ujar Rezty. Perempuan yang berani menegur pelanggan di tempat kerjanya—meski berakhir ia pernah dilempar rokok dari seorang oknum di ruangan yang berdekatan dengan playground—tentu tidak akan menjual masa depannya teman-temannya, bukan?

Perjuangan Rezty tidak berhenti dengan menegur atau menolak sponsor rokok. Dia andil, dia terjun lebih dalam untuk mendampingi teman-temannya yang ingin berhenti merokok. Ia pun mengungkapkan, mereka yang merokok mengetahui bahaya rokok. “Mereka tahu kalau rokok tuh bikin paru-parunya sakit, bikin penyakit jantung, bikin stroke. Semua bikin… bobrok. Tapi mereka sudah candu. Mindsetnya sudah kena.” Nadanya berapi-api, penuh emosi. Bukan marah, melainkan hatinya berdenyut pilu ketika teman-temannya sendiri lebih memilih mati ketimbang berhenti merokok hari ini.

Bagi Rezty yang memiliki rasa empati seluas sayangnya pada orang-orang terdekat, ia memahami bahwa berhenti dari kebiasaan buruk dengan dalih menghilangkan beban pikiran—sejenis coping mechanism—bukanlah hal yang mudah. “Bagi yang ada keinginan untuk berhenti (merokok), bisa ngomong ke aku. Nanti aku salurkan ke puskesmas. Ada tempatnya di Solo,” kata Rezty kala itu pada teman-temannya. Sayangnya, dari sepuluh, hanya dua orang yang berhasil. Dari yang biasanya tujuh puntung rokok, kini menjadi tiga. Akan tetapi, Rezty tetap bangga. Ia senang karena setidaknya teman-temannya tak lagi menjadi pembunuh bagi orang-orang di sekitar mereka.

Seandainya Bisa, Kami Ingin…

Perjuangan pribadi tidak akan cukup jika tidak disertai dengan perubahan, baik dari dalam diri masing-masing individu, maupun melalui sistem yang lebih besar bertajuk “negara”. Ketika edukasi masih kalah telak dengan gempuran iklan, promosi, dan sponsor rokok yang disiarkan di seluruh penjuru negeri, dari Yuni hingga Rezty menyadari bahwa suara anak muda perlu lebih besar dari seruan moral yang diteriakkan di dinding-dinding hampa. Maka tak heran jika pada akhirnya, ketiga srikandi hebat itu menyampaikan pesan khusus untuk (yang katanya) manusia, juga pada penguasa untuk menyelamatkan penerusnya.

“Kita jangan mudah terpengaruh sama iklan rokok dan negara juga harus bisa bersikap, lebih bisa menata, lebih galak, serta bisa lebih bijak. Mengapa? Karena kalau kita sakit, negara juga harus menanggung itu, ‘kan?” ujar Rezty, selaras dengan pendapat Yuni dan Pipit. Rezty pun menambahkan bahwa iklan rokok yang biasa ditayangkan di televisi pada tengah malam hanya untuk menjaga anak kecil dari jangkauan rokok, tetapi tidak dengan orang dewasa.

Perjuangan bukan hanya tentang hari ini, tetapi tentang bagaimana generasi mendatang akan tumbuh dan hidup. Larangan IPSR tentu menjadi langkah awal untuk menyelamatkan anak-anak dari jerat candu di kemudian hari. Sebab itu, ketika ditanya mengenai harapan untuk generasi muda Indonesia, dari Yuni hingga Rezty mencurahkan segalanya.

“Harapannya, semoga teman-teman yang masih merokok bisa lebih aware terhadap kesehatan, bisa lebih berpikir bahwa tindakan yang kita lakukan sekarang akan sangat berdampak di masa depan,” kata Rezty. Sementara itu, Yuni juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap orang-orang terdekat yang menjadi perokok aktif. Katanya, “Jelas aku khawatir. Selain merusak diri sendiri, rokok juga berdampak ke orang-orang di sekitarnya. Aku juga kepikiran soal gaya hidup mereka yang semakin nggak sehat gara-gara itu (rokok).”

Suara-suara yang digaungkan oleh Yuni, Pipit, dan Rezty barangkali terdengar kecil di tengah gemuruh industri rokok yang bersuara nyaring melalui iklan, promosi, dan sponsor. Akan tetapi, justru dari mereka lah harapan itu tumbuh. Harapan untuk memberi ruang sederhana bagi setiap generasi untuk belajar, bekerja, dan bertumbuh di lingkungan yang sehat dan penuh empati. Generasi muda seharusnya adalah simbol perlawanan: perlawan terhadap candu, perlawanan terhadap normalisasi, dan perlawanan terhadap kesengsaraan.

Setiap perlawanan tentu ada artinya, sekecil apa pun bentuknya: menegur, menolak sponsor, mendampingi, dan menyuarakan keresahan. Setiap perlawanan mampu untuk mengubah arah, mampu untuk menyelamatkan lebih dari satu generasi. Perubahan tak harus selalu dimulai dari panggung yang megah milik kaum borjuis. Terkadang, perlawanan lahir dari satu napas bersih yang diperjuangkan di tengah kepungan asap yang tak kasat mata bagi mereka yang terlalu abai.

 

Penulis: Sarah Salsabila

Editor: Rohmah Tri Nosita