Oleh: Vera Safitri
KITA tak membeli apapun dari pendidikan selain kesempatan. Pemberitaan mengenai tiga mahasiswa ilegal di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) yang sempat muncul di halaman utama harian Solopos pada 8 Agustus lalu, menyeret kesadaran pikir kita tentang betapa mungkinnya kalimat awal tadi itu salah besar.
Solopos mengabarkan, tiga mahasiswa yang tidak lolos ujian masuk perguruan tinggi itu memilih membayar puluhan hingga ratusan juta rupiah agar bisa mendapat kursi di Fakultas Kedokteran UNS. Tepatnya masing-masing sebesar 70 juta rupiah, 150 juta rupiah dan 180 juta rupiah (Solopos, 8 Agustus 2017). Uang ratusan juta itu dirasai wajar karena fakultas yang mereka ingin masuki adalah fakultas kedokteran. Sekali lagi, Fakultas Kedokteran!
Yang barangkali kita sepakat bahwa fakultas yang satu itu laiknya sebuah Maladewa di hamparan kepulauan akademis dalam sebuah perguruan tinggi. Ia mengandung prestise, menjanjikan kesuksesan dan memikat. Dengan adanya bayangan kepastian masa depan itu, menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran adalah membeli kesempatan untuk memenuhi cita-cita materialistik mereka dan perekonomian yang lebih baik. Maka uang ratusa juta itu sebenarnya bukan masalah sama sekali!
Tapi sialnya, jumlah uang yang direlakan para mahasiswa tadi pada sang joki telah mengusik daya khayalku, lalu khayalan itu merebak ke setiap sudut kamar kos sempitku.
Duhai, aku membayangkan uang ratusan juta itu kugunakan untuk belanja buku di kios buku bekas kawasan Gladak, berapa banyak buku yang akan kudapatkan? Dengan buku-buku itu barangkali aku pun bisa menjadi sarjana kedokteran di kamar kos-ku sendiri.
Rasa-rasanya menjadi sarjana di kamar kos sendiri juga tak kalah mengasyikan. Bayanganku, aku tetap bisa mempelajari pelbagai kejaiban yang ditemukan Ibnu Sina, mempelajari Biokimia Harper atau Biokimia Sytre, Histologi bahkan Anatomi Moore. Masalah praktik, ah aku juga bisa belajar menyuntik lewat Youtube. Semua bisa diatasi! Imajiku tentang sarjana kamar kos ini sungguh sering membuatku girang.
Lhaiya ta nde, wong aku tak akan beribet ria dengan masalah KRS semi-daring yang sering sekali ganggguan itu. Merangkai janji temu sia-sia dengan dosen yang hobi ingkar. Dan memendam dendam pada dosen ghaib tapi otoriter tiap akhir semester. Huh!
Eh, tapi… meski demikian, menjadi sarjana kamar kos itu bukan sepenuhnya tindakan yang mulia. Di negeri dimana pendidikan jadi komoditas, kita butuh apa yang dinamai Bordeau dengan modal kapital. Modal yang memungkinkan kita untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di dalam hidup. Ada banyak jenis kapital, seperti kapital intelektual (pendidikan), kapital ekonomi (uang), dan kapital budaya (latar belakang dan jaringan). Dalam ranah intelektual, modal kapital itu berbentuk simbol pengakuan macam ijazah. Nah, ini kan yang tak bakal aku dapatkan jika aku diwisuda di kamar kos.
Menonton film mahapenting soal pendidikan, 3 Idiots (2009) mungkin saja membuat kita bersuci diri dan menganggap bahwa berpendidikan adalah belajar tanpa pamrih. Ya, semacam sarjana kamar kos itulah. Tak mengharap apapun selain mendapatkan pengetahuan yang diinginkan. Terlebih gelar sarjana, menurut Goenawan Mohamad (1978) “…adalah pengertian yang melayang-layang. Artinya kita tak bisa menyamakannya dengan kata”scholar” atau ”scientist”. Karena sarjana kini tak lain dan tak bukan hanyalah : lulusan perguruan tinggi.” Gambaran sarjana di mataku juga tak selugu saat aku masih jadi Maru. Rancho, tokoh utama film itu adalah sosok imajiner paling imajiner dalam imaji pendidikan kita.
Tetapi meski bagaimanapun, memang simbol-simbol akademis formal akan lebih dihargai daripada kualitas sesungguhnya. Sederhananya, dengan adanya situasi sosial seperti itu, orang-orang yang membawa serta simbol akademisnya menyebabkan mereka tidak perlu melewati ujian untuk memperlihatkan kemampuan mereka yang sesungguhnya. Melainkan hanya akan diuji apakah ia pantas menempati posisi tertentu dalam sebuah pekerjaan.
Malahan Selo Soemardjan pernah berujar lebih sadis lagi. Dalam kertas-kerjanya yang pernah dimuat dalam Majalah Prisma, November 1976, dia bilang “bahwa suatu gelar universitas dalam kehidupan sosial modern di Indonesia mempunyai fungsi yang sama seperti gelar aristokrat sebelum revolusi 1945. Pembawa gelar itu akan mendapat suatu status yang terhormat, meskipun status itu bukan suatu status yang berguna secara sosial.”
Hee…Mbah Selo? Apa katamu? Maksudmu segala yang aku lakukan demi mendapat status sarjana itu tak berguna? Jarang masuk kuliah, hura-hura saat ospek kampus, copy-paste tiap bikin tugas kuliah, menjaga rak bukuku agar tetap steril dari buku-buku itu tak ada gunanya?
Pancen bener sampeyan, Mbah!
Tapi ya jangan sepenuhnya menyalahkan saya. Toh, dalam kehidupan perguruan tinggi aktuiler, berpendidikan nyatanya malah bukan membeli sebuah kesempatan seperti yang dipikirkan Mohamad Hatta, “kesempatan untuk mengadakan jembatan antara pengetahuan dan sari penghidupan.” (Tanggungjawab Moral Kaum Intelegensia, 1957). Ada hal lain yang sudah terbeli sejak dalam pikiran: gelar sarjana adalah tiket. Dapatkan! Dan masuklah ke dalam dunia kerja dengan status yang lebih baik.
Dengan batok kepala yang terpenuhi hal-hal semacam itu, diam-diam perguruan tinggi dan dunia pendidikan telah berubah menjadi laboratorium kompetisi dunia kerja. Dengan kata lain, proses pendidikan kita bias diringkas sebagai “rekonfigurasi subjek sebagai wirausahawan dan lembaga pendidikan sebagai pabrik penghasilnya.” (Davies dan Bansel, 2007:248).
Pendidikan kita dengan malu-malu terubah menjadi berpola ekonomistis, bisnis. Dan sudah tentu kita tak boleh alpa bahwa, jika pendidikan adalah bisnis, maka segala kelicikan tentu bisa disebut strategi. Jadi uang ratusan juta pemulus masuk perguruan tinggi, – yang sialnya malah bermain-main dengan khayalanku – juga segala bentuk perjokian, jasa peninggi IPK, atau jasa membuat Skripsi/thesis harus pula bisa termaklumi. Ngeri! Hii…
[author title=”Vera Safitri” image=”https://www.saluransebelas.com/wp-content/uploads/2016/04/Vera-Safitri1-e1463310719132.jpg”]Penyendiri tangguh. Surel: verasafitri602@gmail.com[/author]