“Iya, saya pernah mencontek,” dengan malu-malu saya menjawab. Kenapa harus malu, kan memang seperti itu adanya, juga biasanya. Kondisi semacam ini hampir-hampir selalu dialami oleh setiap pelajar di Indonesia. Istilah dan penerapan berbagai trik mencontek sudah dikenal sejak duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) yang berlanjut di SMP, SMA, dan sekarang di Perguruan Tinggi.
Budaya Mencontek
Perilaku pelajar yang mencontek itu sangat banyak dan beragam, dari hal yang sederhana sampai yang ekstrim. Dari mencontek individual, berinteraksi dengan teman, mencontek berjamaah, bahkan mencontek dengan perkenan dan bimbingan guru.
Pertama, pelajar yang mencontek secara individual itu lebih mempersiapkan dirinya. Yang paling sederhana, yaitu tengok kiri, tengok kanan jawaban teman terdekat. Selama jawaban teman masih kelihatan, ia tak akan mengganggu temannya. Namun, jika tak kelihatan, maka ia akan meminta temannya menggeser lembar jawaban tersebut sehingga ia dapat melihatnya.
Selain itu, pelajar dengan tipe ini juga telah mempersiapkan catatan-catatan kecil tentang materi apa yang diprediksi muncul dalam soal. Si pecontek menyembunyikan catatan kecil itu diberbagai tempat, seperti saku, tempat pensil, sepatu, bahkan ada yang menaruhnya di kamar mandi. Metode mencontek seperti ini juga dipengaruhi oleh guru-guru yang “malas” memperbarui soal ujian setiap tahunnya sedang para pelajar selalu belajar dari pengalaman dan menjalin hubungan yang baik dengan angkatan atasnya. Ketiadaan soal yang baru membuat pelajar semakin mudah mempersiapkan catatan kecil tersebut. Hal yang cukup ekstrim dalam tipe ini dilakukan oleh para pelajar dengan mental baja, yaitu dengan fotocopi Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang diperkecil hingga seukuran buku saku atau yang tanpa gentar membawa masuk LKS ke dalam ruang ujian.
Kedua, mencontek dengan cara berinteraksi. Kebanyakan para pelajar “bertransaksi” menggunakan kode jari tangan, satu, dua, tiga, empat, lima untuk model soal pilihan ganda. Jika yang ditanyakan terlampau banyak, pelajar-pelajar ini akan membuat sejumlah nomor yang ditanyakan dalam kertas kecil, lalu dilemparkan ke meja temannya. Ini semacam “surat cinta” yang selalu dinanti balasannya. Bila tidak dibalas, biasanya pelajar tersebut akan dilabeli dengan kata-kata “pelit”, “sombong”, “sok suci”, dan lain sebagainya. Cara yang sama juga digunakan untuk mencontek jawaban-jawaban esai.
Ketiga, mencontek berjamaah. Peristiwa mencontek secara berjamaah ini selalu menjadi isu hangat ketika menjelang Ujian Nasional (UN). Keakuratan kunci jawaban UN itu berbanding lurus dengan harga yang ditawarkan. Semakin mahal, semakin akurat. Peredaran kunci jawaban UN ini melalui pesan singkat atau SMS. Pelajar yang “ikut pakai” akan mendapat jawabannya sebelum masuk ruang ujian, sekitar pukul tujuh pagi. Karena melalui SMS, maka dibutuhkan telepon genggam (HP). Biasanya para pelajar akan menggunakan HP yang kecil, tipis dan relatif murah. Hal itu perlu dipersiapkan agar tidak ketahuan membawa HP. Dan jika kemungkinan terburuknya terjadi atau ketahuan serta HP disita, pelajar tidak akan terlalu merugi karena HP yang digunakannya murah.
Legitimasi Mencontek
Bagi para pelajar, baik yang duduk di bangku sekolah maupun di perguruan tinggi, mencontek bagaikan ibadah yang di baliknya terselip doa, harapan-harapan mendapat nilai A, misalnya. Lalu, guru-guru yang tidak sengaja memergoki pelajar menyotek seakan “mengamini” doa para pelajar—karena dulunya dia juga pernah mencontek—alias terjadi pembiaran di sana.
Bagi pelajar yang ketahuan mencontek, selama ini selalu ditolerir, terutama saat ujian itu akan menentukan nasib masa depan siswa didik yang tak bisa ditanggulangi hanya rajin dan pengajaran yang baik. Selalu diulangi, diulangi, dan diulangi lantaran tidak ada sanksi tegas yang membuat pelajar jera. Alhasil, kegiatan mencontek telah menjadi sekuen cerita “cinta” dari pendidikan di Indonesia.
Pembiaran-pembiaran “mencontek” yang terjadi selama ini dapat kita rasakan dampaknya sekarang, seperti kasus plagiarisme dan banyaknya barang-barang imitasi atau bajakan yang beredar di pasaran. Meskipun sudah ada Undang-undang nomor 19 tahun 2002 tentang hak cipta, rasa-rasanya undang-undang ini hanya semacam “hiasan”. Barang-barang bajakan tetap dicari dan laku keras.
Keberadaan kegiatan mencontek di dunia pendidikan dan peredaran barang-barang bajakan yang cukup lama di pasaran membuat pandangan masyarakat terhadapnya sebagai sebuah kewajaran dan telah dilegitimasi melalui “konvensi” di dalam masyarakat. Tak berjalannya hukum secara administratif juga dibarengi dengan macetnya hukum secara moral. Adakah perasaan bersalah ketika para pecontek ini nantinya akan jadi pemimpin negara? Adakah rasa malu atau merasa tak pantas jika sebuah jabatan yang kini diraih itu merupakan hasil dari mencontek? Masa depan seperti apa yang diharapkan jika para pelajar ternyata dicerdaskan oleh guru mantan pecontek? Rasanya itu tak juga kita dapatkan jawabannya dalam pendidikan kita. Yang ada hanyalah pengertian dan toleransi bahwa mencontek sudah akan menjadi dogma layaknya sebuah ritual peribadatan. (Hanputro Widyono, Sastra Indonesia UNS)
Ritual Ibadah Mencontek