“Serius betul, cuman film woy alay,” komentar seorang pengunjung tulisan kanal Terminal Mojok yang tengah membahas Attack on Titan.
Hal pertama yang saya soroti adalah penggunaan kata “film” yang walau tidak salah, tetapi kurang tepat. Kalaupun sebutan “anime” terlalu jejepangan – sesuatu yang berhubungan dengan negara Jepang – atau “kartun” terdengar kekanakan, istilah “serial” bisa dijadikan opsi yang lebih baik. Hal kedua tentu mengenai penyematan kata “alay” yang perlu diluruskan.
Dunia internet dengan aksebilitasnya memang menawarkan banyak kebebasan kepada banyak orang, tak terkecuali kebebasan berkomentar. Celakanya, kebebasan berkomentar itu kadang digunakan oleh orang yang kurang memikirkan dengan betul apa yang hendak disampaikan atau memang terlalu mantap dengan pemahamannya untuk mengomentari suatu hal, walau aslinya salah tempat. Setidaknya film Wreck it Ralph 2 yang mengambil tema internet telah menggambarkan hal ini dengan akurat ketika Ralph akhirnya dinasehati agar tak membuka kolom komentar karena banyak perkataan negatif dengan pembawaan kurang ajar.
Komentar di kanal Terminal Mojok tadi menyiratkan bahwa mengulas plot dan membahas studi karakter Hange Zoe dari kaum Eldia Paradis adalah tindakan alay karena serial Attack on Titan hanya cerita fiksi. Komentar semacam itu seringkali ditemukan di media sosial dan cukup menggemaskan dan memancing argumentasi, terutama pada pencantuman kata “alay” kepada penulis.
Sebelum beranjak lebih jauh, perlu diketahui dulu makna dari kata “alay” yang ditujukan kepada si penulis artikel. Bila ditarik ke belakang, kata ini muncul pada sekitar tahun 2008 ketika menjadi topik yang sedang tren di Twitter. Jika dicari artinya di internet, biasanya yang muncul adalah penjelasan dari fenomena kala itu. Penjelasan itu mungkin sudah tidak relevan, terutama mengenai budaya pesan singkat amburadul dan busana emo dengan poni lempar, juga tambahan piercing dan kaus ketat. Hampir tidak ada lagi orang yang melakukan kebiasaan itu saat ini. Dilihat dari waktu penulisan pun, si pemberi komentar itu tidak mengetik kalimat dengan niat mengingatkan penulis bahwa tulisannya penuh kombinasi angka dan huruf atau isi tulisannya edgy nan depresif.
Sehingga untuk mendefinisikan maksud dari pemberi komentar, kita kembali lagi kepada arti utama dari kata “alay”. Dalam makalah yang ditulis Luthfi Fazar Ridho berjudul Fenomena Alay, Budaya Populer, dan Penghancuran Budaya, dijelaskan bahwa kata “alay” sendiri sebetulnya adalah singkatan dari “anak lebay” dan ditulis olehnya bahwa kata itu bermakna sebagai seseorang dengan perilaku berlebihan. Dari sini bisa disepakati bahwa komentar tadi bertujuan untuk mengatakan kepada penulis bahwa tindakannya melakukan studi karakter Eldian berlebihan karena serial Attack on Titan hanyalah fiksi.
Sayang sekali mendengar komentar semacam itu, padahal banyak makalah, jurnal, bahkan skripsi yang katanya susahnya minta ampun itu yang menggunakan anime sebagai sasaran pembahasannya. Bukan hanya seputar pengaruhnya sebagai media dan budaya populer, tetapi mengupas hingga tokoh dan lore dalam ceritanya. Bila tidak percaya, boleh dicoba mencarinya dengan mengetikkan kata kunci “skripsi anime” di kotak pencarian Google.
Hasilnya, pada baris teratas terpajang sebuah skripsi dengan judul Representasi Rasial dalam Serial Anime One Piece yang ditulis oleh Dicky Ilano Mirawan. Selain itu masih ada banyak karya ilmiah yang mengambil serial anime sebagai subjek penelitiannya. Dengan jumlah sebanyak itu, apakah para dosen pembimbing dan penguji dari banyaknya kampus di Indonesia itu betulan wibu ataukah tema ini sebenarnya tidak alay hingga dijadikan topik penelitian?
Selain kelayakannya secara akademis, membahas anime secara serius juga sama derajat kelayakannya dengan epos dan dongeng masa lampau. Walau berbeda masa dan (seringkali) “warna” penggemarnya, toh, keduanya sama-sama memiliki esensi sebagai cerita fiksi.
Meskipun beberapa kisah banyak diasumsikan sebagai catatan sejarah dari peradaban dahulu kala, tetapi mereka tetap karangan penulis yang sedikit banyak telah diromantisasi dan memiliki dramanya sendiri-sendiri. Bahkan novel Romance of Three Kingdom karya Luo Guanzhong yang dibilang akurat secara historis itu tidak lepas dari dugaan adanya bias sang penulis kepada pihak Shu serta banyaknya modifikasi cerita disana-sini.
Dongeng dan cerita hadir silih berganti dan para pembahasnya pun pasti ada. Kehadirannya mungkin dalam bentuk guru bahasa tradisional, sastrawan, hingga budayawan. Bahkan tak jarang sosok budayawan terkenal seperti Mbah Sudjiwo Tedjo ketika diundang dalam forum yang dituntut untuk serius pun mengambil banyak kisah pewayangan sebagai sudut pandang dalam menilai permasalahan politik maupun sosial.
Kisah di serial anime seperti Berserk, Gantz, maupun Attack on Titan yang banyak dikategorikan sebagai budaya populer juga tidak ada salahnya untuk diperlakukan dengan cara yang sama. Toh, judul-judul tadi sesungguhnya bisa sama menariknya untuk dibahas mendalam. Bahkan di dalamnya ada pesan tersirat yang dapat dihubungkan dengan macam-macam aliran filsafat. Sebagaimana yang sudah kerap dilakukan juga oleh banyak pembuat konten di berbagai macam laman internet.
Graeme Turner dalam bukunya Film as Social Practice menyebutkan bahwa dimensi realitas dalam film itu memang ada dan merupakan suatu representasi dari realitas sebenarnya. Representasi ini yang kemudian bisa didiskusikan bersama menjadi suatu topik yang berbobot. Namun, dalam kemasan yang lebih menyenangkan. Lagipula, tak jarang suatu cerita dalam film, anime, ataupun komik adalah bentuk kritik sosial sekitar yang bisa kita ulas dan lihat ketika kita mencoba menilik dan merenungkannya. Seperti halnya novel grafis Watchmen buatan Alan Moore yang menggambarkan kondisi sosial masyarakat yang rusak dengan merebaknya pelacuran dan pembunuhan.
Serial Attack on Titan (lagi) juga muncul akibat pergulatan pikiran Hajime Isayam dengan siklus hidup dan mati manusia sehingga menghasilkan sebuah cerita yang lebih dari sekadar konflik manusia melawan raksasa. Termasuk salah satunya pada plot utama yang disinyalir membawa alegori dari kehidupan masyarakat yang seringkali menutup kebenaran demi hidup aman di balik “dinding pembatas”.
Waduh, jangan-jangan para Eldian dibalik dinding itu salah-satunya adalah kita sendiri. Kita yang memutuskan bahwa segala sesuatu di luar sana tidak layak untuk dicari tahu dan dilihat lebih luas dari sebatas teritori yang tak dapat terjamah. Lebih baik memikirkan kapan waktu bercocok tanam dan menabung untuk biaya piknik ke distrik Stohess di benteng Sina daripada pergi keluar untuk mencari kebenaran dengan resiko dimakan titan. Lagipula, jika selamat dari ekspedisi pun akan tetap menerima hujatan.
Ah, tetapi untuk apa juga berpikir jauh kesana, “serius betul, cuman film woy alay”.
Penulis: Atif Kasful Haq
Editor: Hesty Safitri