Pengungkapan ekspresi masing-masing individu memiliki gaya yang berbeda. Setiap orang yang merasakan sedih, senang, kaget, malu dan marah pasti memiliki kata spontan yang dikeluarkan. Spontanitas tersebut dalam arti negatif sering disebut sebagai makian. Ya, memaki merupakan ungkapan ekspresi ketika seseorang merasa marah, kesal, ataupun hanya sekadar kalimat panggilan kepada teman akrab.
Majalah Kentingan XX edisi Desember 2013 menyebutkan bahwa kata-kata yang diungkapkan dengan aura kemarahan disebut sebagai kata makian. Begitu pula individu yang melampiaskan kekesalannya melalui kata kasar baik dengan suara keras maupun hanya dalam batin juga merupakan bentuk kata makian.
Mengangkat tentang makian, rubrik fokus utama Majalah Kentingan XX menjelaskan bahwa norma adat yang mengikat melahirkan pola baru dalam kata makian. Pada bahasa Jawa maupun bahasa Indonesia sering dijumpai kata makian yang kemudian disamarkan menjadi lebih halus, misalnya asu yang terdengar begitu vulgar diganti dengan asem, bajingan diganti bajigur, anjing menjadi anjay, bangsat menjadi bangsuy, dan sebagainya. Saat penutur akan mengungkapkan kata makian tetapi di lingkungan tempat tinggalnya tidak mewajarkannya, maka secara alami penutur akan mengubah jenis makian yang diucapkan atau biasa disebut dengan diglosia. Menurut Chaer dan Agustina dalam Moon dan Selviani (2019) diglosia merupakan sebuah pembedaan fungsi terhadap bahasa yang digunakan, terutama fungsi T (tinggi) yang digunakan pada situasi formal dan fungsi R (rendah) difungsikan untuk keadaan yang tidak resmi dan lebih personal.
Jika disinkronkan dengan kondisi saat ini, makian semakin eksis di kalangan masyarakat. Menurut Rosdiana Setyaningrum selaku psikolog, fenomena memaki yang terjadi merupakan tanda berkurangnya rasa hormat seseorang kepada orang lain. Dengan menganggap orang lain lebih rendah, seseorang merasa dapat berbuat semaunya, terlebih jika ada hal yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Hal ini dapat kita lihat pada kasus yang terjadi bulan Mei lalu dimana seorang konsumen memaki kurir COD (Cash on Delivery) karena barang yang diterimanya tidak sesuai dengan yang tertera di gambar. Dilansir dari kompas.com, konsumen berkali-kali mengeluarkan makian dengan kata-kata tidak pantas kepada kurir dan meminta secara paksa agar uangnya dikembalikan. Padahal, sistem COD dalam e-commerce sendiri mengharuskan pembeli membayar terlebih dahulu sebelum membongkar paket. Pun, jika dirasa pesanan yang diterima tidak sesuai dapat melakukan komplain atau mengajukan pengembalian melalui fitur yang sudah tersedia. Setelah kasus ini viral, konsumen tersebut mendapat banyak hujatan dari warganet. Bahkan akun media sosial dari konsumen tersebut menjadi bulan-bulanan. Dari kasus ini, dapat kita cermati bahwa makian yang dipakai secara sembarangan akan merugikan diri sendiri dan berdampak besar pada kehidupan kita.
Lantas, apakah makian sepenuhnya berdampak negatif?
Menurut Ljung (1986) dalam Majalah Kentingan edisi 20, ungkapan serapah dikelompokkan menjadi 2 jenis. Pertama, ungkapan serapah bersifat agresif. Serapah agresif dilakukan oleh seseorang ketika adanya amarah dari dalam diri yang ingin dilampiaskan. Kata-kata hujatan dan kemarahan diungkapkan untuk mengolok-olok lawan bicara atau keadaan yang dialami. Adakalanya seseorang perlu mengungkapkan apa yang membuat kesal dari dalam dirinya karena hal ini merupakan salah satu bentuk validasi perasaan yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Menurut Karina Negara selaku psikolog, melakukan validasi perasaan tidak semudah kedengarannya. Pasalnya, orang Indonesia belum terbiasa mengakui perasaan yang sedang dialaminya. Ketika seseorang marah, sedih, dan ingin menangis terkadang muncul penyangkalan untuk tidak melakukan hal itu. Hal ini justru akan menimbun emosi negatif di dalam diri dan akan menjadi bom waktu yang siap meledak. Memaki diharapkan dapat menjadi ujung konflik, daripada saling bunuh-bunuhan dan melukai.
Kedua, ungkapan serapah bersifat sosial. Serapah sosial merupakan makian yang menunjukkan adanya hubungan yang intim antara penutur dan petuturnya. Bagaimana makian terdengar, bergantung pada siapa dan dimana makian diucapkan. Dalam pergaulan remaja saat ini, sering kali makian digunakan sebagai kata sapaan antarteman. Kesepakatan untuk tidak sakit hati menjadi aturan tidak tertulis dalam pergaulan tersebut. Meskipun makian diucapkan dengan intonasi tinggi, tidak ada seorangpun yang merasa tersinggung di dalam kelompok. Justru saling berbalas makian menjadi perekat hubungan dalam pergaulan anak muda. Sapaan seperti “Seko ngendi, Cuk? Asu, tuku es teh ora ditukokke sisan (Dari mana, Cuk? Asu, beli es teh tidak sekalian dibelikan)” terdengar hal biasa dalam pergaulan remaja.
Pada dasarnya, makian digunakan sesuai fungsi dan kondisinya. Makian sudah semestinya digunakan pada kondisi dan tempat yang tepat, serta tidak melampaui batas. Makian secara lebih luas diatur dalam Undang Undang (UU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 28 ayat (2), setiap orang dilarang “dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”. Meskipun pasal ini dinilai multitafsir oleh banyak pihak, ada baiknya kita menjaga untuk tidak mengungkapkan kata-kata makian, apalagi di media sosial agar tidak menyakiti orang lain maupun diri sendiri. Terlebih, rekam jejak media sosial dapat ditelusuri kapanpun dan dimanapun. Artinya, jangan sampai apa yang kita wariskan kepada anak cucu merupakan hal-hal negatif yang tidak bisa diteladani.
Penulis: Dinda Amalia Fatika Az Zahra
Editor: Aulia Anjani