Jendela dari Koloni, Seri Dokumentasi Sastra Antologi Puisi Pendhapa 17. (Foto: Dita)

Mengaji Kajian Puisi melalui “Jendela dari Koloni”

lpmkentingan.com-Untuk menyeruakkan gairah kawula muda dalam mengapresiasi puisi, Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di bawah naungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengadakan “diskusi Puisi” pada Jumat malam, 24 April 2015. Lebih dari 30 orang memadati pendapa wisma seni untuk mengapresiasi pembacaan puisi dalam buku seri dokumentasi sastra antologi puisi pendapa 17 berjudul “Jendela dari Koloni”. Antologi puisi ini berisikan 95 puisi dari 11 pengarang dengan ditambahi catatan Beni Setia berjudul “Bermain Kata-Kata”.

Acara pada malam itu diawali dengan pembacaan beberapa puisi dalam antologi puisi tersebut. Salah satunya adalah “Hujan Turun di Desa”, buah karya Dhanang Febriansyah yang membandingakan turunnya air hujan di desa dan di ibukota.

Diskusi tersebut berlangsung selama satu jam penuh dengan apresiasi dari para penikmat puisi. Dengan pembicara Beni Setia dan dimoderatori Fanny Chotimah, diskusi berlangsung hangat dan penuh apresiasi dari para pecinta puisi se-Solo raya. Dalam diskusi tersebut, Beni Setia menyoroti penyair masa kini dengan penyair-penyair angkatan lama, terutama latar belakang yang memengaruhi gaya penulisan puisi kekinian.

“Roni harus dapat dituliskan dengan permainan kata-kata. Kata-kata dirangkai sedemikian rupa tetapi tetap dapat ditangkap dan ditelusuri maksudnya oleh para pembacanya.” Demikian pesan Beni untuk para penyair, terutama pemula.

Puisi di Indonesia umumnya diapresiasi dalam bentuk teatrikal, seperti musikalisasi puisi. Konsep seperti ini, menurut Beni, dapat mengubah kata-kata dalam puisi menjadi “bunyi”, kata tidak lagi menjadi kata yang punya kekuatan makna sepenuhnya melainkan diatur sedemikian rupa agar apik saat dimusikalisasi, dipentaskan dengan latar belakang suara musik dan efek dramatis penataan panggung. Dalam hal ini, suasanalah yang menghidupkan puisi, bukan “kekuatan” kata-kata dalam puisi itu sendiri. Walaupun demikian, tidak dipungkiri kemungkinan keindahan kata yang dipadukan dengan pementasan yang apik seperti karya-karya W.S. Rendra.

Beni juga menyayangkan sikap penyair muda sekarang yang cenderung puas untuk berkaya dalam media social semacam facebook, dimana dalam media tersebut, apresiasi hanya akan diungkapkan dalam bentuk like jempol-jempol tanpa adanya diskusi. Menurutnya, akan lebih “dekat” apabila ada suatu diskusi apresiasi antar penyair dengan pembaca dan penikmat puisi.

“Pembaca yang baik tidak hanya mengapresiasi dengan “jempol” semata, tetapi ada tindak lanjut berupa diskusi, mengobrol, sebagai bentuk apresiasi pada puisi,” tambahnya. (Dita)