Gambar diambil dari http://www.imgrum.org

Melepas Pasung Kebebasan

Judul Buku     : Pasung Jiwa

Pengarang      : Okky Madasari

Penerbit         : PT Gramedia Pustaka Utama

Tebal              : 328 Halaman

ISBN                : 978-979-22-9669-3

 

 

KEBEBASAN. Bisa jadi ia sebuah telaga yang berkelok dengan air sejernih kaca sepersis lukisan  A Pleasant Day at Lake milik George William Blis Baker. Telaga nan indah, dengan pohon-pohon cemara yang berjejer di tepiannya. Yang selalu dibicarakan, selalu dicari dan selalu ingin dikunjungi. Tapi bisa jadi lain. Barangkali kebebasan tak seindah Telaga George. Mungkin saja kebebasan itu sakit, perih dan malah menjengkelkan macam yang dikisahkan Okky Madasari lewat novel Pasung Jiwa karangannya ini.

 

Melalui tokoh Sasana dan Jaka. Kita diajak untuk menelusuri kehidupan. Kita disuruh mengingat-ingat dan menyadari jebakan-jebakan apa yang telah disiapkan Tuhan dalam periode hidup manusia. Bisa saja lewat cinta, bisa lewat persahabatan, kekuasaan, pendidikan, apa saja. Tapi tragisnya, Sasana dan Jaka, mereka terjebak dalam diri mereka sendiri.

 

 

KISAH dibuka dengan kehidupan Sasana. Mengisahkan Sasana dari masa kecil, remaja, hingga dewasa. Sasana kecil hingga remaja yang dipaksa untuk belajar piano – musik klasik, sedangkan ia sudah mulai jenuh pada piano dan malah menyukai musik dangdut. Kemudian ia mulai membenci kehidupan pria yang sesungguhnya, karena ia mengalami kekerasan fisik. Dalam kisah ini dijelaskan bagaimana ia mulai merasa terperangkap dalam kehidupannya sebagai seorang pria.

 

“Aaah… aku semakin menyesal dilahirkan sebagai laki-laki,” (hlm 44) begitulah kata Sasana. Diakhir masa remajanya ia mengungkapkan bahwa ia menyesal. Ia menyesal terlahir sebagai laki-laki. Ia menginginkan kehidupan yang lain.

 

Semasa kuliah, Sasana menemukan kehidupan yang lain itu. Ia menemukan kebebasan pada dirinya. Ia mulai menemukan sosok Sasa. Memakai baju minim dan seksi, memakai hak merah menyala, memakai lipstick merah menyala, dan berbedak. Ia menemukan dirinya yang asli ketika ia bebas bernyanyi dangdut dan bergoyang. Tapi, semua itu tidak berlangsung lama. Semuanya sirna ketika Sasa dan Cak Jek harus tertangkap oleh polisi saat mengamen.

 

Kisah berlanjut pada kehidupan Jaka. Seseorang yang meninggalkan bangku kuliah –yang hampir selesai demi sebuah kebebasan. Kebebasan yang ia miliki tidak berlangsung lama. Ia harus terjebak dalam kemiskinan. Bekerja sebagai buruh pabrik dengan upah Rp 90.000 perminggu. Bekerja seperti mesin yang diperintah membuat keinginannya dibidang seni harus terkubur dalam-dalam.

 

“Aku sekarang adalah mesin. Bergerak sesuai apa yang sudah diperintahkan, mengulang saja apa yang sudah dilakukan kemarin dan kemarinnya lagi.” ungkap Jaka.

 

Kebebasan, dalam bayangan mereka berdua. Adalah Telaga George yang indah dan selalu didambakan. Tapi perjalanan menempuhnya cukup menjengkelkan juga. Masih saja rasa takut memasung pikiran dan jiwa mereka. Menjauhkannya dari hasrat untuk membebaskan diri.

 

“Jika kebebasan itu ada, aku tak akan ketakutan lagi,” jawabku (Sasana). “Kebebasan baru ada jika ketakutan sudah tidak ada.” (hlm. 144)

 

Lembar-demi lembar dalam buku ini akan mengantarkan kita pada perjalanan mereka berdua untuk memiliki kebebasan yang mereka idamkan. Para pembenci dan pemberontak kodrat macam mereka, akan selalu ada di sekitar kita. Mungkin saja Sasana dan Jaka adalah aku, bisa juga kau, bisa  temanmu, keluargamu bahkan mungkin diam-diam mereka adalah kita. Mungkin.[]

 

 

 

 


Eka Indrayani

Mahasiswi Hubungan Masyarakat 2016, FISIP UNS. Surel  : ekaindrayani00@gmail.com