Informasi pesat yang kita lihat di media saat ini tidaklah lepas dari peran kemajuan teknologi. Media-media sekarang memuat banyak sekali informasi hingga tak terhitung lagi banyaknya. Informasi tercipta dengan cara diriset, diolah, dikembangkan kemudian disampaikan melalui komunikasi yang baik. Namun, “Apakah komunikasi itu bisa tersampaikan kepada audiens dengan benar?” karena akan mustahil jika tiap orang tidak memiliki masalah dalam hal berkomunikasi, baik itu komunikasi verbal, non-verbal maupun komunikasi lewat tulisan.
Jawabannya adalah “Ya” karena salah satu cara mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan komunikasi visual. Komunikasi visual sendiri merupakan tindakan untuk menggunakan entah itu foto, gambar, desain, sketsa, dan grafik ke dalam sebuah informasi. Saat ini banyak sekali akses di internet untuk mendapatkan bahan komunikasi melalui visual ini semua secara gratis. Namun, timbul pertanyaan yang jarang kita sadari “Apakah itu semua benar-benar gratis?”
Hak Cipta
Tidak munafik bahwa kita semua pasti pernah mengunduh kemudian menggunakan gambar di Google. Gambar itu kita gunakan untuk bahan presentasi tugas kuliah kita misalnya, lalu tanpa rasa bersalah kita tidak menampilkan sumber dari mana foto tersebut berasal. Tidakkah kita semua pahami bahwa sesungguhnya semua gambar di internet itu berpotensi memiliki hak cipta dan diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di Indonesia sendiri sudah banyak pelaku pencuri, plagiasi, dan peniru karya karena melanggar hak cipta. Tanpa disadari oleh mereka bahwa semua itu memiliki nilai yang begitu mahal dan sangat dilindungi oleh si kreator.
Jika kalian masih ingat salah satu kasus permasalahan kepemilikan nama makanan cepat siap saji Geprek Bensu yang melibatkan artis TV terkenal sebagai tergugat atas plagiarisme nama sebuah brand. Mungkin sebagian berpikir ini merupakan hal sepele karena cuma masalah nama “kok dipermasalahkan sih?”. Hal yang tidak kita ketahui bersama adalah penamaan sebuah brand itu merupakan hasil dari pemikiran dan ide orang-orang kreatif di dalamnya dan sebuah ide sudah semestinya dihargai “mahal”. Tidak hanya itu, persamaan kedua logo ayam geprek juga menjadi penyebab adanya plagiarisme atau bahkan bisa dibilang mencuri hak intelektual sepenuhnya. Terakhir, penggugat meminta ganti rugi sebesar Rp100 miliar dan tentu saja ini bukan nilai yang sedikit untuk “cuma” masalah nama ‘kan? Mendengar hal ini masih pantaskah kita bilang “bikin logo gitu doang kok mahal banget sih?”.
Kenapa Desain itu Mahal?
Sama halnya seperti pekerjaan lain, desainer memerlukan modal seperti laptop atau komputer, pen tablet, internet, dan hal yang berhubungan dengan desain lainnya. Namun, pekerjaan ini masih saja dianggap remeh bagi sebagian orang dengan membayar murah jasa desain ini. Pada praktiknya desainer tidak asal sembarangan membuat desain, mereka dituntut memecahkan masalah perusahaan, tetapi juga harus sesuai visi dan misi perusahaan tersebut. Proses pembuatan yang bertahap mulai dari brainstorming, coretan sketsa, dan digitalisasi belum lagi revisi hingga puluhan kali. Namun pada akhirnya malah kembali ke desain awal, haha. Hal penting lainnya desainer juga wajib memiliki ide dan inovasi se-baru mungkin demi mencegah adanya plagiarisme di kemudian hari yang bisa berdampak kepada perusahaan itu sendiri.
Di balik kemampuan desainer yang hebat dalam mengolah aplikasi grafis, terdapat jerih payah yang dipelajari selama bertahun-tahun. Belum lagi harga Adobe Family yang bisa menguras keuangan pekerja yang jarang “dihargai” ini. Rilis terbaru di website resmi Adobe harga normal untuk berlangganan semua aplikasi kreatif itu adalah Rp715.100/bulan, jika hanya berlangganan satu aplikasi dengan kisaran harga Rp50.000-Rp600.000/bulan. Dengan harga segitu, lagi-lagi masih pantaskah desainer dibayar 3M, “makasih..makasih…makasih?”.
Tidak cukup sampai di situ, desainer grafis atau bahkan bisa dibilang seniman ini menjadi salah satu pelaku kreatif di dunia industri, tidak sedikit perusahaan membuka lowongan pekerjaan untuk mencari posisi ini. Namun, ironisnya perusahaan malah mencari desainer grafis sekaligus merangkap memiliki kemampuan fotografi, videografi, bahkan animasi dengan tetap memperoleh gaji sebagai seorang desainer. Dengan dalih merupakan lulusan Desain Komunikasi Visual (DKV), desain grafis maupun multimedia itu mempelajari semua softskill yang berkaitan. Maka dari itu mereka mewajarkan hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai eksploitasi tersebut. Tidakkah masuk akal membebani semua kemampuan skill kepada mereka seperti contoh pengoprasian kamera, karena tidak semua bisa atau bahkan menyukai memotret foto. Alangkah baiknya perusahaan mencari posisi tersendiri di luar kemampuan desain seperti halnya fotografer atau animator.
Mindset
Di zaman yang sudah serba internet ini, informasi dapat dicari dengan gampang, sudah sepantasnya kita melek dan mencari tahu bahwa di balik sebuah karya terdapat kreator yang sangat ingin dihargai karyanya. Tidaklah etis meminta-minta, tetapi masih berucap “harga teman” kepada teman sendiri, karena sejatinya teman harusnya bisa saling membantu dan menghargai karya mereka, bukan malah menawar harga dengan tidak masuk akal bahkan sampai meminta gratis. Mungkin semua itu karena budaya masyarakat Indonesia yang suka sekali meminta gratisan. Kemudian timbul pertanyaan “Apakah memang semua desain itu serba bayar? Jawabannya adalah “tidak”, karena website penyedia stok desain maupun foto gratis sudah banyak kok di internet, tetapi masih saja suka mencuri punya orang. Mungkin memang lagi-lagi budaya kita saja yang tidak mau mencari tahu terlebih dahulu ketimbang malah langsung comot sana-sini. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan, free commercial tidaklah sebebas ketika kita membayar jasa desain yang bisa request seperti apa dan seaneh apa pun itu. Maka dari itu, untuk mempertimbangkan lagi antara menyimpan uangmu jika dipikir tidak perlu atau investasi dengan membeli mahakarya seniman yang ia buat tanpa memikirkan jam tidurnya.
Lagi saya sampaikan “Masih pantaskah desain grafis disebut desain gratis?” Jawabannya ada pada mindset kita sendiri, apakah masih mau menjadi orang dengan mental pengemis yang suka meminta-minta atau tidak.
Penulis: M Ilham Al Basyari
Editor: Rizky Fadilah