Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional gelar forum diskusi dan konsolidasi sebagai aksi solidaritas atas tindakan represif IAIN Ambon terhadap LPM Lintas pada Minggu (20/03). Perkara ini berangkat dari majalah terbitan LPM Lintas yang mengusung tema kekerasan seksual di lingkungan kampus yang berujung dengan pembredelan.
Dhia Al Uyun, Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), selaku pembicara diskusi menilai bahwa pembekuan LPM Lintas melanggar hukum. Sebelum memulai memaparkan temuannya, Dhia mewanti-wanti kepada pihak rektorat IAIN Ambon untuk segera mencabut surat pembekuan tersebut.
“Karena ini (surat pembekuan) bukan permasalahan yang sederhana. Surat pembekuan sudah keluar, dan ini masalah serius. Saya mengharapkan bila pihak kampus hadir di room ini, saya menyarankan dicabut saja pembekuannya sebelum nanti ada dampak-dampak lain. Karena ini bentuknya sudah surat keputusan ya, nggak main-main,” ujar Dhia.
Surat pembekuan LPM Lintas dinilai sudah melanggar kebebasan akademik mahasiswa yang diatur dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan. Kebebasan akademik mahasiswa seharusnya mendapat perlindungan di dalam kampus.
Kemudian adanya pemukulan terhadap pengurus LPM Lintas, kata Dhia, bisa masuk ke delik pidana. Walaupun pihak IAIN Ambon membawa pengacara, tidak berarti mereka bebas bisa melakukan apa pun kepada subjek hukum baik itu pengancaman atau pemukulan.
“Jadi kalau mereka melakukan pengancaman, selama bisa dibuktikan pengancaman itu, bisa dipidanakan. Jadi laporannya banyak ini nanti, penganiayaan, pemukulan, pengancaman,” paparnya.
Selama ini, kata Dhia, tidak ada kampus yang bersedia mengakui ada kasus kekerasan seksual di lingkungan akademiknya. Tidak ada kampus yang jumawa memamerkan diri mampu menyelesaikan kasus kekerasan seksual tersebut.
Fakta di lapangan, apabila ada kasus kekerasan seksual, pihak kampus tidak mau menerima dan berakhir menutup kasus itu. Namun kasus bisa membesar jika ada pemicunya, seperti korban-korban yang mau berbicara dan orang-orang tertindas yang mau menyampaikan apa yang telah terjadi.
“Kampus mestinya senang dengan data ini karena ini adalah data awal yang membuat kampus menjadi mudah melakukan investigasi. Sebenarnya kampus kalau mau terbuka ini enak lho, kawan-kawan sudah riset, tinggal ditindaklanjuti dengan para pihak lalu diawasi lalu membentuk tim independen untuk menyelesaikan kasus ini,” jelasnya.
Penyelesaian kasus kekerasan seksual, Dhia menegaskan, bermakna memberikan keadilan—kepentingan terbaik bagi korban—bukan menutup kasus. Hal ini dikarenakan kasus kekerasan seksual biasanya diselesaikan dengan menutup atas alasan nama baik kampus.
“Kampus yang baik adalah kampus yang menyelesaikan kasus kekerasan seksual, bukan malah meredam kasus kekerasan seksual,” terangnya.
Dalam proses ini, yang harus terlibat ialah tim medis, legal, dan psikologis yang kemudian berfokus mendapatkan keadilan, pemulihan, dan restitusi kepada korban. Tak lupa, harus ada jaminan pelaku tidak mengulang perbuatannya. Pelaku harus mendapatkan sanksi agar jera.
“Jika IAIN Ambon diam saja dalam proses ini, berarti melindungi pelaku, dong. Berarti tidak berperspektif terhadap penanganan kasus KS, sebagaimana mestinya tunduk dalam peraturan yang ada di kementerian agama,” ujarnya.
Kekerasan seksual adalah kekerasan seksual yang artinya merupakan kejahatan kemanusiaan. Tidak ada izin untuk segala bentuk kekerasan seksual, dan kekerasan seksual tidak hanya pemerkosaan.
Beralih ke produk majalah LPM Lintas, Dhia menjelaskan, majalah tersebut sudah menggunakan bahasa pers sehingga tidak bisa dikatakan tidak objektif.
“Narasi yang ada di dalam laporan adalah valid, apalagi didasarkan dari riset. Proses yang dilakukan dengan data primer,” katanya.
Penulis: Tamara Diva Kamila
Editor: Sabila Soraya Dewi