BENDERA setengah tiang tanda kebingungan dan duka masih terpasang. Di depan Gedung Serbaguna RT 02/ RW 25, Jebres Tengah, spanduk-spanduk berbunyi penolakan penggusuran juga masih terikat kuat. Para mahasiswa yang dulunya sering nongkrong dan mendengar cerita penggusuran di warung dekat gedung itu, kini lebih sering berkumpul di dalam gedung yang kemudian dijuluki bersama sebagai posko.
Mereka perwakilan dari berbagai elemen mahasiswa. Ada dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Permahi (Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UNS. Bagi mereka, mendampingi warga adalah suatu tanggung jawab sosial.
Hari itu – Senin, 12 Februari 2018 – mereka tengah bersiap memenuhi undangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surakarta. Sekira pukul 10 pagi, mahasiswa dan para warga telah bersiap untuk berangkat bersama. Meninggalkan posko menuju kantor Satpol PP yang dulu dipergunakan sebagai Gedung SMP N 27 Surakarta.
Kehadiran mereka lalu disambut siswa-siswa yang tengah dibariskan di lantai satu. Konon mereka adalah siswa-siswa pesakitan yang kepergok membolos. Tentu para warga tak mau melewatkan momen ketika siswa-siswa itu dihukum push-up hingga menyanyikan Indonesia Raya. Sembari menunggu forum dimulai, beberapa warga mengambil kesempatan menengok siswa-siswa dari luar ruang pertemuan. Karena terletak di lantai dua, beberapa warga yang jenuh seakan mendapat hiburan. Mereka sesekali tertawa, sesekali kasihan.
“Ketoke jamanku bolos dhisik, yo ora ngene-ngene banget.” Kata seorang warga paruh baya, sembari menyulut rokok dimulutnya. Ia masih menonton sambil menghembuskan asap rokok disebelah pria berseragam hijau yang menenteng kamera. Menyiapkan angle yang ciamik untuk memotret barisan siswa-siswa dari atas.
Hingga dari kejauhan, Sutarjo, Ketua Satpol PP Surakarta, berjalan mendekatinya. Mereka bersalaman. Pria pembawa kamera memberi hormat. Disusul warga lain yang terlihat menyambut dengan senyuman. Beberapa mahasiswa juga terlihat memasuki ruangan.
Ruang itu mendadak penuh. Kursi-kursi tambahan dibawa masuk, tak lupa teh manis dan kerdus makanan ringan diedarkan. Sesaknya bekas ruang kelas SMP N 27 Surakarta itu kemudian membuat Stutarjo sangsi. Seingatnya hanya 21 warga Jebres Tengah yang diundang Satpol PP untuk menghadiri pertemuan itu.
Warga dan mahasiswa awalnya menduga akan ada pembahasan soal sengketa tanah dekat Solo Techno Park (STP). Namun ternyata tidak sepenuhnya begitu. Satpol PP mengaku hanya ingin bertemu warga tanpa ikut campur mahasiswa. Dimas Suro Aji, perwakilan mahasiswa yang hadir di forum tersebut kemudian menjelaskan alasan keikutsertaan mereka. “Mahasiswa disini hadir untuk memberikan pendampingan kepada warga.”
Sutarjo tetap tak mau tahu. Ia kukuh beranggapan bahwa mahasiswa hanyalah oknum yang tak diundang. “Intinya saya hanya mengundang 21 warga! Di pertemuan ini saya hanya ingin tahu rumor yang beredar di kalangan warga terkait permasalahan lahan ini.”
Ia kemudian memberikan opsi agar mahasiswa keluar ruangan atau tetap di dalam namun tak memiliki hak bicara.
Dwi Yustanto membaca ketegangan antara mahasiswa dan Satpol PP. Koordinator warga Jebres Tengah itu kemudian menengahi dengan memilih opsi kedua. Perwakilan mahasiswa akhirnya tetap dipersilakan di dalam ruangan tanpa ada hak berbicara.
Forum dimulai. Warga tetap tak ingin rumahnya dibongkar untuk perluasan gedung STP. Salah seorang warga, Maria Yusneni (50) tampak menggebu-gebu mengungkapkan keluh kesahnya. “Mata pencaharian kami disana. Ruang bimbingan belajar saya, warung soto, angkringan, semua ada di rumah-rumah warga. Beberapa juga sudah ada yang lanjut usia. Kalau digusur, kita mau tinggal dimana? Bagaimana kita mau menghidupi anak dan cucu?”
Maria kemudian berkisah asal mula munculnya 14 petak hunian – termasuk Gedung Pertemuan Serbaguna – di dekat Techno Park itu. “Semua berawal dari himbauan sesepuh kami, Budi Hartono, untuk membangun rumah seiring dengan bertambahnya jumlah keluarga warga. Alasan dipilihnya lokasi itu, karena semula tanah yang kami huni ini adalah proyek jalan yang tak pernah dieksekusi.”
Ia pun mengaku paham, “master plan itu tak pernah dijalankan selama 20 tahun. Maka, setahu saya, tanah disana sudah kembali menjadi milik negara.”
Warga jadi semakin yakin bahwa tanah itu bukan milik STP, “apalagi tanah jalan yang kami tempati itu bersertifkat Hak Pakai (HP) Nomor 106. Sedangkan tanah Techno Park berserifikat HP Nomor 105.” Adapun pagar yang sampai saat ini masih mengitari 14 petak hunian tersebut. Tanda bahwa rumah warga ini berada diluar tanah STP.
Dengan begitu warga berasumsi bahwa penggusuran seharusnya dilakukan oleh pihak Pemerintah Kota, bukan STP. Lahan pun harus difungsikan menjadi jalan bukan di bangun gedung Techno Park. Lagipula para warga mengaku sudah membayar Pajak Bumi dan Bangunan kepada pemerintah kota Surakarta.
Dwi Yustanto menimpali. Ia juga menjabarkan bagaimana sikap STP kepada warga terkait sengketa ini. “Saya kira akan terjadi diskusi baik-baik tentang tanah ini. Tapi dari pihak STP malah terkesan mengusir. Mereka langsung mengumumkan bahwa tanah ini milik STP, bukan warga.”
Nyatanya, dari tiga kali pertemuan dengan STP yang dijanjikan, hanya dua pertemuan yang terwujud. Pertemuan ketiga diganti dengan diedarkannya surat berisi nominal ongkos bongkar ke rumah warga. Disana tertulis, setiap warga mendapat ongkos bongkar berada dikisaran Rp 50.000 – Rp 75.000/ meter kubik.
“Kata mereka, lebih cepat kami pergi, maka akan semakin baik. Bagi saya, ini perlakuan yang sadis!”
Sutarjo menyudahi perkataan Yustanto dan Maria. Ia kemudian meluruskan satu persatu apa – yang ia kira hanyalah – kesalahpahaman antara warga, pemerintah serta STP.
“STP itu milik siapa to, pak?” Ia bertanya pada Arif Darmawan, Ketua Bidang Penegakan Perda Satpol PP yang duduk tepat disebelahnya.
STP nyatanya bukan milik swasta. “Itu milik Pemerintah Kota Surakarta di bidang pendidikan.” Arif lalu tersenyum ramah, “begini pak. Kami akan menjelaskan dengan data, bukan dengan asumsi, nggih.” Menyoal HP 105 dan 106, dahulu HP 105 dan 106 memang menjadi satu sebelum dipecah.
Arif berdalih bahwa setiap HP memang dapat dipecah menjadi beberapa sertifikat. Ia kemudian mencontohkan kasus area jalan di tengah Pasar Nusukan yang kini dipergunakan sepenuhnya menjadi pasar. Awalnya pasar dan jalan yang berdekatan itu memang punya sertifikatnya masing-masing. Namun setelah jalan tersebut dialihfungsikan menjadi pasar, maka berubahlah dari yang semula bersertifikat sebagai jalan menjadi bersertifikat sebagai pasar.
“Jalan itu milik pemerintah,” pungkasnya di akhir penjelasan.
Seolah melihat perundingan yang tak mencapai ujung, Sutarjo mengaku telah memahami apa yang warga persoalkan. Ia menekankan inti pada persoalan nominal ongkos bongkar yang tidak sepadan dan kebingungan warga mencari tempat tinggal setelah digusur.
“Kalau untuk mengusahakan tetap tinggal, saya tidak bisa. Tapi kalau masalah jumlah uang bisa saya bicarakan kembali dengan Pak Walikota” Warga terlihat tak begitu lega. Usulan bertemu dengan Walikota untuk beraudiensi akhirnya tercetus.
Sutarjo berjanji akan mengupayakan pertemuan itu dengan syarat, “apa pun keputusanya nanti. Entah dinaikkan [ongkos bongkar] atau direlokasi ke rusunawa, bapak ibu bisa terima, nggih?”
Warga tidak bergeming, tak ada jawaban iya ataupun tidak. Warga yang saat itu hadir, kemudian tenggelam dalam kekalutannya sendiri-sendiri.
Zalhari, anggota PMII Malang yang tengah menempuh pendidikan S2 di UNS, untuk kesekian kalinya diabaikan. Hingga akhirnya ia dipersilakan berbicara setelah beberapa kali mengacungkan tangan. Belum sampai pada inti argumennya, perkataan mahasiswa yang kerap disapa Zal itu sudah dipotong terlebih dahulu oleh Sutarjo.
Baginya intro Zal yang berbunyi, “disini sudah semestinya kita berbicara baik-baik” ternyata dianggap sudah melecehkan upaya Sutarjo untuk mendengar aspirasi warga. Ketegangan antara mahasiswa dan Satpol PP sontak muncul kembali. Argumen Zal justru dianggap akan memperkeruh keadaan yang menurut Sutarjo, “sudah hampir mencapai titik temu.”
Akhirnya perwakilan-perwakilan elemen mahasiswa itu pun memilih keluar dari ruangan. Tak ada tanggapan berarti dari Sutarjo, pembahasan soal pertemuan dengan Walikota dilanjutkan.
Dimas Suro Aji beserta kawan-kawan menunggu di luar ruangan. Saya menyusul keluar dan kemudian mengobrol dengan Dimas. Sambil menghisap rokoknya, pria yang mengenakan kaos hitam berlambang PMII ini dengan tenang mengungkap kekesalannya. “Pertemuan ini adalah salah satu intimidasi dari pemerintah”
Itulah mengapa perwakilan elemen mahasiswa tersebut memilih keluar. “Bicara pun sudah tidak ada artinya. Satpol PP hanya melaksanakan instruksi atasan. Bukan mengadakan forum diskusi.”
Ternyata memang warga dan masyarakat sebelumnya telah mendatangi kantor DPRD serta mengajukan surat permohonan bertemu dengan Walikota. Namun ia dan juga warga tak menyangka, justru undangan dari Satpol PP yang datang ke rumah warga.
Dimas menduga undangan dari Satpol PP dilayangkan karena sebenarnya Walikota belum siap untuk bertemu warga. “Penggusuran bukan hanya soal memindahkan tempat tinggal. Faktor lain seperti mata pencaharian guna menghidupi keluarga mereka belum dipikirkan oleh pemerintah.”
Ia percaya bahwa masih ada UU Nomor 11 Tahun 2005 menyoal hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang harus ditegakkan pemerintah. “Dan hak-hak itulah yang ternyata mereka rampas.”
Selepas pertemuan usai, para warga dan mahasiswa pulang bersama. Mereka kemudian berkumpul di Gedung Serbaguna kembali. Di sana mereka lagi-lagi berbincang soal rencana penggusuran yang sebenarnya telah mencapai batas ultimatum, yaitu pada tanggal 31 Januari 2018.
Di posko itu, saya bertemu kembali dengan Maria Yusneni. Ia tak segan bercerita banyak. Termasuk kisah Ibu Nani, tetangganya yang meninggal tak lama setelah Satpol PP menyurvei lingkungan tempat tinggalnya terkait dengan sengketa lahan ini. “Memang sudah sakit-sakitan. Makannya waktu lihat ada Satpol PP, takutnya bukan main. Dia langsung teringat berita-berita di televisi.” Memang penggusuran dengan alat-alat berat dan gertakan-gertakan para Satpol PP itulah yang ditakutkan para warga.
Jauh sebelum adanya isu penggusuran ini warga sebenarnya telah terganggu dengan pembangunan Techno Park. Termasuk dengan bunyi-bunyi alat berat yang terus bekerja hingga larut malam. “Bahkan karena saluran air di dekat Techno Park ditutup. Saat hujan deras, rumah kami pun sempat tergenang.” Suaminya sendiri yang menelusur aliran air itu.
Ia tak ingin menyerah tapi sesekali juga merasa lelah. Memang berat memenangkan sengketa dengan pemerintah lewat jalur hukum. “Maka, sebisanya kami akan menempuh perjuangan moral.” []
Ririn Setyowati. Mahasiswi yang menjalani hubungan cinta dan benci dengan secangkir kopi. Surel: ririnsetya198@gmail.com