Kantong Plastik Berbayar: Solutif atau Kapitalistis?

Oleh Panji Satrio

Seminggu sudah kebijakan kantong plastik berbayar diterapkan di ritel-ritel di beberapa kota di Indonesia, termasuk di kota Solo. Kebijakan yang juga disebut “diet” kantong plastik tersebut secara resmi berlaku pada tanggal 21 Februari 2016. Pembeli dikenai biaya 200 perak untuk membeli 1 lembar “tas kresek” untuk mengantongi barang belanjaan.

Pemerintah percaya bahwa dengan diresmikannya kebijakan ini maka sampah plastik yang di”produksi” negara Indonesia akan berkurang. Kesadaran pemerintah dalam mengurangi sampah plastik ini tentu harus diberikan dukungan, mengingat Indonesia menyumbang 10 persen sampah plastik dunia.

Dengan karakteristik plastik yang susah terurai ke dalam tanah, otomatis sampah plastik hanya tertumpuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan jumlah tersebut sudah mencapai puluhan ton. Itu baru yang dibuang ke TPA. Beberapa persen orang di Indonesia membuang sampah ke sungai yang dampaknya terhadap lingkungan lebih riil dan parah. Banjir menjadi contoh yang paling umum. Selain membuang, ada juga yang membakar sampah tersebut yang menyumbang rusaknya lingkungan udara.

Kebijakan ini ternyata memunculkan sebuah pertanyaan penting, yaitu efektifkah kebijakan ini dalam mengurangi sampah plastik ?

Tidak dapat kita pungkiri bahwa manusia Indonesia sangat bergantung terhadap kantong plastik. Konsumsi kantong plastik Indonesia mencapai 700 lembar plastik per orang per tahun. Kantong plastik menjadi satu paket dengan barang yang kita beli di toko-toko kelontong maupun supermarket. Kita belum bisa menumbuhkan budaya membawa keranjang belanja polimer dari rumah, atau paling tidak membawa sendiri kantong plastik bekas.

Dengan ketergantungan yang bisa dikatakan amat sangat tadi, jelas bahwa 200 perak adalah hal yang remeh bagi konsumen. Memang bagi beberapa produsen rumahan 200 perak merupakan sebuah biaya tambahan yang bisa jadi berpengaruh terhadap harga produknya, namun jumah produsen tersebut toh tidak seberapa. Dengan jumlah yang hanya 200 perak lantas pembeli tidak akan segan membayarnya persis seperti yang diutarakan walikota Solo, FX Hadi Rudyatmo. Logikanya adalah, saat ini toko-toko ritel yang dikenakan kebijakan ini menjual barang-barang yang bisa dikatakan mewah bagi sebagian orang. Pembeli yang ada di toko ritel saja mampu membeli barang-barang dengan harga yang sedemikian rupa, sehingga harga 200 perak bukanlah hal yang memberatkan. Akibatnya lantas jumlah konsumsi kantong plastik, begitu juga dengan limbahnya, tidak akan berkurang. Malahan, dengan diterapkannya biaya tersebut akan menguntungkan sebuah pihak.

Pihak yang mana? Sekarang ini yang diuntungkan adalah peritel. Jumlah peritel yang ada di kota-kota percobaan pasti lebih dari 1 dan peritel-peritel tersebut tiap hari kedatangan pembeli yang tidak sedikit. Dengan begitu keuntungan yang hanya 200 perak tadi dikalikan, katakanlah, 250 saja sudah 50.000  rupiah. Angka tersebut sangat menguntungkan. Lalu apabila kebijakan ini dilanjutkan maka penjual toko kelontong pun juga akan diuntungkan.

Bisa dibayangkan berapa banyak rupiah yang mengalir ke kantong-kantong peritel dalam sehari, sebulan, dan bahkan setahun? Bagus apabila uang tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah untuk penambahan pendapatan. Saya menyangsikan hal tersebut. Menambah harga kantong plastik saya rasa tidak dapat pula diterapkan. Katakanlah “fasilitas” 1 lembar kantong plastik dikenakan biaya Rp. 15.000. Hal ini tentu akan membuat pembeli berpikir 2 kali untuk menggunakan “fasilitas” tersebut. Namun, tentu tidak pembeli saja yang berpikir 2 kali, pabrik plastik tentu juga akan berpikir 2 kali untuk mensuplai atau bahkan memproduksi plastiknya. Karena tentu hal tersebut sangat tidak menguntungkan bagi sang pabrik. Sehingga solusi yang ini sangatlah tidak aplikatif.

Mengenai penghargaan bagi peritel yang mampu menekan angka penggunaan kantong plastik hanyalah sebuah klise. Saya yakin, apabila ada yang mampu mengurangi penggunaan kantong plastik, jumlahnya pasti tidak signifikan.

Solusi

Banyak sekali alternatif-alternatif lain dalam mengurangi penggunaan kantong plastik selain dengan penambahan biaya “fasilitas” kantong plastik. Misalkan dengan menerapkan kuota kantong plastik di toko-toko ritel sehingga mereka terpaksa menyediakan atau menjual tas belanja kain maupun tas-tas belanja jenis lain. Misalkan tas belanja berbahan kain perca, kertas, dan bahan-bahan non plastik lainnya.

Keterbatasan tas belanja tadi dapat dijadikan sebagai sebuah kesempatan dalam membangkitkan home industry. Disebabkan kebutuhan yang bisa dikatakan mendasar dan mendesak bagi manusia modern saat ini, industri tas belanja bisa menjadi sebuah prospek bisnis. Artinya pemerintah tidak semata-mata menerapkan kebijakan yang tidak berdampak sama sekali, namun juga dapat memberikan sebuah damak positif yang berpengaruh. Artinya lagi, bahwa pemerinta harus juga siap dalam membangun home indutry ini. Paling tidak memberikan pelatihan-pelatihan tentang bahan-bahan, desain, dan lain sebagainya.

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, tindakan pemerintah ini wajib didukung masyarakat. Bentuk dukungan tersebut adalah masukkan-masukkan dari setiap lapisan masyarakat. Kebijakan yang sama pentingnya dengan kebijakan-kebijakan politik lainnya ini masih memerlukan banyak evaluasi.

Evaluasi ini salah satunya adalah apakah pemberlakuan biaya 200 perak dapat memberikan sebuah dampak yang signifikan? Karena hal ini sama halnya dengan rencana mengurangi jumlah perokok dengan menambahkan gambar mengerikan di bungkus rokok atau peringatan akan bahaya merokok yang sangat tidak diindahkan perokok. Tidak akan ada efeknya. Karena bagi perokok, merokok sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Artinya, mengubah kebiasaan manusia sebanyak masyarakat Indonesia tidak bisa hanya dengan memberikan sebuah perubahan yang sedikit.