Dunia pendidikan kembali dihadiri kebijakan kontroversial. Kali ini Perguruan Tinggi yang terkena imbasnya. Kebijakan publikasi karya ilmiah yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) seakan setengah hati.
Demi mengejar ketertinggalan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) akhirnya mengeluarkan kebijakan baru terkait publikasi karya ilmiah. Hal itu tertuang dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Joko Santoso tanggal 27 Januari 2012, nomor 152/E/T/2012 perihal Publikasi Karya Ilmiah.
Dalam surat itu dijelaskan, untuk lulus program Strata I (S1) diwajibkan telah mempublikasikan makalah pada jurnal ilmiah. Sedangkan untuk lulus program Strata II (S2), makalah harus dimuat pada jurnal nasional yang diakreditasi Dikti dan untuk lulus Strata III (S3) makalah telah dimuat pada jurnal internasional. Aturan itu mulai berlaku efektif per Agustus 2012.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, publikasi jurnal ilmiah Indonesia per juta penduduk berada di angka satu pada 1996, dan hanya meningkat perlahan di angka empat pada 2010 lalu. Berbeda dengan Malaysia yang berada di urutan pertama dengan peningkatan signifikan di angka 500 pada 2010, diikuti Turki (400), China (240), Thailand (130), Mesir (100), India (50), Vietnam (10), dan Filipina (lima). Hal ini menjadi pertimbangan dibentuknya kebijakan publikasi karya ilmiah.
Menurut data dari Scimagojr, Journal and Country Rank tahun 2011 menunjukkan selama kurun 1996-2010 Indonesia telah memiliki 13.047 jurnal ilmiah. Indonesia menduduki posisi ke-64 dari 236 negara yang di ranking. Sementara Malaysia telah memiliki 55.211 jurnal ilmiah dan Thailand 58.931 jurnal ilmiah. Indonesia memiliki keterpautan yang cukup jauh dengan Malaysia serta Thailand. Inilah yang mendasari Kemendikbud dalam merumuskan kebijakan tersebut.
Aturan baru itu sempat menjadi polemik di berbagai media. Sebagian kalangan berpendapat, hal ini akan memberatkan mahasiswa dalam menyelesaikan masa studinya. Terbatasnya jumlah jurnal ilmiah yang beredar pun menjadi kendala tersendiri bagi para calon sarjana, magister dan doktor dalam mempublikaskan karya ilmiahnya.
Menurut data Dikti, jumlah jurnal ilmiah Indonesia per Mei 2011 tercatat sekitar 7.000 buah, tetapi yang terbit berkala hanya sekitar 4.000 jurnal ilmiah. Sedangkan data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)menunjukkan terdapat koleksi sebanyak 67.000 karya ilmiah, tetapi hanya 38.000 yang dapat diakses.
Publikasi Karya Ilmiah di UNS
Seperti dilansir okezone.com, Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof. Dr. H. Ravik Karsidi, M.S. telah menyetujui kebijakan baru Dikti. Dengan kata lain, mahasiswa yang lulus setelah Agustus 2012 memiliki kewajiban untuk mempublikasikan karya ilmiah dalam sebuah jurnal. Sebagian mahasiswa menganggap publikasi karya ilmiah menjadi tugas tambahan di samping pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi pada masa akhir studinya.
Mendukung pernyataan Ravik, Prof. Sutarno, Pembantu Rektor I UNS Solo menjelaskan, “Secara umum UNS sudah siap. Semua ketua prodi (program studi, red) sudah dikumpulkan untuk sosialisasi kebijakan ini. Bahkan beberapa prodi sudah punya e-journal. Tinggal membenahi saja.” Pada dasarnya, lanjut Sutarno, UNS telah memiliki infrastruktur yang mendukung kebijakan publikasi karya ilmiah ini. Publikasi dalam bentuk cetak akan disimpan dalam perpustakaan pusat UNS.
Sutarno berencana akan membuat struktur tersendiri di perpustakaan pusat yang bertugas mengawasi dan membenahi jurnal-jurnal dari setiap prodi di UNS. Akan tetapi, ketua prodi tetap bertanggung jawab penuh terhadap penyeleksian karya ilmiah mahasiswa yang masuk ke dalam jurnal.
Setiap prodi dituntut melakukan penyortiran terhadap karya ilmiah yang masuk karena taruhan atas karya ilmiah yang tidak layak terbit adalah nama baik prodi tersebut. Sehingga, mahasiswa dituntut untuk menghasilkan karya ilmiah yang mumpuni guna meningkatkan mutu pendidikan dan kuantitas jurnal ilmiah di Indonesia. Bukan sekadar formalitas.
Selain bentuk cetak, setiap prodi diwajibkan membuat blog sebagai sarana publikasi karya ilmiah melalui media online. Blog di tiap prodi menjadi tanggung jawab ketua prodi masing-masing. Jurnal online yang dibuat nantinya akan ditampung dalam skala universitas pada e-journal yang dapat diakses melalui http://www.perpustakaan.uns.ac.id/jurnal/. Situs ini merupakan situs yang mewadahi berbagai macam jurnal baik dari mahasiswa maupun dosen di UNS.
Kendati situs ini telah dibuat, publik masih belum bisa mengakses karena masih menunggu kepastian dari Dirjen Dikti. Pengelolaannya, imbuh Prof. Sutarno, telah dianggarkan dana untuk membenahi berbagai infrastruktur pendukung pempublikasian karya ilmiah ini.
Sutarno menilai tidak perlu penambahan mata kuliah baru terkait publikasi karya ilmiah. Berbeda dengan mata kuliah skripsi yang memuat enam SKS, pembuatan karya ilmiah dinilai kurang bijak jika dibuat mata kuliah tersendiri. Sutarno mengungkapkan, “Mahasiswa itu kan sudah sering latihan membuat karya ilmiah lewat makalah yang ditugaskan. Ada juga PKM (Program Kreativitas Mahasiswa, red) yang jadi sarana berlatih membuat karya ilmiah. Jadi tidak perlu sampai ada penambahan mata kuliah tersendiri. Nanti malah memberatkan.”
Meskipun tidak menambahkan mata kuliah baru ia menyatakan akan ada pelatihan tersendiri oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) mengenai teknis publikasi karya ilmiah. “Saya dari bagian Pendidikan lebih baik didanai saja untuk kegiatan itu. Nggak tahu kalau dari Kemahasiswaan seperti apa,” ungkapnya, memberi dukungan.
Plagiarisme
Sejumlah pihak khawatir publikasi karya illmiah akan meningkatkan budaya plagiarisme. Sebab, akses untuk mendapatkan karya ilmiah milik orang lain semakin mudah.
Hal berbeda diungkapkan Sri Hastjarjo S.Sos, Ph.D., dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNS, menyatakan bahwa kebijakan ini merupakan kebijakan yang tepat dalam penanggulangan tindakan plagiarisme di bidang pendidikan. Hal ini dikarenakan pada setiap jurnal nantinya diwajibkan untuk diterbitkan dalam situs online. Dengan pempublikasian secara online akan mengurangi tingkat plagiarisme karena setiap jurnal di seluruh Indonesia dapat diteliti apakah plagiat atau tidak.
Ketika ditanya sanksi bagi pelaku plagiarisme, ia menjawab, “Biar publik yang mengawasi dan memberi sanksi.” Dengan memanfaatkan media online menjadikan publikasi karya ilmiah menjadi lebih sistematis. Selama ini, skripsi sangat mudah untuk dijiplak karena keberadaannya hanya diketahui oleh ruang lingkup yang kecil. Berbeda dengan sistem online yang memungkinkan masyarakat luas mengakses keseluruhan karya ilmiah di Indonesia. Dengan ini plagiarisme akan lebih mudah ditangani.
Publikasi secara online memiliki berbagai kelebihan. Selain meminimalisasi tindakan plagiarisme, biayanya pun relatif murah. Publikasi karya ilmiah secara online bisa melalui blog yang disediakan secara gratis. Dengan media online, jurnal-jurnal yang dibuat mahasiswa maupun dosen di Indonesia dapat dengan mudah diakses oleh semua orang tak terkecuali yang ada di luar negeri.
Hal ini menjadi output yang dihasilkan kalangan akademisi sebagai bentuk eksistensinya di dunia global. Selain itu, sistem ini membuat pencarian referensi menjadi lebih terstruktur. Hastjarjo mencontohkan pada kasus pembuatan judul skripsi. “Misalnya pada kasus pembuatan judul skripsi mahasiswa, seseorang dapat mencarinya di jurnal online sehingga tahu apakah judul yang hendak diajukannya telah dilakukan penelitian sebelumnya atau belum,” ungkap Hastjarjo. Hal ini juga digunakan sebagai tindakan antisipasi terhadap praktik plagiarsime. Melalui media online, penelitian yang dituangkan melalui karya ilmiah dapat diaplikasikan oleh masyarakat. Artinya, masyarakat dapat mengakses karya ilmiah yang relevan dengan kebutuhan di lingkungannya. Berbeda dengan karya ilmiah yang hanya disimpan di perpustakaan dan teronggokan begitu saja karena keterbatasan oleh pihak luar untuk dapat mengakses secara langsung. Meskipun begitu, kelemahan mendasar dari publikasi online yakni data yang disimpan rusak. Akan tetapi, justru karena itulah diperlukan database berupa karya ilmiah dalam bentuk cetak yang disimpan di perpustakaan.
Kesiapan Mahasiswa
Mahasiswa sebagai subjek pelaku dalam pelaksanaan kebijakan ini merasa terbebani ketika harus melakukan publikasi karya ilmiah dalam jurnal di samping harus membuat skripsi, tesis, maupun disertasi sebagai syarat kelulusan. Menurut Sri Hastjarjo alasan tersebut tidak relevan dengan fakta dari surat edaran ini. “Mahasiswa kan sudah sering buat penugasan makalah di mata kuliahnya. Ada PKM juga. Mahasiswa itu simple, bikin karya ilmiah dari skripsi juga bisa. Karya ilmiah itu kan tidak diujikan berbeda dengan skripsi. Susahnya di mana?” kata dosen yang akrab dipanggil Pak Has.
Selain itu, publikasi karya ilmiah merupakan bentuk kontribusi mahasiswa terhadap pengabdian masyarakat. Karya ilmiah yang merupakan sebuah sistem di mana terdapat pelbagai unsur seperti penelitian yang relevan dengan pengabdian masyarakat seperti halnya dalam Kuliah Kerja Nyata (KKN). Hanya saja, riset yang dilakukan dibuat dalam bentuk makalah sehingga dibutuhkan tindakan publikasi karya ilmiah. Hal ini dikarenakan tanpa publikasi, riset yang telah dilakukan tidak akan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Ditjen Dikti mengeluarkan SE No. 152/E/T/2012 tentu memiliki maksud dan tujuan yang baik dalam memajukan pendidikan. Akan tetapi yang menjadi permasalahan lahirnya kebijakan tersebut terkesan tiba-tiba serta kurang tindakan sosialisasi terhadap kalangan akademisi di kampus, sehingga menimbulkan polemik yang seharusnya tidak perlu terjadi. Sudah sepantasnya Dikti sebagai lembaga yang peduli terhadap permasalahan di bidang pendidikan untuk mengatasi permasalahan ini. Selain itu, terbentuknya kebijakan ini masih perlu dimusyawarahkan dan disosialisasikan lagi agar tak menimbulkan polemik berkepanjangan dan menambah ruwet dunia pendidikan.
Masih banyak persiapan yang perlu dilakukan untuk menjalakan kebijakan dari Dikti. Dari pihak universitas sendiri, telah menyatakan kesiapannya. Namun, semua ini juga perlu diimbangi oleh pihak mahasiswa selaku pelaku dari kebijakan tersebut. Publikasi karya ilmiah menjadi suatu harapan besar bagi negara kita untuk lebih meningkatkan secara kualitas maupun kuantitas dan mampu bersaing dengan negara lain. Niat baik peningkatan mutu pendidikan akan menjadi sia-sia jika tidak didukung pelbagai pihak yang terkait. Semoga saja, mutu pendidikan di Indonesia bisa lebih baik lagi.[] (Nasirudin, Fitri, Yana)