Oleh: Inang Jalaludin Shofihara
Bermula dari bahasa, jomblo mengalami perubahan makna dan menjelma berbagai rupa. Dari seni hingga bernilai ekonomi, berbagai objek diasosiasikan dengan jomblo. Bahkan, jomblo dapat jadi agen kritik sosial yang mumpuni.
TAHUN 2006, sebuah novel karya Aditya Mulya dengan kisah sial, jenaka, juga sedikit romantis berjudul Jomblo: Sebuah Komedi Cinta (2004) diangkat ke layar lebar dengan sutradara Hanung Bramantyo. Sebagaimana novelnya yang laku keras dan mengalami cetak ulang sebanyak 13 kali, film ini mendapat respon yang sama dari masyarakat. Kisah cinta tokoh Agus, Doni, Olip, dan Bimo itu kemudian diangkat ke layar kaca dengan format cerita bersambung atau series, masih dengan sutradara dan penulis yang sama.
Film Jomblo berkisah tentang jomblo (biasa dimaknai sebagai orang yang tidak sedang memiliki pasangan) yang kesulitan memahami konsep pacaran. Agus, si tokoh utama digambarkan nelangsa dalam urusan cinta karena dia harus memilih antara dua gadis yang sama-sama dia suka. Cerita Jomblo di sini tidak bertubi-tubi menggambarkan kegundahan hati orang yang tidak memiliki pasangan. Kisah persahabatan dan perjuangan mencari cinta lebih menjadi fokus utama.
Delapan tahun berselang, film dengan tema-tema jomblo seperti Jomblo Keep Smile (2014), Catatan Akhir Kuliah (2015), hingga Kapan Kawin (2015) mulai bermunculan. Jomblo Keep Smile bercerita tentang kegelisahan seseorang yang tak kunjung mendapat pasangan. Dibintangi oleh komika ternama Kemal Pahlevi sebagai Agus, film ini juga mengumbar kisah sial Agus yang kehilangan mobilnya saat berusaha menjerat hati seorang gadis. Di film ini pula muncul istilah jomblo ngenes atau jones yang kini jadi istilah populer.
Membandingkan film Jomblo dan Jomblo Keep Smile, secara diakronis kita melihat kata jomblo mengalami perubahan konsep makna. Pada tahun 2006 jomblo adalah kata yang diasosiasikan dengan seseorang yang belum mempunyai pasangan, biasa saja. Lantas, di era kontemporer seperti sekarang, kata ini bertransformasi menjadi kata dengan makna bahwa menjadi jomblo adalah hal yang negatif, harus dibuang.
Film sebagai salah satu produk dari budaya, menurut Roland Barthes, telah menciptakan bahasa atau alat komunikasi yang ia sebut mitos. Dalam teoretisasinya, ia memperkenalkan mitos sebagai sistem semiotik tingkat dua, yaitu suatu konotasi yang berasal dari denotasi sistem semiotik tingkat satu. Ini berarti jomblo yang bermakna tidak memiliki pasangan, lewat konstruksi sosial seperti contoh film di atas, berubah menjadi kata yang demikian buruk atau ngenes.
Melalui film, jomblo menjelma suatu produk “cerita” (mitos) masyarakat modern. Dalam hal ini, Barthes memperkenalkan istilah naturalisasi sebagai fungsi mitos, yaitu menaturalisasikan yang tidak natural (historis). Di sini, jomblo tampak seolah-olah natural ngenes karena masyarakat modern sudah tidak mempersoalkannya lagi.
Berubahnya makna kata ini pun disinyalir berkat adanya suatu konstruksi sosial yang kelewat cadas. Lalu, seperti apa konstruksi sosial berpengaruh pada pemaknaan kata jomblo? Kalau boleh dikatakan, jomblo adalah “sisa-sisa”, orang-orang yang kalah dalam pertarungan mencari pasangan. Orang-orang jomblo ini akhirnya mengalami perundungan (bully).
Artinya, lakon hidup orang-orang yang telah memiliki pasangan sebelum menikah (pacaran) sebagai ekstase telah melakukan pembermaknaan pada kata jomblo. Dosen Psikologi Sosial Universitas Sebelas Maret (UNS), Melati Putri Pertiwi menyebut bahwa pada era sekarang, pacaran menjadi semacam kelaziman. Turunnya tugas perkembangan usia dewasa seseorang mempengaruhi peran usia remaja. “Remaja masih labil, sedangkan ketertarikan atas lawan jenis sudah terjadi. Ditambah lagi dengan media yang mem-bully jomblo. Di konsep pikiran mereka satu-satunya cara untuk mengekspresikan rasa cinta mereka hanyalah melalui pacaran.” Kata Melati.

Perkembangan Kata Jomblo
Kita tidak dapat mengatakan film sebagai satu-satunya titik tolak perbedaan makna jomblo. Tetapi, melihat fenomena di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa pada akhirnya kata jomblo mengalami perkembangan yang tidak kita duga sebelumnya.
Dalam produk-produk budaya lainnya, jomblo telah menjadi bagian dari suatu ekspresi seni yang juga bernilai ekonomis. Misalnya penciptaan lagu-lagu yang menjadikan jomblo sebagai tema sentral. Ada Saykoji yang nge-rap dengan Jomblo, She dengan hits-nya Jomblowati, hingga Wali yang ikut menyumbang lagu dengan Jomblo Ditinggal Mati. Selain film dan musik, jomblo juga ditulis dalam berbagai buku seperti Jomblo tapi Hafal Pancasila karya Agus Mulyadi (2014), Jomblo Jatuh Tempo karya Dwi Sasekonyo (2015).
Berbagai kaos bertuliskan meme jomblo juga mulai digemari. Salah satunya adalah tees.co.id yang menjual berbagai kaos dengan desain bertema jomblo. Kata-kata seperti “Jomblo bersertifikat nasional” hingga “the face of high quality jomblo” menjadi pajangan di etalase laman.
Pelipatgandaan industri “kata jomblo” yang terjadi di atas pun tidak lepas dari asosiasi jomblo dengan kata ngenes atau kata berafiliasi negatif lainnya. Modifikasi jomblo sebagai manusia “sisa-sisa” harus dilakukan agar mampu bersaing dalam seni atau pun mode, seperti logika konsumsi yang hanyalah sebuah modifikasi tanda, sebagaimana kata Jean Baudrillard.
Sebuah kaos bertuliskan “the face of high quality jomblo” atau ”wajah jomblo berkualitas” memiliki hubungan misalnya dengan jomblo ngenes, jomblo hina, atau makian jomblo lainnya. Jomblo yang hina dimodifikasi dengan tambahan kata “berkualitas” agar pelanggan–bisa penonton/pendengar/pembaca bila objeknya adalah lagu, buku atau film-, baik yang jomblo maupun tidak, tertarik dengan sebuah pledoi baru, yaitu berkualitas.
Aktivitas Jomblo
Ejawantah kata atau tema jomblo dalam produk-produk budaya seperti film, lagu, buku, dan industri tekstil beriring pula dengan aktivitas sehari-hari bersama kata jomblo. Aktivitas berkata jomblo mengandung berbagai maksud tidak transparan.
Sering terdengar sapaan jomblo yang kian hari makin menggema misalnya, “Hai Mblo, mau kemana?” atau “jangan lupa bahagia ya, Mblo” di kehidpan sehari-hari atau pun di media sosial. Entah si penerima akan merasa terhina atau tidak, yang jelas kata jomblo telah berada di kehidupan sehari-hari dan diterima. Berbagai aktivitas di internet seperti di memecomic.id atau jombloo.co pun dilakukan dengan bentuk bully atau artikel mengenai jomblo.
“Sudah jomblo, gak tau IG. Kasihan sekali”, “Banjir itu salah jomblo yang selalu berdoa malming hujan”, “Saya kan lengkap, Pak. Kenapa ditilang? Kamu masih belum lengkap tanpa pasangan”, merupakan beberapa meme yang menggambarkan betapa “freehatinnya” hidup seorang jomblo. Agaknya, jomblo telah menjadi kasta terendah dalam urusan maki memaki. Apapun kasusnya, meskipun benar sekalipun, jomblo bisa saja disalahkan kapanpun dan di manapun.
Dalam kasus “sudah jomblo gak tau IG”, maksud si pelontar ledekan adalah memberikan masukan bahwa si jomblo harus meluaskan wawasannya. Namun karena orang tersebut jomblo, dipakainya istilah ini memiliki dampak lebih besar meskipun tidak ada hubungnnya sama sekali wawasan dengan pacaran.
Selain itu, juga ada meme yang cukup berani dengan “mengerjai” calon presiden Prabowo seperti “bagaimana saya menyelamatkan bangsa, menyelamatkan kejombloan ini pun susah”. Di sini, ledekan ini pun menunjukan bahwa sehebat apapun orangnya atau statusnya, bila dia jomblo, tamat sudah.

Dari sini, kita melihat bahwa jomblo dalam berbagai bentuknya memiliki kekuatan ampuh untuk mempengaruhi perilaku individu. Dari film sampai buku, jomblo menjadi perspektif tak berkesudahan yang akhirnya bersenyawa pula dalam kehidupan sehari-hari melalui percakapan tanda keakraban mau pun bully.
Fenomena jomblo termutakhir terlihat jelas di laman mojok.co yang menghadirkan berbagai artikel merespon berbagai peristiwa terkini dari perspektif jomblo. Berbagai meme atau artikel mengait-ngaitkan jomblo untuk merumuskan suatu masalah dengan bahasa yang lebih ringan dan jenaka tersaji dengan apik di mojok.co. Kuasa jomblo ternyata mampu menjadi senjata ampuh untuk melakukan kritik sosial.
Salah satu contohnya artikel berjudul Depresiasi Rupiah dan Asumsi Salah Kaum Jomblo. Di sini, penulis Kokok Dirgantoro mengemukakan kritik terhadap sikap pemerintah dengan membandingankannya dengan jomblo. Dalam salah satu poinnya, dia menyebut pemerintah seperti kaum jomblo yang merasa selalu ada yang lebih parah dari nasib mereka. Jomblo kerap terperanjat dengan pertanyaan kapan punya pacar atau kapan kawin. Jomblo pun bisa ngeles dengan menyebut masih ada orang lain yang lebih parah nasibnya. Begitu juga dengan pemerintah yang merasa bahwa rupiah melemah tidak apa karena masih banyak negara lain yang melemah. Ada lagi artikel berjudul Jalan Tengah Jomblo a la Jokowi yang berisikan keputusan yang diambil Jokowi sudah tepat. Penulis, Cepi Sabre menganggap jalan tengah yang diambil Jokowi sudah tepat karena mengesampingkan relawan-relawan yang cerewet dan partai yang suka nitip pesanan, ya seperti jomblo yang akrab dengan kesendirian tanpa pasangan.
Dari satu sisi, beberapa contoh tadi semakin menahbiskan jomblo sebagai sesuatu yang penting. Penting karena eksistensinya yang ngenes bisa memaksakan perubahan. Semakin orang menolak dikatai jomblo tentu orang akan terus bergerak. Melalui dunia kreatif, hal ini tentu akan mendorong untuk terus berkarya. Tentu dengan bahasan yang memiliki manfaat bagi orang luas.
“Jomblo itu tak lebih dari status. Tapi bagi saya, jomblo itu bahan tulisan. Hahahaha.” Ungkap Agus Mulyadi yang telah menerbitkan buku berjudul Jomblo tapi Hafal Pancasila saat diajak berbincang melalui surel.[]
Inang Jalaludin SH. Sedang berusaha “menjadi” mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret. Gemar menyanyi, menari, menggambar, menonton film/konser/pameran, membaca, dan menulis (kadang-kadang). Ingin menjadi wartawan di Rolling Stones. Surel: ijalaludinsh@gmail.com.