Ilustrasi: Naila Khansa Aufa Yusman/LPM Kentingan

Jaga Kewarasan di Tengah Panasnya Pemira

Tahun ini merupakan waktu yang sibuk bagi para pemain politik kampus untuk berebut kursi di lembaga eksekutif maupun legislatif, baik di lingkup fakultas ataupun universitas. Gema Pemilihan Raya (Pemira) telah berkumandang, pertanda sebuah pesta demokrasi telah dibuka. Sampai tulisan ini saya buat, bahkan sudah diumumkan secara resmi bakal calon eksekutif maupun legislatif yang akan bertanding di ajang Pemira tahun ini. Kampus merupakan miniatur dari sebuah negara, di mana ajang Pemira ini dapat menjadi awal dari pendidikan politik sejak dini bagi mahasiswa serta pesta demokrasi di kampus—yang merupakan tempat mengaktualisasikan diri dan potensi yang dimiliki. Bagi saya, yang menarik untuk diperhatikan dari proses demokrasi tersebut adalah bagaimana cara tim pemenangan dari masing-masing calon bekerja, karena tim inilah yang “mungkin” akan menjadi gerbong kekuasaan ke depan.

Tim pemenangan dari masing-masing calon telah tampak bergerak sejak lama, jauh sebelum adanya pendaftaran calon. Tujuan gerak awal mereka yaitu pengumpulan kartu mahasiswa untuk memenuhi persyaratan pendaftaran calon eksekutif maupun legislatif, dengan salah satu targetnya adalah mahasiswa baru yang masih polos. Bahkan, beberapa dari mahasiswa baru ini tidak tahu menahu untuk apa kartu mahasiswanya diminta oleh tim pemenangan. Mahasiswa baru yang sedang beradaptasi di dunia perkuliahan ini menjadi korban yang digarong kartu mahasiswanya karena ketidaktahuan mereka! Ya, memang ironi.

Kampanye oleh tim pemenangan melalui berbagai media sosial pun tak kalah hebohnya, di mana masing-masing kepala meng-upload foto atau video bakal calon yang ingin mereka menangkan. Sampai-sampai setiap buka media sosial, yang muncul selalu gambar atau video yang sama—kalau tidak paslon 1, ya paslon 2—dari calon eksekutif ataupun calon legislatif. Mungkin bagi sebagian orang kampanye seperti itu cukup menggangu karena terkesan nyepam dan gatheli!. Atau mungkin juga, tim pemenangan itu terinspirasi dari baliho-baliho yang sering terlihat di jalan, yang di dalamnya ada gambar perempuan cantik, setia menemani panjang perjalanan dengan tulisan “Kepak sayap *tuuut*” yang selalu terngiang-ngiang di mana pun dan kapan pun.

Tentunya masing-masing tim pemenangan mempunyai militansi tinggi, yang lama-kelamaan dapat menjadi boomerang bagi diri sendiri dan orang lain. Militansi yang berlebihan dikhawatirkan dapat menjuru kepada hal-hal bersifat pragmatis yang hanya berfokus pada kepentingan pribadi dan golongan, kemudian tanpa disadari dapat menegasikan sebuah logika atau nalar, sehingga hanya tercipta sebuah pembenaran, bukan kebenaran. Militansi yang dibangun saat ini jangan sampai menciptakan polarisasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan pilihan politik dalam lingkup pertemanan di masa yang akan datang. Sebagai insan akademis, sudah seharusnya paham dalam membedakan dan menyikapi antara ruang politik dan ruang pertemanan. Bagaimanapun, tidak tepat mengagungkan kepentingan politik kampus di atas pertemanan, Kawan.

Memang di saat seperti ini kita akan dituntut lebih untuk berpikir secara objektif dan rasional. Kampus sebagai ruang akademis sudah selayaknya menjadi tempat adu gagasan, bukan hanya adu sentimen. Sayangnya, yang terjadi saat ini kontestasi pemira tetap redup dan hening akan adu gagasan tentang wacana, ideologi, dan paradigma politik. Paling mentok hanyalah mengkampanyekan tagline sebagai aksesoris yang sesungguhnya nirmakna, disusul visi misi dan rancangan program kerja yang disusun sedemikian rupa semata-mata untuk terlihat keren. Padahal, yang dibuat tersebut hanyalah asal-asalan dan tiruan dari tahun-tahun sebelumnya dengan sedikit perubahan pada penamaan.

Bagi kita, memilih calon—eksekutif maupun legislatif—secara bijak menjadi faktor preventif subjektif yang wajib untuk diperhatikan supaya yang terpilih nantinya merupakan pemimpin yang mempunyai intelektualitas juga dapat mengakomodir kepentingan mahasiswa—khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini berkenaan dengan memilih karena kelayakan, bukan memilih karena teman dekat, teman satu golongan, atau adanya tekanan dari pihak lain. Seyogyanya, pemimpin adalah orang yang benar-benar layak. Memilih berdasarkan kecocokan visi-misi, pandangan, serta program kerja yang dicanangkan dapat menjadi alternatif termudah kala menentukan pemimpin, sebab apabila kita asal dalam memilih, maka ditakutkan yang akan terpilih merupakan calon yang kurang kompeten. Konsekuensinya adalah penurunan standar indeks kepemimpinan yang justru berpotensi meregresikan suatu langkah gerak dari organisasi tersebut.

Pemira di kampus merupakan wujud dari demokrasi. Demokrasi inilah yang patut untuk dikawal secara bersama-sama supaya hasilnya dapat memberikan perubahan positif. Ada baiknya bagi mahasiswa untuk berpikir jernih. Apabila saat ini kondisi politik kampus sudah dalam keadaan keruh, maka akan sulit untuk membersihkannya. Ada baiknya kita membersihkan sedikit demi sedikit. Bila ada lumpur, maka ambil dan buang pada tempatnya, bukan malah tambah mengotorinya dengan kotoran yang lain. Jangan sampai kita ikut dalam arus yang mengedepankan bukan pemikiran jernih dan kritis, tapi malah pemikiran dangkal yang hanya sampai dengkul.
Maka dari itu, strategi dan taktik yang dirancang oleh tim pemenangan sangat menentukan akan lari ke mana jumlah suara terbanyak. Selamat berkontestasi!

Penulis: Firzatulloh Irhab Kautsar
Editor: Sabila Soraya Dewi