Minggu (20/3), SCORA dan SCORP sebagai standing committee dari CIMSA FK UNS menyelenggarakan kegiatan bedah film. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian acara peringatan Hari Perempuan Internasional yang mengangkat tema DELTA (Delete the Exception, Broaden the Aspiration). Film yang diangkat selaras dengan tema acara kali ini, yaitu “Yuni” (2021). “Film ini mencerminkan sexual harrasment dan tokohnya anak SMA, kita gak jauh sama mereka,” kata Chairrunnisa selaku Local Officer on Human Rights and Peace. Kegiatan ini turut mengundang Zeana Savira dan Panji Respati sebagai narasumber dari Kalap Sinema. Keduanya memang berkompeten untuk mengupas sisi psikis dan produksi dari sebuah film. Kegiatan ini juga dibuka untuk umum sehingga pesertanya berasal dari berbagai kalangan.
Kegiatan berlangsung dari pukul 12.45-15.00 WIB dan terbagi menjadi tiga sesi pemutaran cuplikan film yang terfokus pada permasalahan berbeda. Cuplikan pertama dari film “Yuni” ditampilkan dengan mengangkat isu tentang tes keperawanan. Digambarkan bahwa maraknya kehamilan di luar nikah membuat sekolah dari tokoh Yuni itu mengadakan tes keperawanan kepada siswi-siswinya. “Tes keperawanan menunjukkan di dalam cerita film Yuni, sekolah ingin memastikan bahwa murid-muridnya masih perawan atau aman,” ujar Panji. Ia meneruskan bahwa hal tersebut berarti sekolah Yuni memiliki standar atau peraturan yang ketat soal keperawanan. Berawal dari situ pula Yuni mulai mencari tahu hal yang berhubungan dengan keperawanan dan hal-hal lain yang awalnya dia anggap tabu.
“Setelah adegan itu, dia akan mencari tahu sendiri dan berkenalan dengan orang yang mengajarinya tentang kebebasan yang sepenuhnya dan sebagainya,” tambah co-founder Kalap Cinema. Dari segi psikis, Savira memaparkan bahwa keperawanan seolah menjadi standardisasi dan timbul sebuah anggapan bahwa untuk mencegah adanya kehamilan dini, maka yang harus dilindungi adalah pihak perempuan. Namun, anggapan ini pun ternyata membawa beban tersendiri. Ketika tes keperawanan diberlakukan, akan terbentuk stigma harga diri seorang perempuan ditentukan dari status keperawanannya.
Akan tetapi, keberhargaan diri bergantung pada banyak hal dan nilai-nilai yang mereka punya untuk dirinya sendiri. “Tes keperawanan memang jadi standar yang seolah-olah mendiskreditkan seorang perempuan,” tambahnya. Tes keperawanan sudah tidak layak diberlakukan karena akan menjadi batasan yang sudah tidak relevan lagi di Indonesia. “Kita melihat bahwa ada beberapa tes, tidak hanya keperawanan, masih diberlakukan untuk standar kelulusan. Seperti halnya TNI atau atlet —yang memberlakukan tes keperawanan—, ini menjadi contoh bagi masyarakat untuk melihat tes keperawanan itu sebagai standar. Padahal, semestinya yang dilihat bagaimana prestasinya, bukan soal keperawanannya. Semua orang berhak menentukan harga diri mereka dan bagaimana mereka mengidentifikasi diri mereka,” ungkap Savira.
Memasuki cuplikan kedua yang membahas tentang pernikahan dini, Panji mengemukakan bahwa cuplikan menunjukkan adegan yang mengarahkan penonton untuk berpikir bahwa salah satu tokoh dalam film ketahuan melakukan hal yang tidak-tidak dan harus menerima konsekuensinya. Tokoh-tokoh yang terlibat dipaksa untuk dikawinkan.
“Latar di kampung masih tabu untuk melihat seks bebas, ini adalah hal yang mau nggak mau untuk melakukan pernikahan yang dipaksakan,” kata Panji. Masih dalam cuplikan film yang sama, Savira menonjolkan bahwa tokoh yang berusia remaja dan melakukan pernikahan dini itu seolah meloncati step sekitar dua atau lima tahun dari usianya. Ketika seseorang belum siap menikah dipaksa untuk menikah, hal itu justru akan meningkatkan risiko mental, ekonomi, dan perceraian. Di dalam film “Yuni” ini sendiri terdapat adegan yang seolah menormalisasikan perceraian.
“Padahal pernikahan dan perceraian adalah dua hal yang benar-benar beda dan sama-sama kompleks,” jelas Savira. Ia pun mengungkapkan bahwa dampak psikis pernikahan dini kepada perempuan berupa stres dalam menghadapi pasangan dan juga tugas rumah tangga. “Mereka bisa stres, dari stres mereka jadi depresi, dari depresi mereka bisa jadi trauma. Dari trauma amit-amit bisa meningkatkan juga angka bunuh diri,” tambahnya.
Di bagian cuplikan terakhir, yaitu cuplikan yang menggambarkan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan kegagalan rumah tangga, potongan scene yang menurut Panji menyiratkan pesan bahwa karakter Suci mengajarkan apa arti kebebasan terhadap Yuni agar mampu bebas berekspresi. Savira juga menambahkan dampak KDRT kepada korbannya “Pertama, mengurangi keberhargaan diri mereka. Kedua, bekas luka untuk orang yang mengalami KDRT itu akan menjadi salah satu bentuk triggering trauma mereka dan dampak terakhirnya itu bunuh diri. Karena ketika mereka merasa tidak dicintai dan merasa tidak berharga, nyawa mereka merasa terancam, akhirnya mereka memilih untuk bunuh diri. Apalagi KDRT secara berulang membentuk sebuah memori dan luka secara fisik, akhirnya itu mejadi dua hal yang saling memicu,” ungkap Savira.
Melihat perjalanannya, film ini mampu meraih berbagai penghargaan baik nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan isu pada film “Yuni” begitu menarik perhatian masyarakat, terutama nilai-nilai moral yang ingin disampaikan. Apa yang tercermin dari film ini mungkin saja masih kerap terjadi di zaman ini. Saat derajat seorang wanita seolah-olah sebagai “makhluk kelas dua” dan tidak sepenuhnya mendapatkan kemerdekaan sebagai manusia.
Maka sebagai insan yang berperadaban, alangkah lebih baiknya bersikap adil dan mampu menghargai manusia sebagaimana mestinya. Sebaik-baiknya perubahan adalah yang bersumber dari diri sendiri, maka dengan mengubah pola pikir adalah langkah awal untuk menuju perbaikan bersama. “Penilaiannya bukan (lagi) saya yang perawan untuk mendapatkan yang perjaka, tetapi keperawanan ini adalah soal kesehatan untuk diberikan pada suaminya nanti. Film Yuni adalah upaya untuk memberikan edukasi pada masyarakat. Langkah-langkah yang bisa kita lakukan adalah seperti ini, melalui film, diskusi, atau sharing,” pungkas Savira.
Penulis : Arsyita Rahma Fitzgelard, Julia Tri Kusumawati dan Muhammad Ryan Iqbal
Editor: Rizky Fadilah