Foto: Wisnu Aji/ LPM Kentingan

Humas Diklatsar Menwa Membenarkan Adanya Hukuman Fisik pada saat Kegiatan

Duduk perkara sidang Diklatsar Menwa kembali digelar pada hari Kamis (24/2). Kini penasihat hukum menghadirkan enam orang saksi yang meringankan terdakwa dengan dua diantaranya merupakan saksi ahli. Kedua saksi tersebut terdiri dari ahli hukum pidana, Rohman Gunawan, dan forensik, dr. Nola Margareth. Sedangkan empat saksi lain, dua diantaranya adalah panitia, Rihlo dan Istikana, dua lainnya adalah peserta diklatsar menwa, Fina dan Pramita.

Seperti sebelumnya, sidang kali ini dilakukan secara hybrid dimana kedua terdakwa dan para saksi ahli mengikuti secara daring, sedangkan peserta sidang lain mengikuti secara luring di Pengadilan Negeri Surakarta.

Pukul 10.00 WIB sidang dimulai dengan mendengarkan kesaksian dari saksi ahli bidang hukum pidana. Menurutnya, penganiayaan berasal dari dua orang yang tidak sejajar, satu memiliki kedudukan di atas, satunya di bawah. Jika dalam suatu kegiatan memiliki SOP atau aturan yang jelas maka suatu tindakan dapat dinilai tidak termasuk penganiayaan. Meskipun begitu, tindakan tersebut harus dapat terukur. Berbeda jika tidak memiliki SOP, dapat diputuskan dari kegiatannya. Namun unsur-unsur yang ada harus terpenuhi, jika tidak tuntutan bebas diberikan oleh jaksa penuntut umum.

Lebih lanjut, mengacu pada kasus, penganiayaan yang terjadi ketika ingin berhenti tetapi dipaksa untuk meneruskan itu termasuk penganiayaan fisik dan psikis. Pada pasal 359 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun” menurut pandangannya sebagai ahli bisa juga berarti orang yang seharusnya mencegah suatu tindakan dapat bertanggung jawab. Kemudian melihat pada pasal 351 KUHP, hasil visum dari dokter mutlak dibutuhkan untuk menunjukkan kondisi korban karena lebih nyata dengan kemungkinan terlihatnya perbuatan-perbuatan yang pernah terjadi. Kemudian dari kedua pasal tersebut, jika dakwaan ada secara jelas dan dapat dibuktikan, semua bergantung pada hakim.

Selanjutnya Rihlo Pambudi, Humas Diklatsar Menwa, membenarkan adanya hukuman-hukuman fisik saat kegiatan seperti push up, sit up, rolling depan, dan sebagainya, tetapi tidak mengetahui adanya penamparan. Menurut pengakuannya, pada kegiatan senam senjata yang dipimpin oleh Faizal, terdapat pemukulan menggunakan matras, tetapi saksi tidak yakin apakah GE juga ikut dipukul pada saat itu.

“Pemukulannya menggunakan satu tangan kanan dan dalam keadaan jalan dengan pemukulan di dahi bagian atas,” jelas saksi terkait dengan pemukulan menggunakan matras. Selain itu, saksi juga melihat saat GE pingsan di depan posko.

Saksi juga menjelaskan bahwa surat ijin permohonan perpanjangan kegiatan dari saudari Sindy diterima dan diberikan ke kemahasiswaan. Meskipun saksi tidak mengetahui isinya karena tidak pernah dibuka oleh humas, hanya menyalurkan saja.

“Ketika istirahat, dari GE ingin bertemu dengan komandan. Itu disampaikan kepada saya,” kata saksi.

Berpindah pada kesaksian ketiga yaitu Istikana, menjelaskan bahwa kegiatan Diklatsar Menwa yang seharusnya dilaksanakan selama seminggu berhenti pada Senin pagi setelah mendengar kabar duka mengenai GE. Sebelumnya saat kegiatan, terdakwa Nanang memberikan perintah khusus kepada seluruh panitia yang bertugas untuk memperhatikan GE karena sakit.

“Untuk nanti stelling, 03 perutnya sakit jadi tolong diperhatikan, jangan diburu-buru,” begitu kira-kira ucapnya dengan 03 yang merujuk pada rompi GE saat kegiatan. Selain itu, saksi juga sempat mendengar bahwa korban mengatakan kakinya sakit kepada beberapa panitia saat kegiatan. Hampir mirip dengan pernyataan Fina yang mendengar keluhan GE perihal kakinya yang sakit kepada peserta di sebelahnya. Kemudian menurut kesimpulan Istikana, ketika GE mengalami kejang-kejang pada hari Minggu sebelum dibawa ke rumah sakit merupakan kesurupan. Mengingat disusulnya Pramita dan Wahyu yang mengalami kejadian hampir serupa dan di waktu yang berurutan. Pun menurut saksi Fina dan Pramita sama.

Namun menurut Istikana, ia hanya melihat GE membenturkan kepala 2 kali secara ringan. Sedangkan menurut kesaksian Fina dan Pramita yang sedari awal berada di ruangan yang sama dengan GE karena sakit, mengatakan kejang-kejang termasuk membenturkan kepalanya ke lantai terjadi berkali-kali dan cukup keras. Lebih lanjut, menurut Istikana saat kegiatan berlangsung, peserta diberikan kebebasan untuk minum di waktu-waktu tertentu, tapi menurut Fina peserta dibatasi untuk minum per kegiatan hanya seloki.

“Saya kan nangis karena kaki saya engkel, saya lihat GE senderan di pohon pisang, keadaannya lemes, dan ikut nangis juga saat melihat saya nangis,” tutur Fina.

Dijelaskan pula bahwa Fina sempat melihat GE dihukum agar tidak sering mengantuk dengan push-up dan dibentak oleh panitia, Fiza dan Dila Ayu, karena mengeluh tidak kuat. “Lihat itu perempuan aja kuat, kamu perempuan?!” tiru Fina saat GE dibentak oleh senior.

“Gilang disuapin sama Mas Nanang, tapi GE sudah tidak mau, terus divideo sama Mas Nanang,” ucap Fina yang menceritakan keadaan setelah kejang-kejang. “Ini loh, kayak orang idiot begini, kamu tuh gimana? Apa maunya disuapin sama cewek?” lanjut Fina menirukan tutur kata terdakwa Nanang ketika GE tidak mau disuapi olehnya.

“Saya awalnya diminta buat nyuapin, tapi saya nggak mau, terus minta sama salah satu mbak panitia untuk nyuapin dan GE sempat mau sedikit,” menurut Fina yang memiliki ungkapan yang sama dengan Pramita, setelah itu terdakwa Nanang marah hingga menendang pintu dan meneriakkan kata kasar karena melihat GE menerima suap dari perempuan.

Pada kesaksian Pramita penyataannya hampir sama dengan Fina, mengingat keduanya berada di tempat kejadian dan melihat situasi yang sama. Namun Pramita menambahkan sedikit pernyataan mengenai malam pada hari pertama kegiatan, “Kalau saat malam, GE mengeluh tidak kuat dan mau berhenti,” ucapnya.

Kesaksian terakhir pada siang hari itu ditutup oleh kesaksian dari ahli forensik yaitu dr. Nola Margareth. Menurutnya dari hasil visum yang mengatakan bahwa alasan kematian korban yaitu mati lemas tidak dipengaruhi oleh luka di kepala bagian belakang. Tidak juga karena hal-hal lain ada pada hasil visum. Baginya akan lebih sempurna hasil visum tersebut jika ditambahkan juga dengan analisis toksikologi untuk mendeteksi adanya racun dalam tubuh, mengingat salah satu penyebab mati lemas juga bisa karena racun. Selanjutnya, luka kepala bagian belakang oleh korban memang bisa disebabkan oleh benturan, tapi kecil kemungkinannya karena benturan atau kekerasan yang terjadi pada kepala bagian depan.

 

Penulis: Alifia Nur Aziza dan Wisnu Aji

Editor: Sabila Soraya Dewi