Film, Media, Literasi

 

Oleh: Na’imatur Rofiqoh

 

“BARANGKALI yang harus kita potret monyet-monyet. Barangkali itu yang mau dilihat oleh orang luar negeri,” ujar Ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) Amir Yusuf (Sani: 1997, 397). Dia mengutarakan sinismenya pada Asrul Sani ketika memikirkan soal ekspor film Indonesia. Tahun 1960 dan 1970-an memang narasi suram bagi perfilman Indonesia. Persoalan menghimpit dari berbagai sudut: pemasaran seret, tidak ada penonton, (bahkan) tidak ada pemain, kuantitas tidak berbanding lurus dengan kualitas.

 

Film-film Indonesia menanggung “dosa asal” yang senantiasa berada di bawah kuasa modal. Film-film Indonesia tidak percaya diri tampil di hadapan penonton Indonesia. Pamornya masih kalah dengan film-film Amerika Serikat yang diimpor besar-besaran. Adegan-adegan hanya berisi pameran tubuh, kecantikan-ketampanan paras, kekayaan, namun gersang ide-gagasan. Film sepenuhnya barang dagangan (yang mahal), alih-alih media ekspresif berkekuatan propaganda pada masyarakat agar awas pada sejarah dan persoalan kehidupan.

 

20 tahun kemudian, kemajuan dunia perfilman Indonesia masih tidak begitu pesat. Pencapaian hanya ada pada bagian teknis. Dewan juri film cerita Festival Film Indonesia (FFI) 1990 Rosihan Anwar memberi penjelasan yang penting untuk dikutip penuh: “Ide pokok film Indonesia tiada mendorong untuk ber[p]ikir, tidak memperkaya rohani dan pengalaman intelektual orang. Film Indonesia tidak memperlihatkan kesegaran penyajian; ia kerja rutin yang mengulang hal itu ke itu juga, merangkaikan adegan-adegan yang tiada sangkutan dengan alur cerita, masih banyak tergoda bumbu-bumbu komersial dan iklan yang merusak struktur. Yang ditampilkan bukan manusia secara utuh, yang terkait dengan lingkungannya dan berpijak di atas realitas, melainkan perwujudan dari impian” (Said, 1991: 264). Salim Said mengaku, sedikit sekali film yang benar-benar bisa ditonton dengan akal sehat dan jiwa estetis.

 

Kelemahan film-film itu terutama ada pada cerita dan skenario yang tak kunjung menjadi kekuatan utama. Dan masalah tidak hanya ada pada orang-orang film, tetapi juga kritikus dan penonton yang tidak atau belum “melek film”. Tidak adanya kritikus film yang memadai berarti tidak ada perbincangan film yang serius. Artinya, tidak bakal ada semacam paksaan untuk memperbaiki mutu film. Kritikus berperan mendidik penonton agar melek film dengan menunjukkan keunggulan dan kelemahan film-film yang ia kritisi.

 

Dengan demikian, absennya kritikus film menyebabkan semakin sedikit masyarakat melek film. Akhirnya, film yang tidak bisa tidak juga merupakan sebuah industri, menyesuaikan selera penonton yang tidak melek film ini. Jadilah film-film tidak layak tonton terus dihadapkan pada penonton. Dan penonton yang tidak melek film tidak bakal berpikir lebih jauh pada hal-hal subtil; ide-gagasan film, misalnya. Penonton memandang film hanya sebagai tontonan dan hiburan.

 

Dan ini tampaknya masih terjadi sampai hari ini. Ketika film-film bioskop mau pun non-bioskop Indonesia telah berhasil ikut serta dalam festival film internasional, terjadi pelarangan-pelarangan tayang pada beberapa judul film. Kita mengingat gagal tayangnya Prahara Tanah Bongkoran (2015), Samin Vs. Semen (2015), Jagal (Oppenheimer, 2012), Senyap (Oppenheimer, 2014) dan Pulau buru Tanah Air beta (Nasution, 2016) di berbagai tempat.

 

Alasan pelarangan ini beragam, dan sering tidak masuk akal dari perspektif perfilman, dalih kebebasan berekspresi, dan literasi film. Film-film dilarang tayang karena dianggap dapat memicu konflik dan menyebarkan paham tertentu seperti komunisme. Aneh! Padahal, masyarakat Indonesia sudah begitu lama tidak berliterasi film. Penilaian tanpa ilmu! Tragisnya, pelaku pelarangan sering berasal dari kampus-kampus yang sewajarnya telah melek literasi film.

 

Selain peristiwa pelarangan, kita juga mengalami episode horor-vulgar dalam kancah perfilman Indonesia. Pocong, Kuntilanak, Suster Ngesot, menguasai industri layar putih Indonesia. Sutradara Samaria Samanjuntak dalam Demi Ucok (2012) memberikan kritik menohok dalam hal ini ketika salah satu tokohnya berkata, “Film Indonesia itu yang penting ada banci, hantu, dan susu.” Siapakah penonton film dengan tiga unsur penting yang tak mencerdaskan akal pikiran dan jiwa ini? Lalu, siapa yang berani mengkritiknya?

 

Setelah episode hantu dan tubuh wagu itu, kini kita mengalami episode—meminjam istilah yang juga dipakai Ariel Heryanto—post-islamisme. Pascakesuksesan Ayat-Ayat Cinta (2009), para pembuat film berbondong-bondong membikin film dengan nada serupa: Perempuan Berkalung Sorban (2009), Ketika Cinta Bertasbih (2009), 99 Cahaya di Langit Eropa (2013), dan seterusnya. Yang terbaru: Pesantren Impian. Yang menakjubkan bagi akal mati: sebuah kombinasi tidak masuk akal antara kehidupan religius pesantren dan kematian satu per satu santrinya tersebab hantu! Ini tidak ada yang mengkritik pedes. Kita tidak lagi menyaksikan pameran artifisial tubuh dan kemewahan, tetapi komodifikasi habis-habisan atas agama, dan perendahan akal sehat. Ini enggak akan terjadi kalau masyarakat melek film.

 

Produksi film-film yang demikian dan pelarangan tayang pada film-film yang lain memberi keinsyafan bahwa penonton Indonesia belum bisa beranjak dari kebutuhan film sebagai tontonan dan hiburan. Bukan pendidikan yang mencerdaskan. Di sinilah, media perfilman menjadi prasyarat mutlak bagi semua yang berkepentingan. Lakon media dalam menyiarkan dan membentuk penonton melek film sebenarnya telah ada sejak film pertama kali diperkenalkan di Nedherlands Indie. Dengan berbagai bentuk propaganda rayuan menonton film, terbit media-media khusus film dari Filmland pada 1922, Film Review yang berisi berita-berita film dan terbit dalam bahasa Belanda, Bioscoopcourant yang diterbitkan bioskop sebagai penanggulangan iklan. Bacaan-bacaan itu kurang memadai bagi kaum terpelajar atau masyarakat yang ingin menaikkan tingkat melek film.

 

Media lain, Doenia Film yang terbit pada 1939, Pewarta Bioscoop, Panorama, Pertjatoeran Doenia, dan Film yang terbit pada 1941. Di Panorama, Kwee Tek Hoay menulis kritik-kritik yang cukup tajam. Pertjatoeran Doenia dan Film adalah dua media lain yang cukup mumpuni karena dikelola oleh mereka yang juga terlibat dalam percaturan pergerakan nasional (Biran: 2009: 43-44). Dua media ini harus tamat karena produksi film dilarang saat Jepang menguasai Indonesia.

 

Dan, tampaknya, setelah itu, literasi film hanya menjadi selingan dalam jagat perfilman Indonesia. Media-media yang mau memperbincangkan film dengan serius dan memberi petunjuk bahwa “sebuah film yang baik itu adalah film yang tidak menyakitkan otak ketika kita menontonnya” (Said, 1991: 23) hanya dapat dihitung jari, di sini termasuk media daring cinemapoetica.

 

Hari ini, perbincangan film terjadi di koran-koran, majalah, dan internet dengan berbagai cara. Namun, arus utama media dan film masih sampai pada promosi, belum edukasi, belum literasi film. Sungguh, urusan kita bukan masalah pelarangan film, tapi literasi film yang digerakkan dengan semangat pencerdasan masyarakat, baik dilakukan oleh para kritikus film, pengusaha perfilman, dunia akademik, termasuk insan perfilman dan masyarakat itu sendiri (Ilustrasi: Fadhil Ramadhan).[]

 

Na’imatur Rofiqoh. Esais dan tukang gambar lepas.