Dari kanan: Yosep Anggi Noen, Fietra Rey Pratama, Loeloe Hendra, dan seorang moderator dari pihak kurator.
Dari kanan: Yosep Anggi Noen, Fietra Rey Pratama, Loeloe Hendra, dan seorang moderator dari pihak kurator.

Diskusi Film di FFS, Onomastika Banjir Apresiasi

Dari kanan: Yosep Anggi Noen, Fietra Rey Pratama, Loeloe Hendra, dan seorang moderator dari pihak kurator.
Dari kanan: Yosep Anggi Noen, Fietra Rey Pratama, Loeloe Hendra, dan seorang moderator dari pihak kurator.

SOLO – (8/5) Malam, Festival Film Solo (FFS) pemutaran II di hari kedua yang dimulai pukul 21.30 WIB telah usai. Berbeda dengan tahun sebelumnya, setelah sesi pemutaran II kali ini dari pihak kurator FFS mengadakan diskusi film bersama dengan ketiga sutradara film yang telah ditayangkan. Adalah Fietra Rey Pratama sutradara film Not For Sale, Yosep Anggi Noen sutradara film A Lady Caddy Who Never Saw a Hole in One, dan Loeloe Hendra sutradara film Onomastika yang menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.

Sebelumnya, di saat penayangannya ketiga film tersebut telah mendapat apresiasi yang cukup baik. Hal ini dapat dilihat dari penuhnya kursi penonton hingga ending pemutaran ketiga film, bahkan hingga dibukanya sesi diskusi dan hingga diskusi usai. Adalah film Onomastika yang agaknya menjadi ‘primadona’ di pemutaran tersebut. Kerasnya tepuk tangan penonton saat film tersebut usai, hingga banyaknya apresiasi berupa pujian dan pertanyaan yang dilayangkan untuk Loeloe Hendra sebagai indikator pengkukuhan gelar ‘primadona’ tersebut.

Puguh salah orang penonton berpendapat, “Onomastika, film yang tidak sekadar bercerita tentang nama saja. Saya ingin tanya ada maksud lain apa yang ingin disampaikan mas Hendra melalui film itu? Kemudian, saya tertarik pada dialog ‘Tuhan itu punya banyak nama’ apa maksud di balik dialog itu?”

“Terima kasih buat semuanya. Mungkin di situ (kerja sama) juga kaitannya ide-ide di film ini muncul dan digarap dengan semaksimal mungkin. Ada banyak konteks yang ingin disampaikan dalam film ini bukan hanya tentang ketuhanan, tapi tentang bagaimana korelasi kehidupan yang mendapat banyak pengaruh, traumatik, hal-hal kemanusiaan, pointed, dan bagaimana unsur identitas kita yang terkait dengan otak-atik nama, terus bagaimana nama itu terkait dengan banyak pemaknaan. Nah, kalau Tree of Life bercerita tentang hidup, Onomastika ini bukan hanya ngomongin tentang nama aja, tapi yang ada di dalam (nama) sendiri. Semoga bisa nyampe. Oh iya, Onomastika sendiri meupakan ilmu tentang sistem penamaan” Jawab Loeloe sedikit terbata.

Di dalam diskusi tersebut Onomastika mendapatkan lebih dari tiga tanggapan dan pertanyaan, hingga dari moderator menutup sesi tanya jawab untuk film tersebut, dan membuka sesi selanjutnya untuk kedua film yang lain. Onomastika bercerita tentang kehidupan seorang anak yang berusia kira-kira delapan tahun bersama kakeknya. Anak laki-laki yang tumbuh tanpa diberi nama oleh orang tua dan kakeknya. Sang Kakek enggan memberikan nama untuk cucunya, ia memilih memberikan suatu tugas besar untuk cucunya tersebut untuk mencari nama yang tepat untuk dirinya sendiri. Hidup di pinggiran hutan dan sungai, tanpa pendidikan formal. Transfer ilmu anak laki-laki itu diperoleh dari kakeknya yang seorang penulis dan memiliki  banyak pena.

“Benar-benar suatu keberhasilan, menggambarkan keintiman antara kakek dan cucunya lewat adegan, saat si anak laki-laki memijit kakeknya tadi.” ungkap seorang penonton di tengah-tengah diskusi. (puput)